Jumat, 04 Maret 2016

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN PUSAT DAN DAERAH 2012


Buku I
Petunjuk Penggunaan Modul
Modul ini sebagai bahan ajar yang disusun secara sistematis mencakup isi materi, metode dan evaluasi yang dapat digunakan secara mandiri. Penulisan modul ini memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta diklat maupun guru.
Modul ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi peserta diklat.
Dapat mengembangkan kemampuan peserta diklat/guru dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya. Memungkinkan peserta diklat belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya. Memungkinkan peserta diklat dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.
Oleh sebab itu dalam penyusunan materi pembelajaran dalam modul ini ada beberapa aspek yang diperhatikan :
1.  Aspek relevansi, artinya meteri pembelajaran relevan atau ada kaitannya serta ada hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.
2.  Aspek konsistensi, artinya keajegan.
Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai subyek didik aspek kognitif pada jenjang pemahaman, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi jenjang pemahaman.
3.  Aspek kecukupan atau adekuasi, artinya materi pembelajaran yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu subyek didik menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi pembelajaran tidak boleh terlalu sedikit, dan juga tidak boleh terlalu banyak. Apabila terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, apabila terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga untuk mempelajarinya.

Pengembangan materi pembelajaran dalam modul ini mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dan panduan kurikulum untuk pendidikan Dasar.
Bahan ajar dalam modul ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.  Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan  lingkungannya. Bahan ajar ini dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan bahan ajar diarahkan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik sesuai dengan potensi, pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2.  Beragam dan Terpadu
Bahan ajar ini dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat-istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
3.  Tanggap terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni.  
     Bahan ajar ini dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh sebab itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar pada peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
4.  Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Pengembangan bahan ajar dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar yang bisa mendukung peningkatan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik merupakan keniscayaan yang tidak bisa terabaikan.
5.  Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Bahan ajar yang dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh sebab itu yang perlu diperhatikan dalam penggunaan modul ini adalah sebagai berikut :
-    Belajar melalui modul dapat mengukur tingkat penguasaan materi diri sendiri.
-    Belajar melalui modul terdapat umpan balik atas penilaian peserta diklat.
-    Belajar melalui modul materinya uptodate dan kontekstual.
-    Belajar melalui modul materinya dikemas dalam unit-unit kecil dan ada ilustrasi yang jelas.
-    Belajar melalui modul tersedia contoh-contoh.
-    Belajar melalui modul tersedia instrument penilaian yang memungkinkan peserta diklat melakukan self assessment.
-    Belajar melalui modul tersedia soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya.









Buku II
Bab I   Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada jenjang sekolah dasar di Indonesia perlu adanya kerangka berpikir yang digunakan dalam proses Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan dinamika perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditandai oleh semakin terbukanya persaingan antar bangsa yang semakin ketat, maka bangsa Indonesia mulai memasuki era reformasi diberbagai bidang menuju kehidupan masyarakat yang lebih demokratis.
Proses perjalanan bangsa menuju masyarakat madani (civil society), Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran di persekolahan perlu menyesuaikan diri sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang sedang berubah. Proses pembangunan karakter bangsa yang sejak proklamasi kemerdekaan RI telah mendapat prioritas, perlu direvitalisasi agar sesuai dengan arah dan pesan konstitusi negara Republik Indonesia.
Pada hakekatnya proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mengarah pada penciptaan suatu masyarakat Indonesia yang menempatkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai titik sentral. Dalam proses itulah, pembangunan karakter bangsa kembali dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tentunya memerlukan pola pemikiran baru. Tugas PKn dengan pola pemikiran barunya mengembangkan pendidikan mengemban tiga fungsi pokok yaitu mengembangkan kecerdasan warga negara, membina tanggung jawab warga negara, dan mendorong partisipasi warga negara.
Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) dan keterampilan kewarganegaraan (civics skills) akan menjadi seorang warga negara yang berkompetensi. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang memiliki rasa percaya diri, sedangkan warga negara yang telah memahami dan menguasai keterampilan kewarganegaraan (civics skills) serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang memiliki komitmen kuat. Berkenaan dengan aspek  afektif inilah nantinya warga negara memiliki keimanan, dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, memiliki nilai-nilai etika dan estetika serta mampu mengamalkan dan mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari, memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, serta menerapkan norma, kebiasaan, adat-istiadat, dan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Disamping itu diharapkan mampu ikut serta menunjukkan ketaatan terhadap perundangan nasional baik itu perundang-undangan pusat maupun perundang-undangan daerah.
Berkenaan dengan aspek psikomotorik, memiliki keterampilan berkomunikasi, mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam baik lokal, regional, maupun global.

B. Kompetensi
Kompetensi yang dicapai dalam materi pembelajaran ini, adalah :
1.  Peserta diklat mampu mengenal norma, kebiasaan, dan adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
2.  Peserta diklat mampu menunjukkan contoh bentuk kepatuhan terhadap norma, kebiasaan, dan adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
3.  Peserta diklat mampu menunjukkan kepatuhan terhadap norma, kebiasaan, dan adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
4.  Peserta diklat mampu menjelaskan pentingnya peraturan perundangan tingkat pusat dan daerah.
5.  Peserta diklat mampu menjelaskan contoh perundangan pusat dan daerah.
6.  Peserta diklat mampu membedakan fungsi perundang-undangan pusat dan daerah.
C. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai melalui penulisan materi pembelajaran, adalah sebagai berikut :
1.  Peserta diklat dapat menjelaskan pengertian norma, kebiasaan dan adat-istiadat.
2.  Peserta diklat dapat menjelaskan pentingnya norma, kebiasaan dan adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
3.  Peserta diklat dapat menunjukkan contoh bentuk kepatuhan terhadap norma, kebiasaan dan adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
4.  Peserta diklat dapat menjelaskan perlunya kepatuhan terhadap norma, kebiasaan dan adat-istiadat dalam hidup bermasyarakat.
5.  Peserta diklat dapat menjelaskan pentingnya peraturan perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
6.  Peserta diklat dapat menjelaskan macam-macam peraturan perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
7.  Peserta diklat dapat menjelaskan fungsi peraturan perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
8.  Peserta diklat dapat memberikan contoh peraturan perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.

D. Manfaat
Manfaat dari penulisan materi pembelajaran diklat ini adalah agar peserta diklat dapat memiliki pemahaman, ketajaman dalam mempelajari materi, maupun dapat mendeskripsikan materi tentang norma, kebiasaan dan adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu peserta diklat dapat memilki pemahaman dan dapat mendeskripsikan tentang peraturan perundangan di Tingkat Pusat dan Daerah, serta tata urutan peraturan perundangan di Indonesia serta contoh-contoh Peraturan Perundangan Pusat dan Daerah.



E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup materi diklat ini, meliputi :
1.  Pengertian Norma, Kebiasaan dan Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
2.  Macam-macam Norma berdasar kekuatan mengikatnya dan sanksinya.
3.  Menerapkan Norma, Kebiasaan dan Adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
4.  Peraturan Perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
5.  Fungsi Peraturan Perundangan Tingkat Pusat dan Daerah.
6.  Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Nasional.
7.  Proses Penyusunan dan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Nasional.



