Buku
I
Petunjuk Penggunaan
Modul
Modul ini sebagai
bahan ajar yang disusun secara sistematis mencakup isi materi, metode dan
evaluasi yang dapat digunakan secara mandiri. Penulisan modul ini memperjelas
dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal. Mengatasi
keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta diklat maupun guru.
Modul ini diharapkan dapat meningkatkan
motivasi dan gairah belajar bagi peserta diklat.
Dapat mengembangkan
kemampuan peserta diklat/guru dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan
sumber belajar lainnya. Memungkinkan peserta diklat belajar mandiri sesuai
kemampuan dan minatnya. Memungkinkan peserta diklat dapat mengukur atau
mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.
Oleh sebab itu dalam penyusunan materi
pembelajaran dalam modul ini ada beberapa aspek yang diperhatikan :
1. Aspek
relevansi, artinya meteri pembelajaran relevan atau ada kaitannya serta ada
hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.
2. Aspek
konsistensi, artinya keajegan.
Jika kompetensi dasar yang
harus dikuasai subyek didik aspek kognitif pada jenjang pemahaman, maka bahan
ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi jenjang pemahaman.
3. Aspek
kecukupan atau adekuasi, artinya materi pembelajaran yang diajarkan hendaknya
cukup memadai dalam membantu subyek didik menguasai kompetensi dasar yang
diajarkan. Materi pembelajaran tidak boleh terlalu sedikit, dan juga tidak
boleh terlalu banyak. Apabila terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, apabila terlalu banyak
akan membuang-buang waktu dan tenaga untuk mempelajarinya.
Pengembangan materi pembelajaran dalam
modul ini mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dan panduan
kurikulum untuk pendidikan Dasar.
Bahan ajar dalam modul ini dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Bahan ajar ini dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan bahan ajar diarahkan untuk
meningkatkan kompetensi peserta didik sesuai dengan potensi, pengembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2. Beragam
dan Terpadu
Bahan
ajar ini dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap
perbedaan agama, suku, budaya, adat-istiadat, status sosial ekonomi, dan
gender.
3. Tanggap
terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni.
Bahan ajar ini dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh sebab itu,
semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar pada peserta didik
untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni.
4. Relevan
dengan kebutuhan kehidupan.
Pengembangan bahan ajar dilakukan dengan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders)
untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk
didalamnya kehidupan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar yang
bisa mendukung peningkatan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademik merupakan keniscayaan yang tidak
bisa terabaikan.
5. Seimbang
antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Bahan ajar yang dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto
Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh sebab itu yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan modul ini adalah sebagai berikut :
- Belajar
melalui modul dapat mengukur tingkat penguasaan materi diri sendiri.
- Belajar
melalui modul terdapat umpan balik atas penilaian peserta diklat.
- Belajar
melalui modul materinya uptodate dan
kontekstual.
- Belajar
melalui modul materinya dikemas dalam unit-unit kecil dan ada ilustrasi yang
jelas.
- Belajar
melalui modul tersedia contoh-contoh.
- Belajar
melalui modul tersedia instrument penilaian yang memungkinkan peserta diklat
melakukan self assessment.
- Belajar
melalui modul tersedia soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya.
Buku
II
Bab
I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) pada jenjang sekolah dasar di Indonesia perlu adanya kerangka berpikir
yang digunakan dalam proses Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini
sejalan dengan dinamika perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
ditandai oleh semakin terbukanya persaingan antar bangsa yang semakin ketat,
maka bangsa Indonesia mulai memasuki era reformasi diberbagai bidang menuju
kehidupan masyarakat yang lebih demokratis.
Proses perjalanan
bangsa menuju masyarakat madani (civil
society), Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran di
persekolahan perlu menyesuaikan diri sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat yang sedang berubah. Proses pembangunan karakter bangsa yang sejak
proklamasi kemerdekaan RI telah mendapat prioritas, perlu direvitalisasi agar
sesuai dengan arah dan pesan konstitusi negara Republik Indonesia.
Pada hakekatnya
proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mengarah pada penciptaan suatu
masyarakat Indonesia yang menempatkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagai titik sentral. Dalam proses itulah, pembangunan karakter
bangsa kembali dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tentunya
memerlukan pola pemikiran baru. Tugas PKn dengan pola pemikiran barunya
mengembangkan pendidikan mengemban tiga fungsi pokok yaitu mengembangkan kecerdasan
warga negara, membina tanggung jawab warga negara, dan mendorong partisipasi
warga negara.
Warga negara yang memahami dan menguasai
pengetahuan kewarganegaraan (civics
knowledge) dan keterampilan kewarganegaraan (civics skills) akan menjadi seorang warga negara yang
berkompetensi. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan
kewarganegaraan (civics knowledge)
serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics
values) akan menjadi seorang warga negara yang memiliki rasa percaya diri,
sedangkan warga negara yang telah memahami dan menguasai keterampilan
kewarganegaraan (civics skills) serta
nilai-nilai kewarganegaraan (civics
values) akan menjadi seorang warga negara yang memiliki komitmen kuat. Berkenaan
dengan aspek afektif inilah nantinya
warga negara memiliki keimanan, dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing yang tercermin dalam perilaku
sehari-hari, memiliki nilai-nilai etika dan estetika serta mampu mengamalkan
dan mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari, memiliki nilai-nilai
demokrasi, toleransi, serta menerapkan norma, kebiasaan, adat-istiadat, dan
peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Disamping itu diharapkan mampu ikut
serta menunjukkan ketaatan terhadap perundangan nasional baik itu perundang-undangan
pusat maupun perundang-undangan daerah.
Berkenaan dengan
aspek psikomotorik, memiliki keterampilan berkomunikasi, mampu beradaptasi
dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam baik lokal,
regional, maupun global.
B. Kompetensi
Kompetensi
yang dicapai dalam materi pembelajaran ini, adalah :
1. Peserta
diklat mampu mengenal norma, kebiasaan, dan adat-istiadat dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Peserta
diklat mampu menunjukkan contoh bentuk kepatuhan terhadap norma, kebiasaan, dan
adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
3. Peserta
diklat mampu menunjukkan kepatuhan terhadap norma, kebiasaan, dan adat-istiadat
dalam hidup bermasyarakat.
4. Peserta
diklat mampu menjelaskan pentingnya peraturan perundangan tingkat pusat dan
daerah.
5. Peserta
diklat mampu menjelaskan contoh perundangan pusat dan daerah.
6. Peserta
diklat mampu membedakan fungsi perundang-undangan pusat dan daerah.
C. Tujuan
Tujuan
yang akan dicapai melalui penulisan materi pembelajaran, adalah sebagai berikut
:
1. Peserta
diklat dapat menjelaskan pengertian norma, kebiasaan dan adat-istiadat.
2. Peserta
diklat dapat menjelaskan pentingnya norma, kebiasaan dan adat-istiadat dalam
hidup bermasyarakat.
3. Peserta
diklat dapat menunjukkan contoh bentuk kepatuhan terhadap norma, kebiasaan dan
adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
4. Peserta
diklat dapat menjelaskan perlunya kepatuhan terhadap norma, kebiasaan dan
adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
5. Peserta
diklat dapat menjelaskan pentingnya peraturan perundangan Tingkat Pusat dan
Daerah.
6. Peserta
diklat dapat menjelaskan macam-macam peraturan perundangan Tingkat Pusat dan
Daerah.
7. Peserta
diklat dapat menjelaskan fungsi peraturan perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
8. Peserta
diklat dapat memberikan contoh peraturan perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
D. Manfaat
Manfaat dari
penulisan materi pembelajaran diklat ini adalah agar peserta diklat dapat
memiliki pemahaman, ketajaman dalam mempelajari materi, maupun dapat
mendeskripsikan materi tentang norma, kebiasaan dan adat-istiadat dalam
kehidupan bermasyarakat. Disamping itu peserta diklat dapat memilki pemahaman
dan dapat mendeskripsikan tentang peraturan perundangan di Tingkat Pusat dan
Daerah, serta tata urutan peraturan perundangan di Indonesia serta
contoh-contoh Peraturan Perundangan Pusat dan Daerah.
E. Ruang Lingkup
Ruang
lingkup materi diklat ini, meliputi :
1. Pengertian
Norma, Kebiasaan dan Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
2. Macam-macam
Norma berdasar kekuatan mengikatnya dan sanksinya.
3. Menerapkan
Norma, Kebiasaan dan Adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Peraturan
Perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
5. Fungsi
Peraturan Perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
6. Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Nasional.
7. Proses
Penyusunan dan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Nasional.
Bab
II Materi
A. Pengertian Norma, Kebiasaan
dan Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Norma,
berarti aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat,
dipakai sebagai panduan, tatanan, dan
pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima. Setiap warga masyarakat harus
menaati norma yang berlaku. Dengan menaati norma, maka tatanan kehidupan
bermasyarakat menjadi tertib, dan damai. Norma juga berarti kaidah atau aturan
yang disepakati dan memberi pedoman tingkah laku bagi para anggotanya dalam
mewujudkan sesuatu yang dianggap baik, benar, dan diinginkan.
Kebiasaan
berarti sesuatu yang biasa dikerjakan. Kebiasaan adalah perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena banyak orang menyukai dan
menganggapnya penting. Karena disukai dan dianggap penting, sehingga kebiasaan
itu terus diperintahkan. Kebiasaan adalah perbuatan manusia secara sadar yang
dikerjakan oleh banyak orang dan berulang-ulang.
Adat-istiadat
berarti tata kelakuan yang bersifat kekal dan turun temurun. Adat-istiadat diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya sebagai warisan oleh sebab itu disebut pola
perilaku dalam masyarakat. Tabu merupakan adat-istiadat yang bersifat melarang,
karena menjelaskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Contohnya masyarakat
menganggap tabu perkawinan antarkerabat, oleh sebab itu bagi yang melanggar
dikenakan sanksi yang tegas oleh warga masyarakat itu.
Norma sosial merupakan
ketentuan yang berisi perintah dan larangan yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan bersama, bertujuan untuk mengatur setiap tindakan warga masyarakat
sehingga ketertiban dan keamanan dapat tercapai. Keberadaan norma sangat
diperlukan masyarakat untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib.
Norma bersifat
nonformal merupakan aturan-aturan tidak tertulis yang diakui keberadaannya oleh
masyarakat. Aturan-aturan tersebut dihormati dan dilaksanakan dengan sepenuh
hati.
Adat-istiadat adalah contoh norma yang
bersifat nonformal. Contoh lain norma yang bersifat nonformal ialah
aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga, seperti kewajiban anak untuk
menghormati dan membantu orang tua. Norma sebagai ketentuan menjadi ukuran
perilaku dan pedoman yang harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap warga
masyarakat. Apabila dalam kehidupan bermasyarakat ada pelanggaran terhadap
norma yang berlaku, maka orang yang melakukan pelanggaran terhadap norma itu
akan diberi sanksi berupa hukuman.
Masyarakat membuat sanksi
dengan maksud untuk mengendalikan perilaku seseorang sehingga perilakunya
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Norma-norma yang ada
dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada yang
ikatannya lemah, ada yang sedang, dan ada yang kuat. Biasanya masyarakat tidak
berani melanggar norma yang kuat ikatannya.
Berdasarkan kekuatan
mengikatnya, norma dibedakan atas empat, yaitu:
1. Cara
(usage)
2. Kebiasaan
(folkways)
3. Tata
Kelakuan (mores)
4. Adat-istiadat
(custom) (Tim Abdi Guru, 2006: 15).
1. Cara
(usage)
Cara adalah jenis
perbuatan yang bersifat perorangan. Daya ikatannya lemah. Penyimpangan terhadap
cara hukumannya tidak berat, tetapi hanya berupa celaan. Contoh dari jenis
perbuatan yang bersifat perorangan (cara) ialah cara berpakaian, cara
berdandan, cara makan dan sebagainya. Tentu saja cara berpakaian, cara
berdandan, cara makan, antara orang yang satu dan yang lainnya berbeda.
2. Kebiasaan
(folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang dengan pola yang sama dan tetap karena dianggap baik. Daya
ikat kebiasaan jauh lebih kuat, contoh mengetuk pintu saat bertamu atau saat
memasuki ruangan orang lain dan memberi sesuatu dengan tangan kanan adalah
kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sopan. Sanksi yang diberikan jika melanggar
kebiasaan umumnya masih tergolong ringan, yaitu berupa sindiran atau ejekan.
3. Tata
Kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah perilaku yang
ditetapkan oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan diterima sebagai
norma pengatur. Tata kelakuan itu
berwujud paksaan dan larangan sehingga secara langsung menjadi alat agar
anggota masyarakat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Misalnya,
seorang pembantu rumah tangga melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadap
majikannya. Oleh karena perbuatan tersebut, mungkin langsung
diberhentikan/dipecat oleh majikannya.
4. Adat-istiadat
(custom)
Adat-istiadat adalah pola-pola perilaku
yang diakui sebagai hal yang baik dan dijadikan sebagai hukum tidak tertulis dengan
sanksi yang berat. Sanksi atau hukuman diberikan oleh orang yang paling
mengetahui seluk-beluk adat, seperti pemimpin adat, pemangku adat, atau kepala
suku.
Misalnya, dalam masyarakat dikenal istilah “tabu” atau
pantangan. Sesuatu yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar.
Seandainya tabu/pantangan itu dilanggar, bencana akan menimpa seluruh warga dan
si pelaku akan dikenai sanksi yang berat.
B.
Macam-macam
Norma berdasar kekuatan mengikatnya dan sanksinya.
Setiap masyarakat dalam suatu negara diikat
oleh norma-norma yang menjamin keamanan dan keberadaannya demi kelangsungan
hidupnya. Norma-norma yang ada merupakan pedoman hidup anggota masyarakat
(warga negara) yang memberikan keleluasaan sekaligus batasan dalam bertindak
(perintah dan larangan) dan menentukan
sesuatu itu baik atau buruk.
Norma-norma itu antara lain adalah:
a. Norma
agama
b. Norma
kesusilaan
c. Norma
kesopanan
d. Norma
hukum
Masing-masing
norma memiliki sifat yang berbeda-beda. Norma agama bersifat abadi dan
universal. Dikatakan bersifat abadi karena norma ini berasal dari wahyu Tuhan
yang diberlakukan untuk alam semesta. Norma kesopanan dan kesusilaan bersifat
lokal. Artinya kedua norma ini tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat
tertentu yang mungkin saja pada masyarakat lain berbeda bahkan bertolak
belakang. Norma kesopanan itu bersifat relatif. Di barat misalnya, berpakaian
minim dianggap sebagai hal biasa. Tetapi di Indonesia hal itu merupakan
pelanggaran terhadap norma kesopanan, dan orang yang melakukannya biasanya
dicemooh atau diejek.
Norma
agama adalah petunjuk hidup yang berasal dari
Tuhan yang berisi perintah, larangan, anjuran-anjuran.
Contoh norma agama ialah:
1) Beribadah
sesuai dengan agama dan keyakinan.
2) Beramal
saleh dan berbuat kebajikan.
3) Mencegah,
melarang, dan tidak melakukan perbuatan maksiat, keji, dan mungkar. Pelanggar
norma agama mendapatkan sanksi secara
tidak langsung, artinya pelanggarnya baru akan menerima sanksinya nanti di
akhirat berupa siksaan di neraka.
Norma
kesusilaan adalah aturan yang bersumber dari hati
nurani manusia tentang baik buruknya suatu perbuatan.
Contoh norma kesusilaan ialah:
1) Berlaku
jujur.
2) Bertindak
adil.
3) Menghargai
orang lain.
Sanksi
bagi pelanggar norma kesusilaan tidak
tegas, karena hanya diri sendiri yang merasakannya, yakni merasa
bersalah, menyesal, malu, dan sebagainya.
Norma
kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari
hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai
tuntunan pergaulan sehari-hari dalam masyarakat
itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma
kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Contoh norma kesopanan ialah:
1) Menghormati
orang yang lebih tua.
2) Menerima
sesuatu selalu dengan tangan kanan.
3) Tidak
berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
4) Tidak
meludah di sembarang tempat.
Sanksi
bagi pelanggar norma kesopanan tidak
tegas, tetapi dapat diberikan oleh masyarakat berupa cemoohan, celaan,
hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan.
Norma
hukum adalah pedoman hidup yang dibuat oleh
lembaga negara atau lembaga politik suatu masyarakat/bangsa. Hukum sebagai
sistem norma berfungsi untuk menertibkan dan menstabilkan kehidupan sosial. Disebut
norma hukum karena keberadaannya diakui oleh masyarakat sebagai ketentuan yang
sah dan ada penegak hukum sebagai pihak yang berwenang memberikan sanksi.
Tujuan utama norma hukum adalah menciptakan suasana aman dan tenteram dalam
masyarakat. Contoh norma hukum ialah: dilarang mencuri, merampok, membunuh, dan
lain-lain.
Sanksi
bagi pelanggar norma hukum tegas,
nyata, mengikat, dan bersifat memaksa. Mereka yang melanggar norma
hukum akan ditindak tegas oleh aparat penegak hukum dan diproses melalui
persidangan di pengadilan. Siapa pun yang salah akan dikenai sanksi hukuman
sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Misalnya, pelanggar norma
hukum yang dinyatakan bersalah oleh hakim di pengadilan dapat dikenakan pidana
penjara, kurungan, denda, atau bahkan hukuman mati.