Bab II   Materi
A. Pengertian Norma, Kebiasaan dan Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Norma, berarti aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai  sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima. Setiap warga masyarakat harus menaati norma yang berlaku. Dengan menaati norma, maka tatanan kehidupan bermasyarakat menjadi tertib, dan damai. Norma juga berarti kaidah atau aturan yang disepakati dan memberi pedoman tingkah laku bagi para anggotanya dalam mewujudkan sesuatu yang dianggap baik, benar, dan diinginkan.
Kebiasaan berarti sesuatu yang biasa dikerjakan. Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena banyak orang menyukai dan menganggapnya penting. Karena disukai dan dianggap penting, sehingga kebiasaan itu terus diperintahkan. Kebiasaan adalah perbuatan manusia secara sadar yang dikerjakan oleh banyak orang dan berulang-ulang.
Adat-istiadat berarti tata kelakuan yang bersifat kekal dan turun temurun. Adat-istiadat diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai warisan oleh sebab itu disebut pola perilaku dalam masyarakat. Tabu merupakan adat-istiadat yang bersifat melarang, karena menjelaskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Contohnya masyarakat menganggap tabu perkawinan antarkerabat, oleh sebab itu bagi yang melanggar dikenakan sanksi yang tegas oleh warga masyarakat itu.
Norma sosial merupakan ketentuan yang berisi perintah dan larangan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama, bertujuan untuk mengatur setiap tindakan warga masyarakat sehingga ketertiban dan keamanan dapat tercapai. Keberadaan norma sangat diperlukan masyarakat untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib.
Norma bersifat nonformal merupakan aturan-aturan tidak tertulis yang diakui keberadaannya oleh masyarakat. Aturan-aturan tersebut dihormati dan dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Adat-istiadat adalah contoh norma yang bersifat nonformal. Contoh lain norma yang bersifat nonformal ialah aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga, seperti kewajiban anak untuk menghormati dan membantu orang tua. Norma sebagai ketentuan menjadi ukuran perilaku dan pedoman yang harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap warga masyarakat. Apabila dalam kehidupan bermasyarakat ada pelanggaran terhadap norma yang berlaku, maka orang yang melakukan pelanggaran terhadap norma itu akan diberi sanksi berupa hukuman.
Masyarakat membuat sanksi dengan maksud untuk mengendalikan perilaku seseorang sehingga perilakunya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada yang ikatannya lemah, ada yang sedang, dan ada yang kuat. Biasanya masyarakat tidak berani melanggar norma yang kuat ikatannya.
Berdasarkan kekuatan mengikatnya, norma dibedakan atas empat, yaitu:
1.  Cara (usage)
2.  Kebiasaan (folkways)
3.  Tata Kelakuan (mores)
4.  Adat-istiadat (custom) (Tim Abdi Guru, 2006: 15).
1.  Cara (usage)
Cara adalah jenis perbuatan yang bersifat perorangan. Daya ikatannya lemah. Penyimpangan terhadap cara hukumannya tidak berat, tetapi hanya berupa celaan. Contoh dari jenis perbuatan yang bersifat perorangan (cara) ialah cara berpakaian, cara berdandan, cara makan dan sebagainya. Tentu saja cara berpakaian, cara berdandan, cara makan, antara orang yang satu dan yang lainnya berbeda.
2.    Kebiasaan (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan pola yang sama dan tetap karena dianggap baik. Daya ikat kebiasaan jauh lebih kuat, contoh mengetuk pintu saat bertamu atau saat memasuki ruangan orang lain dan memberi sesuatu dengan tangan kanan adalah kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sopan. Sanksi yang diberikan jika melanggar kebiasaan umumnya masih tergolong ringan, yaitu berupa sindiran atau ejekan.
3.    Tata Kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah perilaku yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan diterima sebagai norma pengatur.  Tata kelakuan itu berwujud paksaan dan larangan sehingga secara langsung menjadi alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Misalnya, seorang pembantu rumah tangga melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadap majikannya. Oleh karena perbuatan tersebut, mungkin langsung diberhentikan/dipecat oleh majikannya.
4.  Adat-istiadat (custom)
Adat-istiadat adalah pola-pola perilaku yang diakui sebagai hal yang baik dan dijadikan sebagai hukum tidak tertulis dengan sanksi yang berat. Sanksi atau hukuman diberikan oleh orang yang paling mengetahui seluk-beluk adat, seperti pemimpin adat, pemangku adat, atau kepala suku.
Misalnya, dalam masyarakat dikenal istilah “tabu” atau pantangan. Sesuatu yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Seandainya tabu/pantangan itu dilanggar, bencana akan menimpa seluruh warga dan si pelaku akan dikenai sanksi yang berat.
B.   Macam-macam Norma berdasar kekuatan mengikatnya dan sanksinya.
Setiap masyarakat dalam suatu negara diikat oleh norma-norma yang menjamin keamanan dan keberadaannya demi kelangsungan hidupnya. Norma-norma yang ada merupakan pedoman hidup anggota masyarakat (warga negara) yang memberikan keleluasaan sekaligus batasan dalam bertindak (perintah dan larangan)  dan menentukan sesuatu itu baik atau buruk.
Norma-norma itu antara lain adalah:
a.  Norma agama
b.  Norma kesusilaan
c.  Norma kesopanan
d.  Norma hukum
        Masing-masing norma memiliki sifat yang berbeda-beda. Norma agama bersifat abadi dan universal. Dikatakan bersifat abadi karena norma ini berasal dari wahyu Tuhan yang diberlakukan untuk alam semesta. Norma kesopanan dan kesusilaan bersifat lokal. Artinya kedua norma ini tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat tertentu yang mungkin saja pada masyarakat lain berbeda bahkan bertolak belakang. Norma kesopanan itu bersifat relatif. Di barat misalnya, berpakaian minim dianggap sebagai hal biasa. Tetapi di Indonesia hal itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan, dan orang yang melakukannya biasanya dicemooh atau diejek.
Norma agama adalah petunjuk hidup yang berasal dari Tuhan yang berisi perintah, larangan, anjuran-anjuran.
Contoh norma agama ialah:
1)  Beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan.
2)  Beramal saleh dan berbuat kebajikan.
3)  Mencegah, melarang, dan tidak melakukan perbuatan maksiat, keji, dan mungkar. Pelanggar norma agama mendapatkan sanksi secara tidak langsung, artinya pelanggarnya baru akan menerima sanksinya nanti di akhirat berupa siksaan di neraka.
Norma kesusilaan adalah aturan yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik buruknya suatu perbuatan.
Contoh norma kesusilaan ialah:
1)  Berlaku jujur.
2)  Bertindak adil.
3)  Menghargai orang lain.
Sanksi bagi pelanggar norma kesusilaan tidak tegas, karena hanya diri sendiri yang merasakannya, yakni merasa bersalah, menyesal, malu, dan sebagainya.
Norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntunan pergaulan sehari-hari  dalam masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.  
Contoh norma kesopanan ialah:
1)  Menghormati orang yang lebih tua.
2)  Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
3)  Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
4)  Tidak meludah di sembarang tempat.
Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan tidak tegas, tetapi dapat diberikan oleh masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan.
Norma hukum adalah pedoman hidup yang dibuat oleh lembaga negara atau lembaga politik suatu masyarakat/bangsa. Hukum sebagai sistem norma berfungsi untuk menertibkan dan menstabilkan kehidupan sosial. Disebut norma hukum karena keberadaannya diakui oleh masyarakat sebagai ketentuan yang sah dan ada penegak hukum sebagai pihak yang berwenang memberikan sanksi. Tujuan utama norma hukum adalah menciptakan suasana aman dan tenteram dalam masyarakat. Contoh norma hukum ialah: dilarang mencuri, merampok, membunuh, dan lain-lain.
Sanksi bagi pelanggar norma hukum tegas, nyata, mengikat, dan bersifat memaksa. Mereka yang melanggar norma hukum akan ditindak tegas oleh aparat penegak hukum dan diproses melalui persidangan di pengadilan. Siapa pun yang salah akan dikenai sanksi hukuman sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Misalnya, pelanggar norma hukum yang dinyatakan bersalah oleh hakim di pengadilan dapat dikenakan pidana penjara, kurungan, denda, atau bahkan hukuman mati.
Pada hakikatnya, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat adalah semua kaidah atau peraturan yang mengatur pergaulan hidup manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Dengan peraturan itu kehidupan manusia menjadi tertib, teratur, rukun, dan damai serta menghargai hak-hak asasi manusia. Pada prinsipnya, orang yang sudah melaksanakan norma agama berarti pula ia telah melaksanakan norma-norma yang lainnya, yakni melaksanakan norma kesopanan, kesusilaan, dan norma hukum. Hal ini dapat dipahami dan dimengerti lewat sikap, tingkah laku, dan perbuatan anggota masyarakat sehari-hari yang senantiasa berbuat kebajikan, menghargai orang lain, dan menghormati hak-hak orang lain (Tim Abdi Guru, 2006: 17).
Orang yang taat melaksanakan norma agama adalah orang yang melaksanakan perintah-perintah Tuhan, seperti tekun beribadah, beramal saleh, dan berbuat kebajikan terhadap sesama dan lingkungannya. Menghindari dan meninggalkan perbuatan keji dan durhaka adalah contoh lain dari upaya melaksanakan perintah-perintah Tuhan.
Pada dasarnya, orang yang melakukan kebajikan berarti orang yang menjalankan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Demikian sebaliknya, apabila orang itu melakukan kejahatan atau berbuat keji, maka pada hakikatnya ia telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, yakni pelanggaran terhadap norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Contoh, mencuri berarti mengambil barang milik orang lain untuk dijadikan sebagai miliknya. Perbuatan mencuri adalah perbuatan melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Orang yang mencuri adalah orang yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Sanksi norma agama bagi si pencuri adalah siksaan neraka yang diterima di akhirat kelak. Sanksi norma kesusilaan bagi si pencuri adalah perasaan diri yang kurang nyaman karena merasa bersalah, menyesal, malu, dan sebagainya.
Sanksi norma kesopanan bagi si pencuri, antara lain berupa kebencian, cemoohan, celaan, dan hinaan dari warga masyarakat yang ditujukan kepada dirinya. Pada akhirnya, ia dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan.
Sanksi norma hukum bagi si pencuri ialah bahwa ia diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku.
C. Menerapkan Norma Kebiasaan dan Adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat ada berbagai macam ketentuan, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar manusia. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, hubungan antar manusia menjadi tertib, teratur, rukun, aman, dan damai. Warga masyarakat menyebut ketentuan-ketentuan itu sebagai kaidah kehidupan. Sumber kaidah kehidupan bermasyarakat ialah norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Dalam sistem pergaulan hidup, pada prinsipnya manusia itu diciptakan bebas dan sederajat. Meskipun demikian, masing-masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan yang kadang-kadang sama dan seringkali pula berbeda. Perbedaan kepentingan tersebut apabila dibiarkan, lama kelamaan akan berubah menjadi pertentangan.
Kaidah adalah ukuran pedoman berperilaku atau bersikap dalam hidup. Dalam suatu pola hidup tertentu, manusia memiliki pelbagai macam kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan makanan, perlindungan, dan pakaian, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan untuk memiliki sesuatu dan untuk berbuat sesuatu, kebutuhan akan harga diri.
Dalam suatu pola kehidupan tertentu, manusia biasanya mengharapkan kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi. Jika kebutuhan dasar tersebut tidak dapat terpenuhi, manusia akan merasa khawatir. Apabila kekhawatiran itu memuncak, kemungkinan yang terjadi adalah bahwa manusia akan merasa tidak puas dengan pola yang sudah ada karena ternyata pola itu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Karenanya pada akhirnya ia menghendaki suasana dan pola yang baru. Kita sudah mengetahui bahwa kaidah itu merupakan pedoman kehidupan. Dalam kehidupan ada dua aspek, yaitu aspek kehidupan pribadi dan aspek kehidupan antar pribadi. Setiap aspek kehidupan mempunyai kaidah.
Dalam aspek kehidupan pribadi tercakup kaidah-kaidah berikut:  
a.    Kaidah agama/kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman.
b.    Kaidah kesusilaan yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak.
Dikatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut di atas adalah pedoman untuk mengatur kehidupan pribadi yang pada umumnya memberi keteguhan pribadi dan mencegah atau  memperkecil ketidakseimbangan rohani serta perasaan rendah diri.
Sedangkan, kaidah-kaidah yang termasuk dalam aspek kehidupan antar pribadi adalah:
(1)  Kaidah sopan santun untuk keindahan hidup bersama.
(2)  Kaidah hukum yang tertuju pada kerukunan hidup bersama.
Masing-masing aspek kehidupan mempunyai kaidah (norma). Hal ini dapat digambarkan seperti pada  bagan berikut:








 




           



Sumber : Tim Abdiguru, 2006:19

Dalam kehidupan masyarakat terdapat beberapa macam kaidah yang digunakan sebagai pedoman  untuk bertingkah laku. Pada umumnya, kaidah-kaidah atau norma-norma itu adalah sebagai berikut:
a.  kaidah/norma agama
b.  kaidah/norma kesusilaan
c.  kaidah/norma kesopanan
d.  kaidah/norma hukum

v Menerapkan Norma Agama dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Norma agama merupakan tuntunan hidup manusia menuju ke arah yang lebih baik dan benar. Disamping itu, norma agama mengatur kewajiban manusia kepada Tuhan, diri sendiri, dan sesama. Pelanggaran terhadap norma agama akan mendatangkan sanksi dari Tuhan.
Tingkat keimanan seseorang dapat berubah-ubah, kadangkala meningkat, kadangkala menurun. Agar keimanan seseorang lebih mantap, tidak goyah, tidak terombang-ambing bahkan tidak menurun, maka perlu upaya-upaya meningkatkan keimanan melalui berbagai kegiatan peribadatan dan kegiatan lainnya.
Orang yang melaksanakan kegiatan peribadatan dan beramal kebajikan adalah orang yang takwa dan taat kepada Tuhan. Takwa adalah sikap hati dan perilaku yang konsisten melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangannya. Ciri-ciri orang takwa antara lain:
a.  Memiliki kepekaan moral yang lebih baik.
b.  Memiliki mata hati yang lebih tajam untuk melihat kebenaran.
c.  Selalu menghindari hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.
d.  Jika terlanjur melakukan kesalahan, ia segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar.
e.  Mempunyai kekuatan batin (mental) dan mampu menghadapi berbagai persoalan hidup, sanggup menghadapi saat-saat kritis untuk mengatasi dan mencari jalan keluarnya.
Menunaikan ibadah dan sejenisnya lebih umum dinilai sebagai ukuran keimanan dan ketakwaan seseorang. Walaupun pada dasarnya ibadah juga merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan, yang didasari oleh ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bahkan secara luas ibadah juga dapat diartikan sebagai segala usaha lahir batin, sesuai dengan perintah Tuhan.
Iman dan takwa adalah wujud dari pelaksanaan kaidah/norma agama. Cara-cara untuk menerapkan kaidah/norma agama dalam kehidupan bermasyarakat antara lain ialah:
(1)  Rajin beribadah
(2)  Menolong sesama, terutama yang berkekurangan
(3)  Memberikan harta yang kita cintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin
(4)  Bertutur kata yang sopan dan santun
(5)  Menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak berguna
(6)  Memberikan derma/sumbangan

v Melaksanakan Norma Kesusilaan dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Norma adalah aturan hidup yang berasal dari suara hati manusia yang menentukan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, kaidah/norma kesusilaan ini bergantung pada pribadi manusia itu sendiri. Ia dapat berbuat baik atau buruk karena bisikan hati nuraninya. Kaidah/norma kesusilaan mendorong manusia membina kebaikan akhlak pribadinya sehingga ia menjadi pribadi yang baik.
Norma kesusilaan ditujukan kepada sikap batin manusia, asalnya dari manusia itu sendiri, dan ancaman atas pelanggaran kaidah/norma kesusilaan adalah dari batin manusia itu sendiri berupa rasa penyesalan. Oleh sebab itu, norma kesusilaan bersifat pribadi, bukan merupakan paksaan dari luar dirinya.
Untuk menerapkan kaidah/norma kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat cara-caranya antara lain ialah:
(1)  Melaksanakan tugas dan kewajiban dengan jujur
(2)  Menjalani kehidupan secara wajar
(3)  Membiasakan diri menghormati orang lain
(4)  Mengendalikan diri dari ucapan dan perbuatan tercela
(5)  Tidak angkuh
(6)  Setia kawan dan solider atas dasar kebenaran
(7)  Bersikap dan bertindak dengan budi bahasa yang baik
(8)    Menghindari sifat kasar
(9)    Menghindari sifat pendendam