Pada hakikatnya,
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat adalah semua kaidah atau peraturan
yang mengatur pergaulan hidup manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Dengan
peraturan itu kehidupan manusia menjadi tertib, teratur, rukun, dan damai serta
menghargai hak-hak asasi manusia. Pada prinsipnya, orang yang sudah
melaksanakan norma agama berarti pula ia telah melaksanakan norma-norma yang
lainnya, yakni melaksanakan norma kesopanan, kesusilaan, dan norma hukum. Hal
ini dapat dipahami dan dimengerti lewat sikap, tingkah laku, dan perbuatan
anggota masyarakat sehari-hari yang senantiasa berbuat kebajikan, menghargai
orang lain, dan menghormati hak-hak orang lain (Tim Abdi Guru, 2006: 17).
Orang yang taat
melaksanakan norma agama adalah orang yang melaksanakan perintah-perintah
Tuhan, seperti tekun beribadah, beramal saleh, dan berbuat kebajikan terhadap
sesama dan lingkungannya. Menghindari dan meninggalkan perbuatan keji dan
durhaka adalah contoh lain dari upaya melaksanakan perintah-perintah Tuhan.
Pada dasarnya, orang
yang melakukan kebajikan berarti orang yang menjalankan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan,
dan norma hukum. Demikian sebaliknya, apabila orang itu melakukan kejahatan
atau berbuat keji, maka pada hakikatnya ia telah melakukan pelanggaran terhadap
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, yakni pelanggaran terhadap norma
agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Contoh, mencuri
berarti mengambil barang milik orang lain untuk dijadikan sebagai miliknya.
Perbuatan mencuri adalah perbuatan melanggar norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Orang yang mencuri adalah orang yang melanggar norma agama, norma
kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Sanksi norma agama
bagi si pencuri adalah siksaan neraka yang diterima di akhirat kelak. Sanksi
norma kesusilaan bagi si pencuri adalah perasaan diri yang kurang nyaman karena
merasa bersalah, menyesal, malu, dan sebagainya.
Sanksi norma
kesopanan bagi si pencuri, antara lain berupa kebencian, cemoohan, celaan, dan
hinaan dari warga masyarakat yang ditujukan kepada dirinya. Pada akhirnya, ia
dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan.
Sanksi norma hukum bagi si pencuri ialah
bahwa ia diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan yang
berlaku.
C. Menerapkan Norma Kebiasaan dan Adat-istiadat
dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan
bermasyarakat ada berbagai macam ketentuan, yaitu ketentuan-ketentuan yang
mengatur hubungan antar manusia. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, hubungan
antar manusia menjadi tertib, teratur, rukun, aman, dan damai. Warga masyarakat
menyebut ketentuan-ketentuan itu sebagai kaidah kehidupan. Sumber kaidah
kehidupan bermasyarakat ialah norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan,
dan norma hukum.
Dalam sistem
pergaulan hidup, pada prinsipnya manusia itu diciptakan bebas dan sederajat.
Meskipun demikian, masing-masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai
kepentingan yang kadang-kadang sama dan seringkali pula berbeda. Perbedaan
kepentingan tersebut apabila dibiarkan, lama kelamaan akan berubah menjadi
pertentangan.
Kaidah adalah ukuran
pedoman berperilaku atau bersikap dalam hidup. Dalam suatu pola hidup tertentu,
manusia memiliki pelbagai macam kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan
makanan, perlindungan, dan pakaian, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan untuk memiliki
sesuatu dan untuk berbuat sesuatu, kebutuhan akan harga diri.
Dalam suatu pola
kehidupan tertentu, manusia biasanya mengharapkan kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi.
Jika kebutuhan dasar tersebut tidak dapat terpenuhi, manusia akan merasa
khawatir. Apabila kekhawatiran itu memuncak, kemungkinan yang terjadi adalah
bahwa manusia akan merasa tidak puas dengan pola yang sudah ada karena ternyata
pola itu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Karenanya pada akhirnya ia
menghendaki suasana dan pola yang baru. Kita sudah mengetahui bahwa kaidah itu
merupakan pedoman kehidupan. Dalam kehidupan ada dua aspek, yaitu aspek
kehidupan pribadi dan aspek kehidupan antar pribadi. Setiap aspek kehidupan mempunyai
kaidah.
Dalam aspek kehidupan
pribadi tercakup kaidah-kaidah berikut:
a.
Kaidah agama/kepercayaan
untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman.
b. Kaidah
kesusilaan yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani
dan akhlak.
Dikatakan
bahwa kaidah-kaidah tersebut di atas adalah pedoman untuk mengatur kehidupan
pribadi yang pada umumnya memberi keteguhan pribadi dan mencegah atau memperkecil ketidakseimbangan rohani serta
perasaan rendah diri.
Sedangkan,
kaidah-kaidah yang termasuk dalam aspek kehidupan antar pribadi adalah:
(1) Kaidah
sopan santun untuk keindahan hidup bersama.
(2) Kaidah
hukum yang tertuju pada kerukunan hidup bersama.
Masing-masing
aspek kehidupan mempunyai kaidah (norma). Hal ini dapat digambarkan seperti
pada bagan berikut:
Sumber : Tim Abdiguru,
2006:19
Dalam
kehidupan masyarakat terdapat beberapa macam kaidah yang digunakan sebagai
pedoman untuk bertingkah laku. Pada
umumnya, kaidah-kaidah atau norma-norma itu adalah sebagai berikut:
a. kaidah/norma
agama
b. kaidah/norma
kesusilaan
c. kaidah/norma
kesopanan
d. kaidah/norma
hukum
v Menerapkan Norma Agama dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
Norma
agama merupakan tuntunan hidup manusia menuju ke arah yang lebih baik dan
benar. Disamping itu, norma agama mengatur kewajiban manusia kepada Tuhan, diri
sendiri, dan sesama. Pelanggaran terhadap norma agama akan mendatangkan sanksi
dari Tuhan.
Tingkat keimanan
seseorang dapat berubah-ubah, kadangkala meningkat, kadangkala menurun. Agar
keimanan seseorang lebih mantap, tidak goyah, tidak terombang-ambing bahkan
tidak menurun, maka perlu upaya-upaya meningkatkan keimanan melalui berbagai
kegiatan peribadatan dan kegiatan lainnya.
Orang yang
melaksanakan kegiatan peribadatan dan beramal kebajikan adalah orang yang takwa
dan taat kepada Tuhan. Takwa adalah sikap hati dan perilaku yang konsisten
melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangannya. Ciri-ciri orang takwa
antara lain:
a. Memiliki
kepekaan moral yang lebih baik.
b. Memiliki
mata hati yang lebih tajam untuk melihat kebenaran.
c. Selalu
menghindari hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.
d. Jika
terlanjur melakukan kesalahan, ia segera bertobat dan kembali ke jalan yang
benar.
e. Mempunyai
kekuatan batin (mental) dan mampu menghadapi berbagai persoalan hidup, sanggup
menghadapi saat-saat kritis untuk mengatasi dan mencari jalan keluarnya.
Menunaikan
ibadah dan sejenisnya lebih umum dinilai sebagai ukuran keimanan dan ketakwaan
seseorang. Walaupun pada dasarnya ibadah juga merupakan perbuatan untuk
menyatakan bakti kepada Tuhan, yang didasari oleh ketaatan dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bahkan secara luas ibadah juga dapat
diartikan sebagai segala usaha lahir batin, sesuai dengan perintah Tuhan.
Iman dan takwa adalah
wujud dari pelaksanaan kaidah/norma agama. Cara-cara untuk menerapkan
kaidah/norma agama dalam kehidupan bermasyarakat antara lain ialah:
(1) Rajin
beribadah
(2) Menolong
sesama, terutama yang berkekurangan
(3) Memberikan
harta yang kita cintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin
(4) Bertutur
kata yang sopan dan santun
(5) Menjauhi
perkataan dan perbuatan yang tidak berguna
(6) Memberikan
derma/sumbangan
v Melaksanakan Norma Kesusilaan dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
Norma
adalah aturan hidup yang berasal dari suara hati manusia yang menentukan mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, kaidah/norma
kesusilaan ini bergantung pada pribadi manusia itu sendiri. Ia dapat berbuat
baik atau buruk karena bisikan hati nuraninya. Kaidah/norma kesusilaan
mendorong manusia membina kebaikan akhlak pribadinya sehingga ia menjadi
pribadi yang baik.
Norma kesusilaan
ditujukan kepada sikap batin manusia, asalnya dari manusia itu sendiri, dan
ancaman atas pelanggaran kaidah/norma kesusilaan adalah dari batin manusia itu
sendiri berupa rasa penyesalan. Oleh sebab itu, norma kesusilaan bersifat
pribadi, bukan merupakan paksaan dari luar dirinya.
Untuk menerapkan
kaidah/norma kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat cara-caranya antara lain
ialah:
(1) Melaksanakan
tugas dan kewajiban dengan jujur
(2) Menjalani
kehidupan secara wajar
(3) Membiasakan
diri menghormati orang lain
(4) Mengendalikan
diri dari ucapan dan perbuatan tercela
(5) Tidak
angkuh
(6) Setia
kawan dan solider atas dasar kebenaran
(7) Bersikap
dan bertindak dengan budi bahasa yang baik
(8) Menghindari
sifat kasar
(9) Menghindari
sifat pendendam
v Menerapkan Norma Kesopanan dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
Norma kesopanan adalah aturan hidup yang timbul dari
pergaulan hidup masyarakat tertentu. Landasan kaidah/norma kesopanan adalah
kepatutan, kepantasan, dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, kaidah kesopanan seringkali disamakan dengan
kaidah/norma sopan santun, tata krama, atau adat.
Norma sopan santun atau kesopanan
ditujukan kepada sikap lahir setiap pelakunya demi ketertiban masyarakat dan
untuk mencapai suasana keakraban dalam pergaulan. Oleh sebab itu, tujuan dari
norma kesopanan atau sopan santun bukan manusia sebagai pribadi, melainkan
manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama di tengah masyarakat. Sanksi
atas setiap pelanggaran terhadap norma kesopanan adalah mendapat celaan dari
masyarakat dimana ia berada. Dengan demikian, sanksinya pun datang dari luar
manusia itu sendiri, yaitu masyarakat.
Untuk menerapkan kaidah/norma sopan
santun atau kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat, cara-caranya sebagai
berikut:
(1) Menampilkan
diri sesuai budaya dan kebiasaan luhur bangsa
(2) Menghormati
hak dan kewajiban diri maupun orang lain
(3) Berbuat
sesuatu dengan wajar dan sepatutnya
(4) Mematuhi
keputusan bersama dan menghargai perjanjian yang telah dibuat
(5) Bergaul
dan memperlakukan orang lain secara baik
(6) Tidak
egois dan tidak munafik dalam kehidupan sosial
(7) Bertutur
kata yang sopan dan jujur dalam kehidupan sehari-hari
(8) Memperlakukan
orang lain sesuai dengan harkat, derajat, dan martabatnya
(9) Mematuhi
aturan yang berlaku di sekolah dan dalam pergaulan dengan teman
(10) Menghindari
perilaku yang menyimpang dari norma atau aturan yang berlaku
v
Menerapkan
Norma Hukum dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Kaidah atau norma hukum adalah aturan
yang dibuat secara resmi oleh lembaga negara, mengikat setiap orang, dan
pemberlakuannya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang, sehingga
hukum itu dapat dipertahankan. Sifat yang khas dari peraturan hukum ialah
memaksa menghendaki tinjauan yang mendalam. Sebab memaksa bukanlah berarti
senantiasa dapat dipaksakan. Contohnya, apabila hukum selalu dapat dipaksakan
tidak mungkin ada orang dipenjara karena mencuri, membunuh, dan sebagainya. Hal
ini menandakan bahwa sanksi hukum tidak selalu dapat dipaksakan.
Yang diperhatikan dalam hukum adalah
bagaimana perbuatan lahiriah seseorang secara nyata. Namun demikian, norma
hukum tidak hanya membebani seseorang dengan kewajiban semata, melainkan
memberinya juga hak. Karena sanksi hukum datangnya dari luar, maka hukum
bersifat heteronom. Adapun contoh norma
hukum, diantaranya adalah sebagai berikut:
Contoh dalam ketentuan hukum perdata
disebutkan “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain maka mewajibkan orang yang karena salahnya mengakibatkan kerugian, maka mengganti
kerugian tersebut”.
Dari
contoh norma hukum ini dapat diterapkan dalam suatu proses persidangan, oleh
sebab itu setelah diproses di pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku maka dinyatakan bersalah oleh hukum, sehingga orang tersebut berkewajiban
untuk mengganti kerugian yang dilakukan.
D. Peraturan Perundangan
Tingkat Pusat dan Daerah
Di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2011 pada pasal 1 ditegaskan
bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundangan Pusat sering juga disebut
segala peraturan pusat yang bersumber UUD 1945. Yang termasuk dalam peraturan
perundangan Tingkat Pusat adalah Undang-Undang; Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden.
1.
Berdasarkan Undang-Undang
No. 12 tahun 2011 pasal 1 , dijelaskan bahwa Undang-Undang adalah peraturan
perundangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden. Akan tetapi
Rancangan Undang-Undang dapat juga diajukan atas inisiatif DPR atau atas inisiatif
Presiden. Ada banyak hal yang perlu dijadikan Undang-Undang oleh DPR, namun
tidak semua hal menjadi sama pentingnya. Ada hal-hal yang harus dibuat
undang-undangnya dengan segera dan ada juga undang-undang yang masih dapat
ditunda pembuatannya. Anggota DPR tentu saja harus lebih berkonsentrasi pada undang-undang yang harus
segera dibahas. Untuk itulah dibuat program legislasi nasional.
Program legislasi nasional memuat program
penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Program legislasi nasional
ditetapkan berdasarkan skala prioritas yang ada. Artinya, undang-undang yang
dirasa penting dan mendesak dibahas lebih lanjut. Contohnya undang-undang No.20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang No.14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
2.
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, berdasar ketentuan Undang-Undang No.11 tahun 2006
dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan memaksa.
Di dalam UUD 1945 pasal 22 disebutkan bahwa dalam ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). Perpu memiliki kedudukan yang setara
dengan UU meskipun dalam pembuatannya Presiden melakukannya sendiri tanpa
persetujuan DPR.
Presiden dapat melakukan kewenangan istimewa
ini berdasarkan prinsip “salus populi suprema lex”, yang berarti
keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Sedangkan pertimbangan khusus
pemberian kewenangan ini ialah karena hanya Presiden yang dapat mengambil
tindakan cepat bila negara sedang berada dalam keadaan darurat.
Contohnya, Peraturan Perundangan Pengganti
Undang-Undang (Perpu) yang disyahkan menjadi Undang-Undang: yaitu UU
No.1/PRP/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta UU
No.1/PRP/2003 untuk Kasus Bom Bali.
3. Peraturan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan
Perundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya (UU No.11 Tahun 2006, pasal 1). Oleh sebab itu Peraturan
Pemerintah tidak boleh berlawanan dengan Undang-Undang.
Sebaliknya Peraturan Pemerintah juga dibuat
untuk memudahkan pelaksanaan Undang-Undang.
Contoh PP No.25 tahun 2001 tentang Pajak
Daerah adalah merupakan pelaksanaan dari UU No.34 tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
4. Peraturan
Presiden
Berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2012
dijelaskan Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
atau dalam menyelenggarakan kekuasaan Pemerintahan, contoh Peraturan Presiden,
antara lain:
- Peraturan
Presiden Republik Indonesia No.9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi
dan Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
- Peraturan
Perundangan Tingkat Daerah, yang disebut Peraturan Perundangan Tingkat Daerah
adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga berwenang yang ada di daerah.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No, 11 tahun 2012 Peraturan Daerah meliputi
Peraturan Daerah Propinsi, yaitu Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dengan persetujuan bersama Gubernur atau Perda
Propinsi.
Sedangkan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Berdasarkan
Undang-Undang No.11 tahun 2012 pasal 14 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 pasal 15, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Perda).
Dengan demikian peraturan selain Undang-Undang dan Perda tidak diijinkan
untuk memuat ketentuan pidana. Dalam kehidupan bernegara, Peraturan Daerah
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 atau Peraturan
Perundang-Undangan di atasnya, misalnya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah
maupun Peraturan Presiden.
E. Fungsi Peraturan Perundangan
Tingkat Pusat dan Daerah
Berdasarkan undang-Undang No.11 tahun
2012 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa Perda
merupakan ketentuan hukum bawahan, maka Peraturan Daerah perlu memperhatikan
ketentuan perundangan yang ada di atasnya. Sehubungan dengan hal tersebut
Nampak bahwa lembaga pembentuk hukum (Peraturan Daerah) di daerah mempunyai peranan
yang sangat strategis dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah.
Pendapat
(Sukowiyono, 2006:80) menyatakan bahwa produk legislasi tidak hanya ada di
tingkat Pusat, melainkan juga di tingkat daerah. Apabila diuraikan persamaan dan
perbedaan adalah sebagai berikut:
1. Legislasi
Pusat :
a.