v Menerapkan Norma Kesopanan dalam Kehidupan Bermasyarakat.
        Norma kesopanan adalah aturan hidup yang timbul dari pergaulan hidup masyarakat tertentu. Landasan kaidah/norma kesopanan adalah kepatutan, kepantasan, dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, kaidah kesopanan seringkali disamakan dengan kaidah/norma sopan santun, tata krama, atau adat.
        Norma sopan santun atau kesopanan ditujukan kepada sikap lahir setiap pelakunya demi ketertiban masyarakat dan untuk mencapai suasana keakraban dalam pergaulan. Oleh sebab itu, tujuan dari norma kesopanan atau sopan santun bukan manusia sebagai pribadi, melainkan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama di tengah masyarakat. Sanksi atas setiap pelanggaran terhadap norma kesopanan adalah mendapat celaan dari masyarakat dimana ia berada. Dengan demikian, sanksinya pun datang dari luar manusia itu sendiri, yaitu masyarakat.
        Untuk menerapkan kaidah/norma sopan santun atau kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat, cara-caranya sebagai berikut:
(1)  Menampilkan diri sesuai budaya dan kebiasaan luhur bangsa
(2)  Menghormati hak dan kewajiban diri maupun orang lain
(3)  Berbuat sesuatu dengan wajar dan sepatutnya
(4)  Mematuhi keputusan bersama dan menghargai perjanjian yang telah dibuat
(5)  Bergaul dan memperlakukan orang lain secara baik
(6)  Tidak egois dan tidak munafik dalam kehidupan sosial
(7)  Bertutur kata yang sopan dan jujur dalam kehidupan sehari-hari
(8)  Memperlakukan orang lain sesuai dengan harkat, derajat, dan martabatnya
(9)  Mematuhi aturan yang berlaku di sekolah dan dalam pergaulan dengan teman
(10) Menghindari perilaku yang menyimpang dari norma atau aturan yang berlaku

v Menerapkan Norma Hukum dalam Kehidupan Bermasyarakat.
        Kaidah atau norma hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh lembaga  negara, mengikat setiap orang, dan pemberlakuannya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang, sehingga hukum itu dapat dipertahankan. Sifat yang khas dari peraturan hukum ialah memaksa menghendaki tinjauan yang mendalam. Sebab memaksa bukanlah berarti senantiasa dapat dipaksakan. Contohnya, apabila hukum selalu dapat dipaksakan tidak mungkin ada orang dipenjara karena mencuri, membunuh, dan sebagainya. Hal ini menandakan bahwa sanksi hukum tidak selalu dapat dipaksakan.
        Yang diperhatikan dalam hukum adalah bagaimana perbuatan lahiriah seseorang secara nyata. Namun demikian, norma hukum tidak hanya membebani seseorang dengan kewajiban semata, melainkan memberinya juga hak. Karena sanksi hukum datangnya dari luar, maka hukum bersifat heteronom.  Adapun contoh norma hukum, diantaranya adalah sebagai berikut:
            Contoh dalam ketentuan hukum perdata disebutkan “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain maka mewajibkan orang yang karena salahnya mengakibatkan kerugian, maka mengganti kerugian tersebut”.
Dari contoh norma hukum ini dapat diterapkan dalam suatu proses persidangan, oleh sebab itu setelah diproses di pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku maka dinyatakan bersalah oleh hukum, sehingga orang tersebut berkewajiban untuk mengganti kerugian yang dilakukan.

D. Peraturan Perundangan Tingkat Pusat dan Daerah
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2011 pada pasal 1 ditegaskan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundangan Pusat sering juga disebut segala peraturan pusat yang bersumber UUD 1945. Yang termasuk dalam peraturan perundangan Tingkat Pusat adalah Undang-Undang; Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden.
1.  Berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 pasal 1 , dijelaskan bahwa Undang-Undang adalah peraturan perundangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden. Akan tetapi Rancangan Undang-Undang dapat juga diajukan atas inisiatif DPR atau atas inisiatif Presiden. Ada banyak hal yang perlu dijadikan Undang-Undang oleh DPR, namun tidak semua hal menjadi sama pentingnya. Ada hal-hal yang harus dibuat undang-undangnya dengan segera dan ada juga undang-undang yang masih dapat ditunda pembuatannya. Anggota DPR tentu saja harus lebih  berkonsentrasi pada undang-undang yang harus segera dibahas. Untuk itulah dibuat program legislasi nasional.
Program legislasi nasional memuat program penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas yang ada. Artinya, undang-undang yang dirasa penting dan mendesak dibahas lebih lanjut. Contohnya undang-undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
2.  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, berdasar ketentuan Undang-Undang No.11 tahun 2006 dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa.
     Di dalam UUD 1945 pasal 22 disebutkan bahwa dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). Perpu memiliki kedudukan yang setara dengan UU meskipun dalam pembuatannya Presiden melakukannya sendiri tanpa persetujuan DPR.
Presiden dapat melakukan kewenangan istimewa ini berdasarkan  prinsip “salus populi suprema lex”, yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Sedangkan pertimbangan khusus pemberian kewenangan ini ialah karena hanya Presiden yang dapat mengambil tindakan cepat bila negara sedang berada dalam keadaan darurat.
Contohnya, Peraturan Perundangan Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang disyahkan menjadi Undang-Undang: yaitu UU No.1/PRP/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta UU No.1/PRP/2003 untuk Kasus Bom Bali.
3.  Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (UU No.11 Tahun 2006, pasal 1). Oleh sebab itu Peraturan Pemerintah tidak boleh berlawanan dengan Undang-Undang.
Sebaliknya Peraturan Pemerintah juga dibuat untuk memudahkan pelaksanaan Undang-Undang.
Contoh PP No.25 tahun 2001 tentang Pajak Daerah adalah merupakan pelaksanaan dari UU No.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.  Peraturan Presiden
Berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 dijelaskan Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan Pemerintahan, contoh Peraturan Presiden, antara lain:
-       Peraturan Presiden Republik Indonesia No.9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
-       Peraturan Perundangan Tingkat Daerah, yang disebut Peraturan Perundangan Tingkat Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga berwenang yang ada di daerah. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No, 11 tahun 2012 Peraturan Daerah meliputi Peraturan Daerah Propinsi, yaitu Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dengan  persetujuan bersama Gubernur atau Perda Propinsi.
         Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk  oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Berdasarkan Undang-Undang No.11 tahun 2012 pasal 14 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
            Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 pasal 15, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Perda).  Dengan demikian peraturan selain Undang-Undang dan Perda tidak diijinkan untuk memuat ketentuan pidana. Dalam kehidupan bernegara, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 atau Peraturan Perundang-Undangan di atasnya, misalnya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden.
E. Fungsi Peraturan Perundangan Tingkat Pusat dan Daerah
        Berdasarkan undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa Perda merupakan ketentuan hukum bawahan, maka Peraturan Daerah perlu memperhatikan ketentuan perundangan yang ada di atasnya. Sehubungan dengan hal tersebut Nampak bahwa lembaga pembentuk hukum (Peraturan Daerah) di daerah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Pendapat (Sukowiyono, 2006:80) menyatakan bahwa produk legislasi tidak hanya ada di tingkat Pusat, melainkan juga di tingkat daerah. Apabila diuraikan persamaan dan perbedaan adalah sebagai berikut:
1.  Legislasi Pusat :
a.    Undang-Undang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Pemerintah.
b.    Materi muatan Undang-Undang bersifat umum, abstrak dan/atau umum kongkret untuk melaksanakan UUD.
c.    Undang-Undang dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara lebih leluasa.
d.    Syarat sahnya pemberlakuan Undang-Undang wajib diundangkan dalam Lembaran Negara.
e.    Undang-Undang yang dinilai tidak memenuhi persyaratan hukum yang baik dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.  
2.  Legislasi Daerah :
a.    Peraturan Daerah dibentuk oleh DPR bersama Kepala Daerah.
b.    Materi muatan peraturan Daerah bersifat umum abstrak dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Menteri).
c.    Peraturan Daerah dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara terbatas.
d.    Syarat sahnya pemberlakuan Peraturan Daerah wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah.
e.    Peraturan Daerah sebagai bagian integral dari Peraturan Perundang-Undangan dapat menjadi objek judicial review ke Mahkamah Agung.
f.     Peraturan Daerah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Peraturan daerah lainnya menjadi objek pengawasan preventif dan represif Pemerintah Pusat.
g.    Atas dasar butir (f), putusan Pemerintah Pusat yang membatalkan Peraturan Daerah dapat menjadi pokok pangkal sengketa dalam prosedur keberatan kepada Pemerintah Pusat maupun Mahkamah Agung.
Fungsi Peraturan Perundang-Undangan dibedakan menjadi dua yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal.