Undang-Undang dibentuk oleh
DPR dengan persetujuan Pemerintah.
b.
Materi muatan Undang-Undang
bersifat umum, abstrak dan/atau umum kongkret untuk melaksanakan UUD.
c.
Undang-Undang dapat mengatur
norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara lebih leluasa.
d.
Syarat sahnya pemberlakuan
Undang-Undang wajib diundangkan dalam Lembaran Negara.
e.
Undang-Undang yang dinilai
tidak memenuhi persyaratan hukum yang baik dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
2. Legislasi
Daerah :
a.
Peraturan Daerah dibentuk
oleh DPR bersama Kepala Daerah.
b.
Materi muatan peraturan
Daerah bersifat umum abstrak dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah dan
tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Menteri).
c.
Peraturan Daerah dapat
mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara terbatas.
d.
Syarat sahnya pemberlakuan
Peraturan Daerah wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah.
e.
Peraturan Daerah sebagai
bagian integral dari Peraturan Perundang-Undangan dapat menjadi objek judicial review ke Mahkamah Agung.
f.
Peraturan Daerah yang
dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dan Peraturan daerah lainnya menjadi objek pengawasan preventif
dan represif Pemerintah Pusat.
g.
Atas dasar butir (f),
putusan Pemerintah Pusat yang membatalkan Peraturan Daerah dapat menjadi pokok
pangkal sengketa dalam prosedur keberatan kepada Pemerintah Pusat maupun
Mahkamah Agung.
Fungsi Peraturan Perundang-Undangan
dibedakan menjadi dua yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal.
Fungsi
internal, adalah:
1.
Fungsi penciptaan hukum
melalui pembentukan hukum oleh organ legislatif dan eksekutif, keputusan hakim,
hukum adat dan konvensi ketatanegaraan.
2.
Fungsi pembaharuan hukum
untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan jaman,
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini.
3.
Fungsi integrasi pluralisme
sistem hukum, yaitu mengintegrasikan materi-materi hukum sejenis sehingga
tersusun dalam satu tatanan kodifikasi dan unifikasi hukum yang harmonis.
4.
Fungsi kepastian hukum untuk
menjamin terpeliharanya upaya pengaturan dan penegakan hukum melalui perumusan
norma hukum yang memenuhi criteria asas, bentuk, pengertian, penggunaan bahasa
maupun keberlakuannya.
Sedangkan fungsi eksternal peraturan
perundang-undangan adalah menyangkut fungsi sosial hukum, berkaitan dengan hukum
adat, yurisprudensi atau lingkungan tempat berlakunya peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1.
Fungsi perubahan, berkenaan
dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan guna mengubah kondisi sosial
ekonomi budaya masyarakat dan aparatur negara baik mengubah pola pikir maupun
perilakunya dari status tradisional ke status modern, atau mewujudkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dianggap terbaik bagi kepentingan negara, pemerintah, dan
masyarakat luas.
2.
Fungsi stabilisasi, bahwa
peranan perundang-undangan mengatur stabilitas keamanan dan ketertiban
masyarakat.
3.
Fungsi kemudahan, untuk
memberi kemudahan guna mencapai tujuan tertentu. Misalnya kemudahan mengurus
perijinan; toleransi pembayaran pajak dan sebagainya yang diberikan oleh
pemerintah dalam dunia usaha.
F. Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan Nasional
Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan
Nasional apabila dibandingkan antara ketentuan Undang-Undang nomor 10 tahun
2004 dengan ketentuan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 memiliki perbedaan.
Yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut
ketentuan Undang-Undang No.10 tahun 2004 pasal 7 ayat 1 tata urutan peraturan
Perundang-Undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3. Peraturan
Pemerintah
4. Peraturan
Presiden
5. Peraturan
Daerah.
Sedangkan
Peraturan Daerah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 7 (ayat 1), dijelaskan
lebih lanjut pada pasal 7 (ayat 2), adalah:
1. Peraturan
Daerah Propinsi
2. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
3. Peraturan
Desa/Peraturan yang setingkat yang dibuat oleh badan perwakilan desa bersama
Kepala Desa.
Sedangkan
menurut ketentuan Undang-Undang No.12 Tahun 2011, tata urutan Peraturan Perundang-Undangan
terdiri atas:
1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Peraturan
Pemerintah.
5. Peraturan
Prsiden
6. Peraturan
Daerah Propinsi; dan
7. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya
dalam pasal 7 (ayat 2) Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis
peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada (ayat 1), diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
Dalam
penjelasan pasal 7 (ayat 2) undang-Undang No.12 tahun 2011 dijelaskan, bahwa
jenis Pearaturan Perundang-Undangan yang dimaksud antara lain peraturan yang
ditetapkan oleh:
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
2. Dewan
Perwakilan Rakyat
3. Dewan
Perwakilan Daerah
4. Mahkamah
Agung
5. Mahkamah
Konstitusi
6. Badan
Pemeriksa Keuangan
7. Komisi
Yudisial
8. Gubernur
Bank Indonesia
9. Menteri
10. Lembaga/Badan
11. Komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah
Undang-Undang
12. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi
13. Gubernur
14. Dewan
Perwakilan Rakyat daerah Kabupaten/Kota
15. Bupati/Walikota
16. Kepala
Desa atau yang setingkat
Bentuk aturan hukum di luar konstitusi
tersebut dalam praktek ada juga yang sama dengan yang diatur oleh UUD 1945.
Hanya saja terkadang diartikan secara berbeda. Pemaknaan tepat dari hakekat
legislasi sebagai wewenang yang timbul dari representasi rakyat (pembagian
kekuasaan), menempatkan DPR sebagai otoritas atau lembaga utama pembentukan Undang-Undang
pada tingkat Pusat dan DPRD untuk Perda Propinsi, Perda Kota dan Perda
Kabupaten pada tingkat daerah.
Dengan
demikian fungsi legislasi dan kekuasaan legislatif ada pada bentuk
Undang-Undang dan Perda.
Pemerintah
sebagai pelaksana dan pengemban amanat pemerintahan menjalankan fungsi
pemerintahan berdasarkan wewenang aturan hukum dalam Peraturan Pemerintah dan
dalam prakteknya ditemukan penggunaan Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai aturan
hukum yang bersifat abstrak dan mengatur umum. Termasuk dalam kelompok ini
Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota dan Keputusan Bupati pada tingkat
daerah.
Apabila dicermati ketentuan UUD 1945
pasal 1 ayat (3) setelah amandemen ditetapkan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum. Mengenai negara berdasarkan atas hukum, pada hakikatnya memilki 4
(empat) elemen, (Sukowiyono, 2006 : 118), yaitu:
1. Pemerintah
menurut hukum
2. Jaminan
terhadap hak asasi manusia
3. Pembagian
kekuasaan
4. Pengawasan
yustisial terhadap pemerintah.
Keempat
elemen tersebut berfungsi sebagai tolak ukur bagi peraturan perundang-undangan
yang baik, bahwa secara yuridis:
(a) setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang
lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber atribusinya; (b) setiap peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan
hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi warga
negara dan masyarakat setempat, peraturan perundang-undangan tersebut berlaku
mengikat secara umum; (c) setiap peraturan perundang-undangan wajib dibentuk
sesuai dasar-dasar hukum positif yang melandasi kewenangan lingkungan jabatan
atau badan-badan kenegaraan/pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah; (d)
setiap peraturan perundang-undangan di bawah UUD, terbuka untuk dilakukan
judicial review oleh lembaga peradilan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman
(Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) yang berwenang untuk itu.
Selanjutnya ketentuan Undang-Undang
No.12 Tahun 2011 pada pasal 5 ditegaskan bahwa dalam membentuk peraturan
perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan
tujuan;
b. kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian
antara jenis, hirarki, dan materi muatan;
d. dapat
dilaksanakan;
e. kedayagunaan
dan kehasilgunaan;
f. kejelasan
rumusan; dan
g. keterbukaan.
Di
dalam penjelasan pasal 5 Undang-Undang No.12 tahun 2011, yang dimaksud dengan:
a.
Asas “kejelasan tujuan”
adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
b.
Asas “kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang
tidak berwenang.
c. Asas
“kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d. Asas
“dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis
maupun sosiologis.
e. Asas
“kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Asas
“kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. Asas
“keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Demikian juga ketentuan pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan asas:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhinneka
tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban
dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
Dalam penjelasan pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan:
a. Asas
“pengayoman” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas
“kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warganegara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas
“kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas
“ kekeluargaan’ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan musyawarah untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas
“kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f. Asas
“bhineka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masala-masalah sensitif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g. Asas
“keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
h. Asas
“kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial
i. Asas
“ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
j. Asas
“keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa materi muatan setiap
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.