Fungsi internal, adalah:
1.    Fungsi penciptaan hukum melalui pembentukan hukum oleh organ legislatif dan eksekutif, keputusan hakim, hukum adat dan konvensi ketatanegaraan.
2.    Fungsi pembaharuan hukum untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan jaman, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini.
3.    Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum, yaitu mengintegrasikan materi-materi hukum sejenis sehingga tersusun dalam satu tatanan kodifikasi dan unifikasi hukum yang harmonis.
4.    Fungsi kepastian hukum untuk menjamin terpeliharanya upaya pengaturan dan penegakan hukum melalui perumusan norma hukum yang memenuhi criteria asas, bentuk, pengertian, penggunaan bahasa maupun keberlakuannya.
Sedangkan fungsi eksternal peraturan perundang-undangan adalah menyangkut fungsi sosial hukum, berkaitan dengan hukum adat, yurisprudensi atau lingkungan tempat berlakunya peraturan perundang-undangan, yaitu:
1.    Fungsi perubahan, berkenaan dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan guna mengubah kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat dan aparatur negara baik mengubah pola pikir maupun perilakunya dari status tradisional ke status modern, atau mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dianggap terbaik bagi kepentingan negara, pemerintah, dan masyarakat luas.
2.    Fungsi stabilisasi, bahwa peranan perundang-undangan mengatur stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
3.    Fungsi kemudahan, untuk memberi kemudahan guna mencapai tujuan tertentu. Misalnya kemudahan mengurus perijinan; toleransi pembayaran pajak dan sebagainya yang diberikan oleh pemerintah dalam dunia usaha.

F.  Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Nasional
        Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan Nasional apabila dibandingkan antara ketentuan Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 dengan ketentuan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 memiliki perbedaan. Yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut ketentuan Undang-Undang No.10 tahun 2004 pasal 7 ayat 1 tata urutan peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3.    Peraturan Pemerintah
4.    Peraturan Presiden
5.    Peraturan Daerah.
Sedangkan Peraturan Daerah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 7 (ayat 1), dijelaskan lebih lanjut pada pasal 7 (ayat 2), adalah:
1.    Peraturan Daerah Propinsi
2.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
3.    Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat yang dibuat oleh badan perwakilan desa bersama Kepala Desa.
Sedangkan menurut ketentuan Undang-Undang No.12 Tahun 2011, tata urutan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4.    Peraturan Pemerintah.
5.    Peraturan Prsiden
6.    Peraturan Daerah Propinsi; dan
7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya dalam pasal 7 (ayat 2) Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada (ayat 1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
Dalam penjelasan pasal 7 (ayat 2) undang-Undang No.12 tahun 2011 dijelaskan, bahwa jenis Pearaturan Perundang-Undangan yang dimaksud antara lain peraturan yang ditetapkan oleh:
1.    Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2.    Dewan Perwakilan Rakyat
3.    Dewan Perwakilan Daerah
4.    Mahkamah Agung
5.    Mahkamah Konstitusi
6.    Badan Pemeriksa Keuangan
7.    Komisi Yudisial
8.    Gubernur Bank Indonesia
9.    Menteri
10. Lembaga/Badan
11. Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang
12. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi
13. Gubernur
14. Dewan Perwakilan Rakyat daerah Kabupaten/Kota
15. Bupati/Walikota
16. Kepala Desa atau yang setingkat
        Bentuk aturan hukum di luar konstitusi tersebut dalam praktek ada juga yang sama dengan yang diatur oleh UUD 1945. Hanya saja terkadang diartikan secara berbeda. Pemaknaan tepat dari hakekat legislasi sebagai wewenang yang timbul dari representasi rakyat (pembagian kekuasaan), menempatkan DPR sebagai otoritas atau lembaga utama pembentukan Undang-Undang pada tingkat Pusat dan DPRD untuk Perda Propinsi, Perda Kota dan Perda Kabupaten pada tingkat daerah.
Dengan demikian fungsi legislasi dan kekuasaan legislatif ada pada bentuk Undang-Undang dan Perda.
Pemerintah sebagai pelaksana dan pengemban amanat pemerintahan menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan wewenang aturan hukum dalam Peraturan Pemerintah dan dalam prakteknya ditemukan penggunaan Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai aturan hukum yang bersifat abstrak dan mengatur umum. Termasuk dalam kelompok ini Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota dan Keputusan Bupati pada tingkat daerah.
        Apabila dicermati ketentuan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) setelah amandemen ditetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Mengenai negara berdasarkan atas hukum, pada hakikatnya memilki 4 (empat) elemen, (Sukowiyono, 2006 : 118), yaitu:
1.    Pemerintah menurut hukum
2.    Jaminan terhadap hak asasi manusia
3.    Pembagian kekuasaan
4.    Pengawasan yustisial terhadap pemerintah.
Keempat elemen tersebut berfungsi sebagai tolak ukur bagi peraturan perundang-undangan yang baik, bahwa secara yuridis:
(a) setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber atribusinya; (b) setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi warga negara dan masyarakat setempat, peraturan perundang-undangan tersebut berlaku mengikat secara umum; (c) setiap peraturan perundang-undangan wajib dibentuk sesuai dasar-dasar hukum positif yang melandasi kewenangan lingkungan jabatan atau badan-badan kenegaraan/pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah; (d) setiap peraturan perundang-undangan di bawah UUD, terbuka untuk dilakukan judicial review oleh lembaga peradilan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) yang berwenang untuk itu.
        Selanjutnya ketentuan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 pada pasal 5 ditegaskan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.  kejelasan tujuan;
b.  kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.  kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan;
d.  dapat dilaksanakan;
e.  kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.   kejelasan rumusan; dan
g.  keterbukaan.
Di dalam penjelasan pasal 5 Undang-Undang No.12 tahun 2011, yang dimaksud dengan:
a.  Asas “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b.  Asas “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan    yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c.  Asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d.  Asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e.  Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
f.   Asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g.  Asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Demikian juga ketentuan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.  pengayoman
b.  kemanusiaan
c.  kebangsaan
d.  kekeluargaan
e.  kenusantaraan
f.   bhinneka tunggal ika
g.  keadilan
h.  kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i.    ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.    keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Dalam penjelasan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan:
a.  Asas “pengayoman” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b.  Asas “kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warganegara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c.  Asas “kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d.  Asas “ kekeluargaan’ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.  Asas “kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.    
f.   Asas “bhineka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masala-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g.  Asas “keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h.  Asas “kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial
i.    Asas “ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j.    Asas “keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.   
G. Proses Penyusunan dan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Nasional

Berikut ini alur pembuatan Undang-Undang yang dimulai dari persiapan rancangan undang-undang
sampai dengan penerapannya.
a.  Proses Persiapan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari Presiden, maka RUU dipersiapkan oleh Presiden dan diproses serta dibahas oleh pembantu-pembantu Presiden dan staf ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing menjadi draf RUU.
Selanjutnya RUU diajukan kepada Presiden.
Apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari DPR, maka RUU diproses oleh panitia Ad Hoc DPR dan dirumuskan menjadi RUU, dan selanjutnya dimasukkan dalam agenda pembahasan rapat DPR.
Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh Presiden kepada DPR atau diajukan oleh DPR. Presiden mengajukan RUU kepada DPR untuk dibahas dalam persidangan pada masa sidang DPR, atau DPR mempunyai hak amandemen terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden, atau hak DPR untuk merubah baik menambah maupun mengurangi RUU tersebut sampai menjadi Undang-Undang. DPR juga mempunyai hak inisiatif, yaitu hak DPR untuk mengajukan RUU untuk diproses dan selanjutnya dibahas pada masa persidangan DPR. Dengan melalui permusyawaratan demokratis, maka RUU dapat ditetapkan menjadi Undang-Undang dan meminta persetujuan kepada DPR untuk disyahkan.
Adapun proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam masa sidang DPR, adalah sebagai berikut:
1.    RUU yang diusulkan atau diajukan diterima oleh DPR
2.    DPR mengagendakan jadwal kapan pelaksanaan rapat pembahasan RUU pada masa persidangan DPR
3.    Apabila telah ditetapkan jadwal persidangannya, ada beberapa tahapan, yaitu:
a.    Tahap pertama, DPR menyelenggarakan sidang pleno membahas RUU.  
b.    Tahap kedua, pembahasan RUU oleh komisi dan fraksi di DPR.
c.    Tahap ketiga, hearing yaitu DPR menerima aspirasi, pendapat, dan saran dari lapisan masyarakat, para pakar dan ahlinya untuk kesempurnaan dan perbaikan.
d.    Tahap keempat, dilakukan sidang pleno pengambilan keputusan dalam rangka menetapkan RUU menjadi Undang-Undang.
Apabila RUU tidak mendapat persetujuan baik dari DPR maupun Presiden, maka RUU tidak dapat disahkan menjadi UU serta tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.  Sebaliknya apabila DPR telah menetapkan RUU menjadi UU sesuai tahap empat (point d), maka UU tersebut disahkan oleh Presiden, yang selanjutnya UU yang telah disahkan tersebut maka oleh Menteri Sekretaris Negara diundangkan dalam Lembaran Negara tentang berlakunya Undang-Undang tersebut, yang selanjutnya berlakulah UU tersebut secara Nasional.
Dasar Hukum proses penyusunan undang-undang adalah UUD 1945 perubahan pasal 5 dinyatakan:
ayat 1, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”.
ayat 2, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimanamestinya”.
Pada pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan dinyatakan: 
ayat 1, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
ayat 2, “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
ayat 3, “Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
ayat 4, “Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang”.
ayat 5, “Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.