G. Proses Penyusunan dan Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan Nasional
Berikut
ini alur pembuatan Undang-Undang yang dimulai dari persiapan rancangan
undang-undang
sampai dengan penerapannya.
a. Proses
Persiapan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Apabila Rancangan
Undang-Undang (RUU) berasal dari Presiden, maka RUU dipersiapkan oleh Presiden
dan diproses serta dibahas oleh pembantu-pembantu Presiden dan staf ahli sesuai
dengan bidangnya masing-masing menjadi draf RUU.
Selanjutnya RUU diajukan
kepada Presiden.
Apabila Rancangan
Undang-Undang (RUU) berasal dari DPR, maka RUU diproses oleh panitia Ad Hoc DPR
dan dirumuskan menjadi RUU, dan selanjutnya dimasukkan dalam agenda pembahasan
rapat DPR.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh Presiden kepada
DPR atau diajukan oleh DPR. Presiden mengajukan RUU kepada DPR untuk dibahas
dalam persidangan pada masa sidang DPR, atau DPR mempunyai hak amandemen terhadap
RUU yang diajukan oleh Presiden, atau hak DPR untuk merubah baik menambah
maupun mengurangi RUU tersebut sampai menjadi Undang-Undang. DPR juga mempunyai
hak inisiatif, yaitu hak DPR untuk mengajukan RUU untuk diproses dan
selanjutnya dibahas pada masa persidangan DPR. Dengan melalui permusyawaratan
demokratis, maka RUU dapat ditetapkan menjadi Undang-Undang dan meminta
persetujuan kepada DPR untuk disyahkan.
Adapun proses pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam masa sidang DPR, adalah sebagai berikut:
1. RUU
yang diusulkan atau diajukan diterima oleh DPR
2. DPR
mengagendakan jadwal kapan pelaksanaan rapat pembahasan RUU pada masa
persidangan DPR
3. Apabila
telah ditetapkan jadwal persidangannya, ada beberapa tahapan, yaitu:
a. Tahap
pertama, DPR menyelenggarakan sidang pleno membahas RUU.
b. Tahap
kedua, pembahasan RUU oleh komisi dan fraksi di DPR.
c. Tahap
ketiga, hearing yaitu DPR menerima aspirasi, pendapat, dan saran dari lapisan
masyarakat, para pakar dan ahlinya untuk kesempurnaan dan perbaikan.
d. Tahap
keempat, dilakukan sidang pleno pengambilan keputusan dalam rangka menetapkan
RUU menjadi Undang-Undang.
Apabila RUU tidak
mendapat persetujuan baik dari DPR maupun Presiden, maka RUU tidak dapat
disahkan menjadi UU serta tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa
itu. Sebaliknya apabila DPR telah
menetapkan RUU menjadi UU sesuai tahap empat (point d), maka UU tersebut
disahkan oleh Presiden, yang selanjutnya UU yang telah disahkan tersebut maka
oleh Menteri Sekretaris Negara diundangkan dalam Lembaran Negara tentang
berlakunya Undang-Undang tersebut, yang selanjutnya berlakulah UU tersebut
secara Nasional.
Dasar Hukum proses penyusunan
undang-undang adalah UUD 1945 perubahan pasal 5 dinyatakan:
ayat 1, “Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”.
ayat 2, “Presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimanamestinya”.
Pada pasal 20 Undang-Undang
Dasar 1945 perubahan dinyatakan:
ayat 1, “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
ayat 2, “Setiap rancangan
Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama”.
ayat 3, “Jika rancangan
Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan Undang-Undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
ayat 4, “Presiden
mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang”.
ayat 5, “Dalam hal rancangan
Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.
Berikut
ini bagaimana alur pembentukan Peraturan Daerah.
Berdasarkan
Undang-Undang No.12 tahun 2011 pasal 7, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dengan tegas Perda diakui sebagai bagian integral dari
Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia .Dengan demikian jelas bahwa
keberadaan Peraturan Daerah merupakan condition
sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut.
Perda harus dijadikan
pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah.
Disamping itu Perda juga harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi rakyat
di daerah. Eksistensi Perda bagi Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi instrumen yuridis operasional untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam konteks otonomi daerah, Perda
merupakan instrumen pengendali terhadap pelaksanaan otonomi daerah, hal ini
disebabkan karena esensi otonomi daerah itu adalah kemandirian atau
keleluasaan, dan bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintah yang
merdeka.
Kemandirian itu sendiri mengandung arti
bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya
sendiri.
Kewenangan mengatur
disini mengandung arti bahwa daerah yang bersangkutan berhak membuat produk
hukum berupa peraturan perundang-undangan yang diberi nama Perda. Berdasarkan
pasal 18 ayat (6) UUD 1945 perubahan dinyatakan Pemerintahan daerah berhak
menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan. Dari isi pasal tersebut nampak bahwa atribusi kewenangan
pembentukan Perda diberikan oleh UUD 1945 kepada Pemerintah daerah, yang dalam
hal ini menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan; Perda adalah Peraturan
Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan dalam pasal 136 ayat(1)
Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, Perda ditetapkan
oleh Kepala Daerah , Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan
persetujuan bersama DPRD.
Persetujuan itu sendiri sesungguhnya
mengandung kewenangan yang menentukan, artinya tanpa persetujuan DPRD maka
tidak akan pernah ada Perda. Ketentuan itu tidak berarti bahwa kewenangan
membuat Perda ada pada kepala daerah, dan DPRD hanya bertugas memberikan
persetujuan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang
dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana
diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.32 tahun 2004. Dalam
penjelasan pasal 42 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
membentuk dalam ketentuan ini adalah termasuk pengajuan Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 tahun 2011.
Adapun yang dimaksud dengan Kepala
daerah adalah Gubernur, Bupati atau walikota, sedangkan DPRD adalah DPRD
Propinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota. Pengertian bersama-sama antara DPRD
dengan Kepala Daerah dalam membuat Perda dapat berasal dari DPRD maupun dari
Pemerintah Daerah.
Disamping itu DPRD
juga mempunyai hak untuk mengajukan Raperda seperti yang diatur dalam Pasal 44
ayat (1) Undang-Undang no.32 tahun 2004. Perda mempunyai peranan yang sangat
penting dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Sehubungan dengan hal itu DPRD dengan
persetujuan Kepala Daerah sesuai dengan tingkatannya berdasarkan atribusi
kewenangan dari UUD 1945 berhak membentuk Perda Propinsi/Kabupaten/Kota. Perda tersebut dibentuk untuk
melaksanakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan Peraturan Perundang-Undangan serta untuk melaksanakan penugasan dari
pemerintah kepada daerah.
Sebagaimana Peraturan
Perundang-Undangan yang lain, Perda terikat pada norma-norma hukum, baik itu
dari sisi substansinya, prosedur pembuatannya, ikatan norma-norma tersebut
dapat menentukan karakteristik dan keberlakuan Perda yang bersangkutan. Penyusunan
suatu Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) bukan merupakan suatu pekerjaan yang
mudah. Apabila Perda dibuat kurang sempurna maka akan berakibat kurang dapat
dimengerti oleh mereka yang menggunakan yang pada gilirannya mereka akan sulit
melakukannya atau ada kemungkinan apabila mereka melaksanakan mungkin akan terjadi
penyimpangan dari kehendak pembuat Perda tersebut. Hal ini disebabkan sebagai
akibat dari munculnya banyak penafsiran dari Perda yang tidak jelas. Oleh sebab
itu rumusan suatu Perda harus tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh semua
pihak dan rumusan bahasa hukumnya harus baik.
Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan
peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk
mempertahankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dalam masayrakat.
Dengan menggunakan bahasa hukum yang baik,
akan dapat dijabarkan dengan jelas siapa (subyek) yang harus berperilaku, serta
dapat dijabarkan dengan jelas perilakunya (norma) yang akan diinginkan.
Setiap penyusunan
suatu Perda, dari persiapan sampai dengan penyusunan Raperda diperlukan suatu
pengetahuan yang mendalam mengenai materi yang akan diatur dan juga harus
didukung dengan pengetahuan hukum yang luas serta pengetahuan tentang teknik
perundang-undangan. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu diperlukan pula suatu
kecakapan untuk mencari dan menemukan pokok persoalan atau fakta yang telah
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk dituangkan dalam rumusan Perda
yang singkat namun jelas sehingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk Perda
itu dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Perda tentunya tidak dibuat untuk
keperluan sesaat saja, akan tetapi pada umumnya dimaksudkan untuk dapat berlaku
lama, sehingga dapat diperoleh suatu kepastian hukum.