Berikut ini bagaimana alur pembentukan Peraturan Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang No.12 tahun 2011 pasal 7, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan tegas Perda diakui sebagai bagian integral dari Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia .Dengan demikian jelas bahwa keberadaan Peraturan Daerah merupakan condition sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut.
Perda harus dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah. Disamping itu Perda juga harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Eksistensi Perda bagi Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi instrumen yuridis operasional untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam konteks otonomi daerah, Perda merupakan instrumen pengendali terhadap pelaksanaan otonomi daerah, hal ini disebabkan karena esensi otonomi daerah itu adalah kemandirian atau keleluasaan, dan bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintah yang merdeka.
Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri.
Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah yang bersangkutan berhak membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang diberi nama Perda. Berdasarkan pasal 18 ayat (6) UUD 1945 perubahan dinyatakan Pemerintahan daerah berhak menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dari isi pasal tersebut nampak bahwa atribusi kewenangan pembentukan Perda diberikan oleh UUD 1945 kepada Pemerintah daerah, yang dalam hal ini menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan; Perda adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan dalam pasal 136 ayat(1) Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah , Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD.
Persetujuan itu sendiri sesungguhnya mengandung kewenangan yang menentukan, artinya tanpa persetujuan DPRD maka tidak akan pernah ada Perda. Ketentuan itu tidak berarti bahwa kewenangan membuat Perda ada pada kepala daerah, dan DPRD hanya bertugas memberikan persetujuan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.32 tahun 2004. Dalam penjelasan pasal 42 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan membentuk dalam ketentuan ini adalah termasuk pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 tahun 2011.
Adapun yang dimaksud dengan Kepala daerah adalah Gubernur, Bupati atau walikota, sedangkan DPRD adalah DPRD Propinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota. Pengertian bersama-sama antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam membuat Perda dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah.
Disamping itu DPRD juga mempunyai hak untuk mengajukan Raperda seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang no.32 tahun 2004. Perda mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Sehubungan dengan hal itu DPRD dengan persetujuan Kepala Daerah sesuai dengan tingkatannya berdasarkan atribusi kewenangan dari UUD 1945 berhak membentuk Perda Propinsi/Kabupaten/Kota.                         Perda tersebut dibentuk untuk melaksanakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan serta untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah kepada daerah.
Sebagaimana Peraturan Perundang-Undangan yang lain, Perda terikat pada norma-norma hukum, baik itu dari sisi substansinya, prosedur pembuatannya, ikatan norma-norma tersebut dapat menentukan karakteristik dan keberlakuan Perda yang bersangkutan. Penyusunan suatu Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Apabila Perda dibuat kurang sempurna maka akan berakibat kurang dapat dimengerti oleh mereka yang menggunakan yang pada gilirannya mereka akan sulit melakukannya atau ada kemungkinan apabila mereka melaksanakan mungkin akan terjadi penyimpangan dari kehendak pembuat Perda tersebut. Hal ini disebabkan sebagai akibat dari munculnya banyak penafsiran dari Perda yang tidak jelas. Oleh sebab itu rumusan suatu Perda harus tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh semua pihak dan rumusan bahasa hukumnya harus baik.
Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dalam masayrakat.
Dengan menggunakan bahasa hukum yang baik, akan dapat dijabarkan dengan jelas siapa (subyek) yang harus berperilaku, serta dapat dijabarkan dengan jelas perilakunya (norma) yang akan diinginkan.
Setiap penyusunan suatu Perda, dari persiapan sampai dengan penyusunan Raperda diperlukan suatu pengetahuan yang mendalam mengenai materi yang akan diatur dan juga harus didukung dengan pengetahuan hukum yang luas serta pengetahuan tentang teknik perundang-undangan. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu diperlukan pula suatu kecakapan untuk mencari dan menemukan pokok persoalan atau fakta yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk dituangkan dalam rumusan Perda yang singkat namun jelas sehingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk Perda itu dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Perda tentunya tidak dibuat untuk keperluan sesaat saja, akan tetapi pada umumnya dimaksudkan untuk dapat berlaku lama, sehingga dapat diperoleh suatu kepastian hukum.
Pembentukan Perda haruslah sesuai atau berdasarkan asas-asas hukum umum dan asas-asas hukum khusus pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik berdasarkan ketentuan pasal 5 Undang-Undang No.12 tahun 2011 juga pasal 137 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 yaitu: (a) kejelasan tujuan, (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, (d) dapat dilaksanakan, (e) kesesuaian antara jenis dan materi mutan, (f) kejelasan rumusan dan (g) keterbukaan. Disamping itu pembentukan Perda juga harus berdasarkan asas yang dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dimuat dalam pasal 6 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Juga pasal 138 Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang meliputi (a) pengayoman, (b) kemanusiaan, (c) kebangsaan, (d) kekeluargaan, (e) kenusantaraan, (f) bhineka tunggal ika, (g) keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (i) ketertiban dan kepastian hukum dan/atau (j) keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangan yang ada di atasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain.
Menurut penjelasan pasal 136 ayat (4) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Dalam proses pembentukan Perda harus dilakukan dengan cermat serta semua asas-asas tersebut di atas layak dipahami dengan seksama oleh para anggota DPRD dan Kepala Daerah. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan Perda benar-benar memenuhi persyaratan hukum yang baik, serta seminimal mungkin terkena tindakan pembatalan oleh pemerintah pusat, ataupun mendapat gugatan/permohonan keberatan dari subyek dan badan hukum yang merasa dirugikan kepentingannya kepada Mahkamah Agung RI, atas diberlakukannya suatu Peraturan Daerah.
Proses pembuatan Perda yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Dalam mempersiapkan pembahasan dan pengesahan Raperda menjadi Perda, harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan. Raperda dapat berasal dari DPRD atau Kepala Daerah (Gubernur ataupun Bupati/Walikota), masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten atau kota. Raperda yang usulannya berasal dari Kepala Daerah disampaikan dengan surat pengantar Kepala Daerah kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang usulannya berasal dari DPRD disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Raperda yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah dibahas oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Raperda yang usulannya berasal dari DPRD kepada seluruh anggota DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Raperda tersebut dibahas dalam rapat paripurna DPRD.
Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD, sedangkan penyebarluasan Raperda yang berasal dari Kepala Daerah dilaksanakan oleh Sekretariat Daerah.
Dengan penyebarluasan Raperda ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui adanya Raperda yang sedang dibahas di DPRD yang bersangkutan.
Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi Raperda yang sedang dibahas. Dalam penyusunan Raperda, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun secara tertulis dalam rangka pembahasan sampai dengan pengesahan Raperda menjadi Perda.
Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Kepala Daerah menyampaikan Raperda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan oleh Kepala Daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Raperda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Khusus Perda tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah dan sekaligus mencakup keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD sebagai produk legislasi daerah, atau produk hukum daerah.
Pembahasan Raperda dilakukan melalui empat tingkatan pembicaraan, yaitu:
1.  Pembahasan Raperda dilakukan oleh DPRD bersama Kepala Daerah.
2.   Pembahasan Raperda yang dilakukan oleh DPRD bersama Kepala Daerah dilaksanakan melalui empat tingkat pembicaraan, yaitu:
a.    Pembicaraan tingkat pertama, meliputi:
1)    Penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal dari usul parakarsa Kepala Daerah.
2)    Penjelasan dalam rapat paripurna oleh pimpinan komisi/gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Raperda dan/atau Perubahan Perda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.
b.    Pembicaraan tingkat kedua, meliputi:
1)    Dalam hal Raperda yang berasal dari usul prakarsa Kepala Daerah.
a.    Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah.
b.    Jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.
2)    Dalam hal Raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.
a.    Pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD.
b.    Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
c.    Pembicaraan tingkat ketiga meliputi pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
d.    Pembicaraan tingkat keempat, meliputi:
1)    Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan:
a.    Laporan hasil pembicaraan tahap tiga
b.    Pendapat akhir fraksi
c.    Pengambilan keputusan
2)    Penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan.
3)    Rapat fraksi diadakan sebelum dilakukan pembicaraan tentang laporan hasil pembicaraan tahap ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan.
4)    Apabila dipandang perlu Panitia Musyawarah dapat menetukan bahwa pembicaraan tahap ketiga dilakukan rapat gabungan atau dalam rapat panitia khusus Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Raperda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah.
Penarikan kembali Raperda oleh DPRD, sebelum dibahas bersama DPRD dan Kepala Daerah, dilakukan dengan Keputusan Pimpinan DPRD dengan disertai alasan-alasan penarikannya.
Sedangkan penarikan kembali Raperda oleh Kepala Daerah sebelum dibahas bersama DPRD dan Kepala Daerah, disampaikan dengan surat Kepala Daerah disertai alasan-alasan penarikannya.
Penarikan kembali Raperda baik yang dilakukan oleh DPRD maupun oleh Kepala Daerah dilakukan dalam rapat pembahasan raperda antara DPRD dan Kepala daerah dengan disertai persetujuan bersama.
Selanjutnya raperda yang ditarik kembali tidak dapat diajukan kembali.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan membutuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Dalam hal Raperda yang disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah, tidak ditandatangani oleh Kepala Daerah dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, maka Perda harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.  
Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Perda yang telah disahkan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Perda tersebut. Perda yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan tata ruang daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah harus dievaluasi oleh Pemerintah. Perda yang bersifat mengatur setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah harus didaftarkan kepada Pemerintah untuk Perda Propinsi dan kepada Gubernur untuk Perda Kabupaten/Kota.
Perda disampaikan kepada Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan, dan apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut oleh Pemerintah Pusat. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan oleh Pemerintah Pusat dikirimkan ke daerah, maka Kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut.
Apabila Propinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda tersebut dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan yang diajukan oleh Kepala Daerah atas pembatalan Perda itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Apabila Pemerintah Pusat tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda itu, maka Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan Kepala Daerah menetapkan Peraturan Kepala daerahdan/atau keputusan Kepala Daerah.


Bab III.  Kesimpulan
Norma berfungsi untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Norma yang bersifat formal mengacu pada norma tertulis yang berasal dari lembaga atau institusi yang berwenang. Adapun norma yang bersifat nonformal menunjuk pada aturan yang tidak tertulis dan diakui keberadaannya di dalam hidup bermasyarakat.
Tidak setiap norma itu berlaku universal atau berlaku untuk semua tempat. Akan tetapi ada norma yang berlaku di suatu tempat, dam tidak berlaku di tempat lain, contohnya kebiasaan.
Pada dasarnya setiap norma dalam masyarakat bertujuan menjaga sikap, perbuatan dan tutur kata agar lebih tertib dan teratur. Oleh karena itulah setiap norma memiliki sanksi tertentu. Perbedaan antara norma hukum dengan norma-norma lainnya adalah norma hukum bersifat memaksa dan mempunyai sanksi yang tegas. Bila dibandingkan dengan sanksi adat istiadat dijatuhkan oleh orang-orang yang mengetahui seluk beluk adat istiadat. Norma agama menuntun manusia ke arah kebenaran dan mengatur kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri dan sesama. Sanksi atas norma agama ini diberikan oleh Tuhan. Norma kesusilaan berasal dari hati nurani manusia untuk menentukan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik.
Norma kesopanan timbul dari hasil pergaulan dengan orang lain dalam suatu masyarakat. Ukuran sopan atau tidak sopan suatu perilaku bisa berbeda-beda antar masyarakat ditentukan oleh kondisi dan lingkungan masyarakat.
Ditinjau dari tingkatannya ada dua tingkat peraturan perundangan, yaitu peraturan perundangan tingkat pusat dan peraturan daerah.
Proses penyusunan perundang-undangan Nasional dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Materi muatan Undang-Undang bersifat umum abstrak dan/atau umum kongkret untuk melaksanakan UUD. Undang-undang dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara lebih leluasa. Syarat sahnya pemberlakuan Undang-Undang wajib diundangkan dalam Lembaran Negara. Undang-Undang yang dinilai tidak memenuhi persyaratan hukum yang baik dapat dilakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. 
Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD bersama Kepala Daerah. Materi muatan Peraturan Daerah bersifat umum abstrak dan/atau umum kongkret adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara terbatas. Syarat sahnya pemberlakuan Peraturan Daerah wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah. Peraturan Daerah sebagai bagian integral dari Peraturan Perundang-Undangan dapat menjadi obyek Judicial Review ke Mahkamah Agung.                
       
    


















Daftar Pustaka

Mahendra Jusril Ihsa, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi actual masalah Konstitusi
Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Geama insane Press, Jakarta
Nasution M. Arif, 2000, Demokrasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung
Soeprapto Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jogyakarta
Tim Abdi guru, 2006, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII, Erlangga, Jakarta
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, diterbitkan Sekretaris Jenderal MPR RI, 2011, Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Wiyono Suko, 2006, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia Pembentukan Peraturan Daerah  Partisipatif, Fasa Media, Jakarta














Buku III

Lembar Kegiatan Peserta Diklat

1.  Petunjuk Belajar
a.    Peserta diklat harus membaca secara cermat lembar kerja ini terutama pada paparan uraian materi yang ada pada Buku II sebelum mengerjakan tugas/latihan
b.    Lakukan kegiatan sesuai dengan prosedur
c.    Apabila peserta diklat ada permasalahan atau kesulitan perlu mendiskusikan dengan sesama teman peserta diklat atau nara sumber
2.  Uraian Materi


 




















 
(b) fungsi stabilisasi, mengandung pengertian peranan peraturan perundang-undangan untuk menstabilkan keadaan tertentu, seperti bagaimana mengatur stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat; (c) fungsi kemudahan, ialah untuk memberikan kemudahan, toleransi dan fasilitas tertentu guna mencapai tujuan tertentu, umpamanya kemudahan mengurus perijinan, toleransi pembayaran pajak, dan fasilitas lain yang diberikan oleh pemerintah dalam dunia usaha. Semua itu perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan.
Tentang materi muatan peraturan perundang-undangan tolok ukurya hanya dapat dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Demikian sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya.
Contohnya: (a) untuk melaksanakan UUD 1945 harus dioperasionalisasikan melalui undang-undang; (b) untuk melaksanakan Undang-undang/Perpu dapat dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah; (c) untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah dapat dilakukan melalui Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah dan seterusnya.
Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan Peraturan Perundang-Undangan, dimana Undang-Undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.
Penetapan Pancasila sebagai Sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak bolah bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian Pancasila adalah landasan filosofis tertinggi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pancasila menjadi cita hukum yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.

 

 
Sebagai cita-cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila, menjadi acuan kostruksi berpikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah, yang mengesahkan atau memandu terbentuknya materi muatan peraturan perundang-undangan yang baik. Konsekuensi logis dari eksistensi Pancasila sebagai cita hukum, berfungsi pula sebagai norma fundamental negara yang menjadi tolok ukur penguji filosofis bagi keabsahan/kelayakan peraturan perundang-undangan yang baik. Dengan kata lain, apabila secara filosofis, peraturan perundang-undangan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, maka peraturan perundang-undangan tersebut “batal demi hukum”.

 
 










3.  Sumber/Alat/Bahan
Sumber bahan
1.    Wiyono, Suko, 2006, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Fasa Media, Jakarta.
2.    Soeprapto Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jogyakarta.
3.    Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
4.  Tugas/latihan
a.    Diskusikanlah dengan teman pesrta diklat untuk menganalisis masalah sebagai berikut:
1.    Agar terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah adalah merupakan bagian dari upaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap kepastian hukum. Mengapa demikian, analisalah?
2.    Materi muatan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah harus berisi kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan/atau negara hukum yang adil, makmur, sejahtera, damai dan beradab. Jelaskan mengapa demikian, analisislah?
3.    Setiap peraturan perundang-undangan di bawah UUD harus terbuka untuk dilakukan Judicial Review oleh lembaga peradilan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Jelaskan mengapa demikian, analisislah?
b.    Buatlah laporan analisis masalah tersebut dalam bentuk tertulis dan siap untuk dipresentasikan.
5.  Penilaian
a.    Jawablah beberapa pertanyaan ini sebagai berikut:
1.    Jelaskan apa perbedaan antara kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores) ?
2.    Bagaimanakah menurut pendapat saudara apabila kita melanggar adat istiadat dalam kehidupan bermasyarakat ?
3.    Berikan contoh norma agama dalam hidup bermasyarakat dan bagaimana bentuk sanksinya ?
4.    Jelaskan apa yang disebut norma hukum, bagaimana bentuk sanksi bagi orang yang melanggar norma hukum ?
5.    Jelaskan apa yang disebut pengertian peraturan perundang-undangan ?
6.    Berikan contoh bentuk peraturan perundangan tingkat pusat ?
7.    Berikan contoh bentuk peraturan perundangan tingkat daerah ?
8.    Jelaskan apakah fungsi peraturan perundang-undangan secara internal ?
9.    Jelaskan apakah fungsi peraturan perundang-undangan secara eksternal ?
10. Jelaskan bahwa setiap peraturan perundang-undangan wajib dibentuk sesuai dasar-dasar hukum positif ?

b.    Rambu-rambu Jawaban
1.    Kebiasaan (folkways) adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan pola yang sama dan tetap dianggap baik, sedang tata kelakuan (mores) adalah perilaku yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan diterima sebagai norma pengatur. Tata kelakuan berwujud paksaan dan larangan sehingga secara langsung menjadi alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
2.    Sesuatu yang ditabukan atau diadatkan berarti berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar, seandainya dilanggar maka si pelaku akan dikenai sanksi sesuai pelanggaran.
3.    Contohnya:
a.    beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan
b.    beramal saleh dan berbuat kebajikan
c.    mencegah, melarang dan tidak melakukan tindakan keji dan maksiat.
Bentuk sanksinya berdosa pada Tuhan, dan menerima sanksinya diakhirat.
4.    Norma hukum adalah pedoman hidup yang dibuat oleh lembaga negara. Hukum sebagai sistem norma untuk mentertibkan kehidupan sosial.
Sanksi pelanggar norma hukum tegas, nyata mengikat dan bersifat memaksa.
Siapapun bersalah dikenai hukuman sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
5.    Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, karena merupakan keputusan tertulis maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis.
6.    Peraturan perundang-undangan tingkat pusat
-             Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
-             Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang
-             Peraturan Pemerintah
-             Peraturan Presiden
7.    Peraturan Perundangan Tingkat Daerah
-             Peraturan Daerah Tingkat Propinsi
-             Peraturan Daerah Tingkat Kabupaten/Kota
-             Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa dan atau
nama lain bersama Kepala Desa.
8.    Fungsi Peraturan Perundang-Undangan secara internal:
a.    Fungsi penciptaan hukum
b.    Fungsi pembaharuan hukum
c.    Fungsi integrasi pluralisme
d.    Fungsi kepastian hukum
9.    Fungsi Peraturan Perundang-Undangan secara eksternal:
a.    Fungsi perubahan
b.    Fungsi stabilisasi
c.    Fungsi kemudahan
10. Karena setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi warga negara dan masyarakat setempat, peraturan perundang-undangan tersebut berlaku mengikat secara umum. Disamping materi muatan perundang-undangan yang baik berisi kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan/atau negara hukum Indonesia yang cerdas, adil, sejahtera dan beradab.

Pedoman penilaian
1.    Apabila jawaban betul sesuai dengan rambu jawaban, skor : 10
2.    Apabila jawaban sebagian besar betul, skor : 8
3.    Apabila  jawaban separuh betul, skor : 6
4.    Apabila jawaban sebagian kecil betul, skor : 4
5.    Apabila jawaban tidak betul, skor : 0          
                 


PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN PUSAT DAN DAERAH












Oleh:
Dra. Arbaiyah Prantiasih, M.Si







KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
 DAN IPS
Malang 2012

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya semata, telah dapat menyelesaikan penulisan modul sebagai bahan ajar pendidikan dan latihan untuk bahan Diklat Guru-Guru Sekolah Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SD.
Proses dan prosedur penyusunan Bahan Ajar Diklat ini didasarkan pada Silabus Kurikulum mata pelajaran PKn SD. Tentunya bahan ajar Diklat ini masih banyak kekurangan- kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak dalam upaya menyempurnakan bahan ajar ini.



Penulis,


Dra. Arbaiyah Prantiasih, M.Si














Tidak ada komentar:

Posting Komentar