Pembentukan Perda
haruslah sesuai atau berdasarkan asas-asas hukum umum dan asas-asas hukum
khusus pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan asas-asas pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang baik berdasarkan ketentuan pasal 5
Undang-Undang No.12 tahun 2011 juga pasal 137 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004
yaitu: (a) kejelasan tujuan, (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat,
(c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, (d) dapat dilaksanakan, (e)
kesesuaian antara jenis dan materi mutan, (f) kejelasan rumusan dan (g)
keterbukaan. Disamping itu pembentukan Perda juga harus berdasarkan asas yang
dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dimuat dalam
pasal 6 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Juga pasal 138 Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang meliputi (a) pengayoman, (b) kemanusiaan, (c)
kebangsaan, (d) kekeluargaan, (e) kenusantaraan, (f) bhineka tunggal ika, (g)
keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (i) ketertiban
dan kepastian hukum dan/atau (j) keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Perda merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangan
yang ada di atasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi serta Perda daerah lain.
Menurut penjelasan pasal 136 ayat (4)
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud
bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang berakibat
terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan
terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat
diskriminatif.
Dalam proses pembentukan Perda harus
dilakukan dengan cermat serta semua asas-asas tersebut di atas layak dipahami
dengan seksama oleh para anggota DPRD dan Kepala Daerah. Hal ini dimaksudkan
agar pembentukan Perda benar-benar memenuhi persyaratan hukum yang baik, serta
seminimal mungkin terkena tindakan pembatalan oleh pemerintah pusat, ataupun
mendapat gugatan/permohonan keberatan dari subyek dan badan hukum yang merasa
dirugikan kepentingannya kepada Mahkamah Agung RI, atas diberlakukannya suatu
Peraturan Daerah.
Proses pembuatan
Perda yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, pembahasan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan.
Dalam mempersiapkan pembahasan dan
pengesahan Raperda menjadi Perda, harus berpedoman kepada Peraturan
Perundang-Undangan. Raperda dapat berasal dari DPRD atau Kepala Daerah
(Gubernur ataupun Bupati/Walikota), masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah propinsi, kabupaten atau kota. Raperda yang usulannya berasal dari
Kepala Daerah disampaikan dengan surat pengantar Kepala Daerah kepada DPRD.
Sedangkan Raperda yang usulannya berasal dari DPRD disampaikan oleh Pimpinan
DPRD kepada Kepala Daerah.
Raperda yang berasal dari DPRD atau
Kepala Daerah dibahas oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Raperda yang usulannya berasal dari DPRD kepada seluruh anggota DPRD selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari sebelum Raperda tersebut dibahas dalam rapat paripurna DPRD.
Penyebarluasan
Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD, sedangkan
penyebarluasan Raperda yang berasal dari Kepala Daerah dilaksanakan oleh
Sekretariat Daerah.
Dengan penyebarluasan Raperda ini
dimaksudkan agar masyarakat mengetahui adanya Raperda yang sedang dibahas di
DPRD yang bersangkutan.
Dengan demikian masyarakat dapat
memberikan masukan atas materi Raperda yang sedang dibahas. Dalam penyusunan
Raperda, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun secara
tertulis dalam rangka pembahasan sampai dengan pengesahan Raperda menjadi
Perda.
Apabila dalam satu
masa sidang, DPRD dan Kepala Daerah menyampaikan Raperda mengenai materi yang
sama maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan
Raperda yang disampaikan oleh Kepala Daerah digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.
Raperda disampaikan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
bidang legislasi. Khusus Perda tentang APBD rancangannya disiapkan oleh
Pemerintah Daerah dan sekaligus mencakup keuangan DPRD untuk dibahas bersama
DPRD sebagai produk legislasi daerah, atau produk hukum daerah.
Pembahasan Raperda dilakukan melalui
empat tingkatan pembicaraan, yaitu:
1. Pembahasan
Raperda dilakukan oleh DPRD bersama Kepala Daerah.
2. Pembahasan Raperda yang dilakukan oleh DPRD
bersama Kepala Daerah dilaksanakan melalui empat tingkat pembicaraan, yaitu:
a. Pembicaraan
tingkat pertama, meliputi:
1) Penjelasan
Kepala Daerah dalam rapat paripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal
dari usul parakarsa Kepala Daerah.
2) Penjelasan
dalam rapat paripurna oleh pimpinan komisi/gabungan komisi atau pimpinan
panitia khusus terhadap Raperda dan/atau Perubahan Perda yang berasal dari usul
prakarsa DPRD.
b. Pembicaraan
tingkat kedua, meliputi:
1) Dalam
hal Raperda yang berasal dari usul prakarsa Kepala Daerah.
a. Pemandangan
umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah.
b. Jawaban
Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.
2) Dalam
hal Raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.
a. Pendapat
Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD.
b. Jawaban
dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
c. Pembicaraan
tingkat ketiga meliputi pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau
rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau Pejabat
yang ditunjuk.
d. Pembicaraan
tingkat keempat, meliputi:
1) Pengambilan
keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan:
a. Laporan
hasil pembicaraan tahap tiga
b. Pendapat
akhir fraksi
c. Pengambilan
keputusan
2) Penyampaian
sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan.
3) Rapat
fraksi diadakan sebelum dilakukan pembicaraan tentang laporan hasil pembicaraan
tahap ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan.
4) Apabila
dipandang perlu Panitia Musyawarah dapat menetukan bahwa pembicaraan tahap
ketiga dilakukan rapat gabungan atau dalam rapat panitia khusus Raperda dapat
ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Raperda
yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama
DPRD dan Kepala Daerah.
Penarikan kembali Raperda
oleh DPRD, sebelum dibahas bersama DPRD dan Kepala Daerah, dilakukan dengan
Keputusan Pimpinan DPRD dengan disertai alasan-alasan penarikannya.
Sedangkan penarikan kembali
Raperda oleh Kepala Daerah sebelum dibahas bersama DPRD dan Kepala Daerah,
disampaikan dengan surat Kepala Daerah disertai alasan-alasan penarikannya.
Penarikan kembali Raperda
baik yang dilakukan oleh DPRD maupun oleh Kepala Daerah dilakukan dalam rapat
pembahasan raperda antara DPRD dan Kepala daerah dengan disertai persetujuan
bersama.
Selanjutnya raperda yang
ditarik kembali tidak dapat diajukan kembali.
Raperda yang telah
disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian Raperda yang
telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah ditetapkan
oleh Kepala Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan membutuhkan tanda
tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut
disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Dalam hal Raperda yang disetujui
bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah, tidak ditandatangani oleh Kepala Daerah
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui
bersama, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan. Agar
setiap orang mengetahui, maka Perda harus diundangkan dengan menempatkannya
dalam Lembaran Daerah.
Pengundangan Perda
dalam Lembaran Daerah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Perda yang telah disahkan
mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali
ditentukan lain dalam Perda tersebut. Perda yang berkaitan dengan APBD, Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, dan tata ruang daerah sebelum diundangkan dalam
Lembaran Daerah harus dievaluasi oleh Pemerintah. Perda yang bersifat mengatur
setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah harus didaftarkan kepada Pemerintah
untuk Perda Propinsi dan kepada Gubernur untuk Perda Kabupaten/Kota.
Perda disampaikan kepada Pemerintah
Pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan, dan apabila Perda tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya
Perda tersebut oleh Pemerintah Pusat. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah
keputusan pembatalan oleh Pemerintah Pusat dikirimkan ke daerah, maka Kepala
daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama
Kepala Daerah mencabut Perda tersebut.
Apabila Propinsi/Kabupaten/Kota tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda tersebut dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan yang diajukan oleh Kepala
Daerah atas pembatalan Perda itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan
Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Apabila Pemerintah
Pusat tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda itu, maka Perda
dimaksud dinyatakan berlaku. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan
perundang-undangan Kepala Daerah menetapkan Peraturan Kepala daerahdan/atau
keputusan Kepala Daerah.
Bab III. Kesimpulan
Norma berfungsi untuk
mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Norma yang
bersifat formal mengacu pada norma tertulis yang berasal dari lembaga atau
institusi yang berwenang. Adapun norma yang bersifat nonformal menunjuk pada
aturan yang tidak tertulis dan diakui keberadaannya di dalam hidup
bermasyarakat.
Tidak setiap norma itu berlaku universal
atau berlaku untuk semua tempat. Akan tetapi ada norma yang berlaku di suatu
tempat, dam tidak berlaku di tempat lain, contohnya kebiasaan.
Pada dasarnya setiap
norma dalam masyarakat bertujuan menjaga sikap, perbuatan dan tutur kata agar
lebih tertib dan teratur. Oleh karena itulah setiap norma memiliki sanksi
tertentu. Perbedaan antara norma hukum dengan norma-norma lainnya adalah norma
hukum bersifat memaksa dan mempunyai sanksi yang tegas. Bila dibandingkan
dengan sanksi adat istiadat dijatuhkan oleh orang-orang yang mengetahui seluk
beluk adat istiadat. Norma agama menuntun manusia ke arah kebenaran dan
mengatur kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri dan sesama. Sanksi atas
norma agama ini diberikan oleh Tuhan. Norma kesusilaan berasal dari hati nurani
manusia untuk menentukan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak
baik.
Norma kesopanan timbul dari hasil pergaulan
dengan orang lain dalam suatu masyarakat. Ukuran sopan atau tidak sopan suatu
perilaku bisa berbeda-beda antar masyarakat ditentukan oleh kondisi dan
lingkungan masyarakat.
Ditinjau dari
tingkatannya ada dua tingkat peraturan perundangan, yaitu peraturan perundangan
tingkat pusat dan peraturan daerah.
Proses penyusunan perundang-undangan
Nasional dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Materi muatan
Undang-Undang bersifat umum abstrak dan/atau umum kongkret untuk melaksanakan
UUD. Undang-undang dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi
administrasi secara lebih leluasa. Syarat sahnya pemberlakuan Undang-Undang
wajib diundangkan dalam Lembaran Negara. Undang-Undang yang dinilai tidak
memenuhi persyaratan hukum yang baik dapat dilakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Daerah
dibentuk oleh DPRD bersama Kepala Daerah. Materi muatan Peraturan Daerah
bersifat umum abstrak dan/atau umum kongkret adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah
dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara terbatas. Syarat
sahnya pemberlakuan Peraturan Daerah wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah. Peraturan
Daerah sebagai bagian integral dari Peraturan Perundang-Undangan dapat menjadi
obyek Judicial Review ke Mahkamah
Agung.
Daftar
Pustaka
Mahendra
Jusril Ihsa, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi actual masalah
Konstitusi
Dewan
Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Geama insane Press, Jakarta
Nasution
M. Arif, 2000, Demokrasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung
Soeprapto
Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Jogyakarta
Tim
Abdi guru, 2006, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII, Erlangga,
Jakarta
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945, diterbitkan Sekretaris Jenderal MPR RI,
2011, Jakarta
Undang-Undang
Republik Indonesia No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang
Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Wiyono
Suko, 2006, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia Pembentukan Peraturan
Daerah Partisipatif, Fasa Media, Jakarta
Buku
III
Lembar
Kegiatan Peserta Diklat
1. Petunjuk
Belajar
a. Peserta
diklat harus membaca secara cermat lembar kerja ini terutama pada paparan
uraian materi yang ada pada Buku II sebelum mengerjakan tugas/latihan
b. Lakukan
kegiatan sesuai dengan prosedur
c. Apabila
peserta diklat ada permasalahan atau kesulitan perlu mendiskusikan dengan
sesama teman peserta diklat atau nara sumber
2. Uraian
Materi
|
|
3. Sumber/Alat/Bahan
Sumber bahan
1. Wiyono,
Suko, 2006, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia Pembentukan Peraturan Daerah
Partisipatif, Fasa Media, Jakarta.
2. Soeprapto
Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
Kanisius, Jogyakarta.
3. Undang-Undang
Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
4. Tugas/latihan
a. Diskusikanlah
dengan teman pesrta diklat untuk menganalisis masalah sebagai berikut:
1. Agar
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan di tingkat pusat
dan daerah adalah merupakan bagian dari upaya memulihkan kepercayaan masyarakat
terhadap kepastian hukum. Mengapa demikian, analisalah?
2. Materi
muatan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah harus
berisi kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat
dan/atau negara hukum yang adil, makmur, sejahtera, damai dan beradab. Jelaskan
mengapa demikian, analisislah?
3. Setiap
peraturan perundang-undangan di bawah UUD harus terbuka untuk dilakukan
Judicial Review oleh lembaga peradilan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman.
Jelaskan mengapa demikian, analisislah?
b. Buatlah
laporan analisis masalah tersebut dalam bentuk tertulis dan siap untuk
dipresentasikan.
5. Penilaian
a. Jawablah
beberapa pertanyaan ini sebagai berikut:
1. Jelaskan
apa perbedaan antara kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores) ?
2. Bagaimanakah
menurut pendapat saudara apabila kita melanggar adat istiadat dalam kehidupan
bermasyarakat ?
3. Berikan
contoh norma agama dalam hidup bermasyarakat dan bagaimana bentuk sanksinya ?
4. Jelaskan
apa yang disebut norma hukum, bagaimana bentuk sanksi bagi orang yang melanggar
norma hukum ?
5. Jelaskan
apa yang disebut pengertian peraturan perundang-undangan ?
6. Berikan
contoh bentuk peraturan perundangan tingkat pusat ?
7. Berikan
contoh bentuk peraturan perundangan tingkat daerah ?
8. Jelaskan
apakah fungsi peraturan perundang-undangan secara internal ?
9. Jelaskan
apakah fungsi peraturan perundang-undangan secara eksternal ?
10. Jelaskan
bahwa setiap peraturan perundang-undangan wajib dibentuk sesuai dasar-dasar
hukum positif ?
b. Rambu-rambu
Jawaban
1. Kebiasaan
(folkways) adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan pola yang sama
dan tetap dianggap baik, sedang tata kelakuan (mores) adalah perilaku yang
ditetapkan oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan diterima sebagai
norma pengatur. Tata kelakuan berwujud paksaan dan larangan sehingga secara
langsung menjadi alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatannya dengan
tata kelakuan tersebut.
2. Sesuatu
yang ditabukan atau diadatkan berarti berarti sesuatu yang tidak boleh
dilanggar, seandainya dilanggar maka si pelaku akan dikenai sanksi sesuai
pelanggaran.
3. Contohnya:
a. beribadah
sesuai dengan agama dan keyakinan
b. beramal
saleh dan berbuat kebajikan
c. mencegah,
melarang dan tidak melakukan tindakan keji dan maksiat.
Bentuk
sanksinya berdosa pada Tuhan, dan menerima sanksinya diakhirat.
4. Norma
hukum adalah pedoman hidup yang dibuat oleh lembaga negara. Hukum sebagai
sistem norma untuk mentertibkan kehidupan sosial.
Sanksi pelanggar norma hukum
tegas, nyata mengikat dan bersifat memaksa.
Siapapun bersalah dikenai
hukuman sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
5. Peraturan
perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, karena merupakan keputusan
tertulis maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut
hukum tertulis.
6. Peraturan
perundang-undangan tingkat pusat
-
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945
-
Undang-Undang/Peraturan
Pengganti Undang-Undang
-
Peraturan Pemerintah
-
Peraturan Presiden
7. Peraturan
Perundangan Tingkat Daerah
-
Peraturan Daerah Tingkat
Propinsi
-
Peraturan Daerah Tingkat
Kabupaten/Kota
-
Peraturan Desa/peraturan
yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa dan atau
nama
lain bersama Kepala Desa.
8. Fungsi
Peraturan Perundang-Undangan secara internal:
a. Fungsi
penciptaan hukum
b. Fungsi
pembaharuan hukum
c. Fungsi
integrasi pluralisme
d. Fungsi
kepastian hukum
9. Fungsi
Peraturan Perundang-Undangan secara eksternal:
a. Fungsi
perubahan
b. Fungsi
stabilisasi
c. Fungsi
kemudahan
10. Karena
setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia,
termasuk hak asasi warga negara dan masyarakat setempat, peraturan
perundang-undangan tersebut berlaku mengikat secara umum. Disamping materi
muatan perundang-undangan yang baik berisi kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi terwujudnya masyarakat dan/atau negara hukum Indonesia yang cerdas,
adil, sejahtera dan beradab.
Pedoman penilaian
1. Apabila
jawaban betul sesuai dengan rambu jawaban, skor : 10
2. Apabila
jawaban sebagian besar betul, skor : 8
3. Apabila jawaban separuh betul, skor : 6
4. Apabila
jawaban sebagian kecil betul, skor : 4
5. Apabila
jawaban tidak betul, skor : 0
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN PUSAT DAN DAERAH
Oleh:
Dra.
Arbaiyah Prantiasih, M.Si
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN NASIONAL
PUSAT
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DAN IPS
Malang
2012
Kata
Pengantar
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya semata, telah
dapat menyelesaikan penulisan modul sebagai bahan ajar pendidikan dan latihan
untuk bahan Diklat Guru-Guru Sekolah Dasar Mata Pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan SD.
Proses dan prosedur
penyusunan Bahan Ajar Diklat ini didasarkan pada Silabus Kurikulum mata
pelajaran PKn SD. Tentunya bahan ajar Diklat ini masih banyak kekurangan-
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak
dalam upaya menyempurnakan bahan ajar ini.
Penulis,
Dra.
Arbaiyah Prantiasih, M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar