Abstrak
Isu HAM semakin terangkat ke
permukaan karena dinilai hak-hak asasi manusia yang telah disepakati tanpa
adanya pembedaan gender ternyata belum dinikmati oleh banyak perempuan dan
dinilai hak-hak asasi perempuan masih belum terlindungi. Adanya berbagai macam
gagasan-gagasan melalui konferensi internasional maupun melalui ratifikasi konvesi
internasional kesetaraan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sudah
kencang disuarakan dan menjadi komitmen bersama untuk melaksanakannya. Akan
tetapi dalam kehidupan sosial pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat
perempuan masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu HAM dan
perempuan belum direspon secara serius oleh negara dan isu kekerasan sistematis
berbasis gender, hak-hak politik dan hak atas pekerjaan kerap dilanggar. Trafficking perempuan dan anak masih
belum menjadi agenda utama negara. Apabila tidak disikapi secara serius,
dikhawatirkan Indonesia terancam sebagai negara tidak berkomitmen terhadap
adanya transaksi manusia dalam pelanggaran HAM perempuan.
Pada tataran lain banyak persoalan
dan hak-hak perempuan atas pekerjaan masih banyak menghadapi berbagai benturan baik
itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsekuen maupun persepsi
yang keliru mengenai peran perempuan di sektor publik, hal ini membawa
implikasi di tingkat implementasi. Perempuan selalu termarginalisasi dan
dihadapkan pada berbagai tindakan diskriminatif, kendatipun secara deyure hak-hak pekerja perempuan telah
dilindungi oleh peraturan maupun undang-undang, tetapi hukum belum mampu
menolong perempuan terbebas dari berbagai tindak pelanggaran.
Kata kunci: pelanggaran
hak;perempuan
Pendahuluan
Dengan
ditetapkannya deklarasi universal mengenai hak asasi manusia (DUHAM) atau universal declaration of human right
pada tahun 1948, didalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, yakni
menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang secara tegas telah
dijelaskan tentunya semua umat bangsa dan negara di muka bumi ini harusnya
berkomitmen untuk mengimplementasikannya. Akan tetapi persoalannya dalam
praktiknya isu ras, kelas, gender dan lain-lain telah memporak-porandakan
hakikat HAM itu sendiri. Dalam deklarasi Hak Asasi Manusia pada pasal 1
dijelaskan:
“semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka
dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
semangat persaudaraan”.
Sedangkan
pada pasal 2, dijelaskan:
“setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan
tidak ada pengecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lainnya.
Ketidakadilan yang dialami kaum perempuan masih
merupakan fenomena yang tidak kelihatan yang pada gilirannya mendorong mereka
untuk memproklamasikan serangkaian hak-hak perempuan sebagai pelindung dari
berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan degradasi yang tidak kelihatan
tersebut. Denganmenyuarakan aspirasi mereka tentang HAM pada dasarnya kaum
perempuan membawa ke garis terdepan nilai-nilai dan tuntutan akan keadilan yang
bukan ekslusif perempuan, tetapi demi kelangsungan hidup manusia keseluruhan. Hak
asasi perempuan sebagai HAM tampaknya masih menjadi pertanyaan dan perdebatan
sampai sekarang. Mengapa perempuan sebagai bagian dari manusia harus membedakan
diri dengan meminta hak-hak khusus? Ada beberapa argumen yang muncul dalam
menjelaskan hal tersebut. Yaitu argumen terpenting adalah karena inherennya
struktur hubungan “gender” yang bersifat asimetris di dalam diri perempuan, sebagai hasil
bekerjanya sistem nilai yang patriarhki, yaitu sistem struktural dari dominasi
laki-laki baik terhadap reproduksi biologis, kontrol terhadap kerja, idiologi
maupun pola hubungan sosial dari gender (Safa’at, 2000: 109).
Pembagian kerja yang
sangat dikotomis: perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik.
Sehingga pada gilirannya menempatkan laki-laki memiliki akses yang lebih besar
kearah ekonomi, politik dan informasi di bidang perempuan. Hubungan asimetris
ini dapat memantul ke segala arah aspek kehidupan perempuan yang dapat
menyebabkan perempuan tersubordinat sekaligus terlemahkan. Apakah pegaruhnya
hal tersebut sampai kepada konsep HAM sendiri. Seagaimana tertulis dalam
Deklarasi HAM yang dikeluarkan PBB, dimana dalam deklarasi itu posisi perempuan
terkonsepsikan dalam dikotomi antara lingkup kehidupan privat, dimana
pelanggaran terhadap HAM hanya diakui dan terjadi yang diakui hanyalah yang
dilakukan negara atas individu saja. Padahal, hak atas kebebasan pribadi adalah
hak dasar untuk semua orang, oleh karena itu, tidak boleh dilanggar oleh
negara, kelompok maupun individu. Akibatnya kekerasan terhadap perempuan
seperti bentuk-bentuk kekerasan seksual, perkosaan, perdagangan perempuan dan
sebagainya tidak diakui sebagai pelanggaran HAM, sebab masih dipersepsikan
sebagai isu domestik dan sebuah masalah pribadi.
Wacana pembagian secara
dikotomis antara ruang publik dan ruang privat (domestik) memberikan sumbangan
besar bagi munculnya sumber kesulitan mendasar mengapa kaum perempuan tidak
terjangkau oleh standar HAM. Selama ini
salah satu asumsi yang mendasari standar HAM adalah bahwa HAM semata urusan
negara atau pemerintah, karenanya perlu dibatasi yuridikasinya hanya pada
domain publik saja (Zuhriah, 2008: 59).
Berdasar asumsi inilah
selama ini menghambat
sehingga tindak kejahatan didalam rumah tangga oleh anggota keluarganya sendiri
dimungkinkan untuk instrumen HAM yang ada. Adanya dikotomi urusan publik dan
privat tanpa disadari turut serta melanggengkan pelanggaran hak asasi
perempuan. Keyakinan masyarakat terhadap peran gender kaum perempuan ternyata
menjadikan penyebab bagi terjadinya diskriminasi dan kekerasan. Kendatipun
tidaklah semua peran gender perempuan selalu berakibat diskriminasi, akan tetapi
banyak peran gender yang secara langsung mengakibatkan subordinasi dan
peminggiran atau marjinalisasi kaum perempuan.
Pembahasan
1.
HAM
didalam Perspektif Perempuan
Pengertian HAM menurut
Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hal yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
harkat dan martabat manusia.
Pada pasal 3
Undang-Undang HAM tersebut secara tegas menyebutkan sebagai berikut:
-
Setiap manusia dilahirkan bebas dengan
harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan
hati nurani untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
-
Setiap orang berhak atas pengakuan dan
jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
-
Setiap orang berhak atas perlindungan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.
Lahirnya berbagai
instrumen nasional maupun internasional mengenai HAM, menunjukkan adanya
kemajuan dan upaya-upaya pencapaian penegakan dan perlindungan HAM, baik di
tingkat dunia, maupun di negeri ini. Undang-undang HAM menganut prinsip-prinsip
DUHAM yang pada dasarnya menjamin kehidupan harkat dan martabat seseorang baik
perempuan maupun laki-laki, hak atas kebebasan pribadi, hak berkeluarga, hak
atas pekerjaan, kesejahteraan, hak-hak politik,mencantumkan hak-hak perempuan
berkenaan dengan hak reproduksi, hak berpartisipasi di bidang eksekutif,
yudikatif dan legislatif, hak-hak atas pendidikan.
Hak asasi manusia
merupakan hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat. Dengan demikian hak asasi manusia bukan berdasarkan hukum positip
yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia
memilikinya karena ia manusia. Dalam paham hak asasi termasuk bahwa hak itu
tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara (Magnis
Suseno, 1998: 121).
Sejak memasuki era
reformasi isu mengenai HAM semakin kencang disuarakan ditandai dengan tuntutan
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lampau dengan
memberi sanksi hukum yang tegas. Untuk memaksimalkan penegakan HAM, langkah
strategis telah diambil dalam upaya penguatan-penguatan dengan dibentuknya
KOMNAS HAM dan KOMNAS HAM Perempuan serta KOMNAS HAM Anak sebagai upaya-upaya penyelidikan dan pencarian
fakta di lapangan, bagi penegakan HAM serta melindungi warga masyarakat dari
kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Adakah hak manusia yang berperspektif gender? Secara ideal hak
asasi manusia tidak memiliki gender, tetapi nyatanya, secara universal, perempuan
tidak menikmati dan mempraktikkan hak asasi kebebasan dasar sepenuhnya atas dasar yang sama seperti
laki-laki.
Bukti keterbatasan hak
asasi perempuan adalah obyektif dan dapat dihitung. Hal ini yang menjadi
stimulus lahirnya Convention on The
Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (konvensi mengenai
eliminasi semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan) yang diangkat oleh
Sidang Umum PBB pada tahun 1970.
Memang ada persepsi
umum bahwa hak asasi terbatas pada penahanan dan atau penyiksaan yang berkaitan
dengan kegiatan politik publik, kebebasan berpendapat atau berasosiasi. Tetapi
penting untuk diingat bahwa Universal
Declaration of Human Rights (1948) jauh lebih luas dan ideal. Penyempitan
interpretasi yang terjadi adalah indikasi adanya suatu “manipulasi”, sengaja
atau tidak (oleh laki-laki) sehingga hak asasi perempuan yang banyak menyangkut
hak ekonomi dan sosial terabaikan. Secara historis ada kecenderungan untuk
memberikan penekanan pada hak-hak civic dan politik daripada hak ekonomi dan
sosial. Hal ini mungkin bias Barat, tapi yang jelas bias laki-laki.
Subordinasi perempuan
dianggap alami memberikan justifikasi untuk memberlakukan subordinasi
ekonomi. Akan tetapi dinamika kultural
yang memungkinkan perempuan diganggu atau dikasari secara fisik, juga
memungkinkan mereka dieksploitasi di pasar kerja. Peran negara dalam hal ini
seringkali dapat memperparah keadaan, secara pasif dengan mengabaikan kenyataan
ini, tetapi seringkali juga secara aktif yang dengan sengaja menjual tenaga kerja
perempuan dengan murah seperti terjadi di Indonesia.
Dalam keluarga dan
kebanyakan masyarakat perempuan tidak mempunyai identitas yang independen
karena dimasukkan dalam identitas yang legal dari suami. Dengan demikian
perkawinan tidak merupakan kemitraan yang sejajar. Penggunaan unit keluarga
oleh ahli politik dan ekonomi serta sosial adalah salah satu sebab dari hambatan implisit bagi perempuan
untuk berparsitisipasi dalam politik. Seringkali keluarga dianggap sebagai
tempat pelembagaan “inferioritas perempuan” serta “superioritas laki-laki”
karena secara tradisional yang dianggap pantas menjadi kepala keluarga adalah
laki-laki. Struktur keluarga yang tradisional menciptakan pembagian hak, kewajiban,
waktu dan nilai yang berbeda kepada setiap anggota keluarga (Ashwonth, 1998:
47) dimana kepala keluarga (laki-laki) menduduki posisi puncak.
Ada ketidakcocokan yang
nyata antara kerangka hukum dan kenyataan sehari-hari yang menjadi kekerasan
terhadap perempuan sering dianggap sebagai suatu masalah domestik, bersifat
pribadi, jadi boleh diabaikan secara hukum. Padahal dari dahulu kala sampai
sekarang deskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan masih mengambil bentuk
yang sama, seperti berbagai bentuk penganiayaan, pelecehan, perkosaan,
pemukulan istri, penjualan perempuan oleh keluarga-keluarga miskin, perlakuan
tidak adil dan sebagainya.
Berbagai model
akumulasi modal, orientasi ekspor dan pertumbuhan terjadi berdasarkan hak-hak
ekonomi perempuan, malalui implementasi yang lemah dari hak-hak civic dan politik
mereka, serta status kultural dan sosial yang rendah. Belum lagi peran ganda
perempuan: tidak perempuan
yang dibayar untuk melakukan pekerjaan domestik, padahal pekerjaan ini esensial
demi keberlangsungan industri dan hidup. Bagi perempuan miskin yang bekerja
untuk upah yang begitu rendah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah pula, hal
ini jelas merupakan beban yang bertumpang tindih. Status kawin juga
problematis, karena sering dipakai dasar untuk diskriminasi. Status kawin
memungkinkan akumulasi tetapi diselubungi kebijakan sosial tanpa harus
mempertahankan hubungan gender yang tidak seimbang.
Dalam sektor ekonomi,
kerentanan perempuan terhadap eksploitasi berlaku universal. Secara individu
maupun secara massa, perempuan dieksploitasi oleh perusahaan, biasanya
ditunjang oleh negara. Lepas landas ekonomi Indonesia yang bergantung pada
industrialisasi tengah berlangsung diatas pundak buruh perempuan yang
hak-haknya paling dasarpun tidak terpenuhi (Syafaat, 2000: 112).
Pemiskinan perempuan
secara besar-besaran jelas mempunyai implikasi sosial-ekonomi yang serius dan
juga terhadap hak-hak asasi lainnya seperti hak pendidikan, hak memiliki
property, kebebasan mengikuti kegiatan politik atau budaya. Hal ini menciptakan
suatu lingkaran setan dimana perempuan tidak mempunyai peluang untuk
memperbaiki nasib sehingga pelembagaan perempuan sebagai koloni terselubung
berlangsung terus.
Eksistensi pelanggaran
hak asasi perempuan tentunya menuntut kita untuk mengkaji dan mengidentifikasi
hukum-hukum kita, hukum mana yang sesuai dengan rasa keadilan dan hak asasi
perempuan dan hukum mana yang tidak sesuai. Hal ini penting sekali dalam rangka
mengetahui sejauh mana kita telah mengantisispasi perkembangan hukum yang
menjamin dan memberikan penghormatan serta penghargaan yang tinggi terhadap
hak-hak asasi perempuan.
2.
Hak-hak
perempuan dan bagaimanakah hubungannya dengan kesepakatan internasional
Isu
HAM semakin terangkat ke permukaan karena dinilai hak-hak asasi mausia yang
telah disepakati tanpa pembedaan gender ternyata belum dinikmati oleh banyak
perempuan dan dinilai hak-hak asasi perempuan masih belum terlindungi.
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime
against humanity) yang berbasis
gender masih merupakan bagian kehidupan sosial. Contoh kasus Bosnia
misalnya belum lenyap dalam ingatan kita dimana telah jadi tindakan dehumanisasi seperti cleansing
ethnic yang korban-korbannya diperlakukan
sangat tidak manusiawi, tanpa pandang bulu. Akan tetapi korban yang paling
teraniaya adalah perempuan karena mereka diperkosa dan mengalami berbagai
bentuk kekerasan seksual.
Sepanjang peradaban manusia perbedaan
gender dan ketimpangan kekuasaan dan budaya patriarchi merupakan salah satu
bentuk deskriminasi dan praktik kekuasaan yang menjadikan hak-hak perempuan
yang paling fondamental sebagai manusia tercerabut dari akarnya (Sihite, 2007:
175).
Isu
hak asasi perempuan semakin menguat dikumandangkan mengingat pelanggaran HAM
terhadap perempuan terjadi diranah publik maupun domestik di berbagai penjuru
dunia. Menyikapi berbagai isu perempuan sebenarnya sudah lama dikedepankan
melalui berbagai konferensi PBB tentang pentingnya kesetaraan dan keadilan
gender. Deklarasi Juli 1975 telah disepakati melalui Konferensi Dunia Tahun
Perempuan Internasional (World Conference
of The International Women’s Year) sebagai pertanda dimulainya babak baru
bagi perempuan.
Selanjutnya Majelis Umum dalam resolusi
3010 tanggal 18 Desember 1972 menetapkan tahun 1975 sebagai tahun perempuan
internasional . Tahun tersebut diperuntukkan bagi peningkatan aksi dengan
tujuan: (1) meningkatkan kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki, (2)
menjamin pengintegrasian total kaum perempuan dalam upaya-upaya pembangunan,
(3) meningkatkan sumbangan kaum perempuan pada penguatan perdamaian dunia.
Dalam semangat mengangkat isu perempuan,
sejatinya konferensi perempuan internasional yang diselenggarakan antara tahun
1975 – 1985 bahwa isu politik seringkali muncul sebagai pusat pembahasan
sementara apa yang disebut sebagai isu perempuan dipinggirkan. Pada konferensi
di Mexico City dinstruksikan oleh pemerintahnya masing-masing negara hanya
terlibat dengan pembahasan politik dan menghindari isu yang berhubungan dengan
hak asasi perempuan (Rosemarie Tong, 1998: 335). Hal ini merupakan suatu bukti
betapa pembahasan isu perempuan masih sulit diterima dan masih mendapat tekanan
dan tarik menarik antara berbagai kepentingan.
Tahun perempuan internasional merupakan
tonggak baru bagi perempuan di dunia, karena pada konferensi tersebut
prinsip-prinsip mendasar dari kehidupan perempuan terakomodasi dan permasalahan
perempuan mulai tertampung. Pencapaian egaliter antara perempuan dan laki-laki
adalah awal dari penegakan HAM ( Sihite, 2007: 177).
Konferensi HAM di Wina (1993) secara
tegas dideklarasikan bahwa hak asasi perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women’s
Right is Human Rights). Konferensi
Beijing (1995) dengan landasan aksi Beijing, bahwa kesehatan reproduksi bagian
dari hak asasi manusia semuanya menuju satu titik pencapaian kesetaraan dan
keadilan gender serta apresiasi terhadap HAM bagi masyarakat secara keseluruhan
tanpa kecuali. Dengan melalui gagasan-gagasan konferensi internasional maupun
melalui ratifikasi konvensi internasional lainnya, kesetaraan dan penghapusan
deskriminasi terhadap perempuan sudah kencang disuarakan dan menjadi komitmen bersama
untuk melaksanakannya.
Akan tetapi di tengah kehidupan sosial
pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat perempuan masih belum
menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu HAM dan perempuan belum direspons
secara serius oleh negara, dan isu kekerasan sistematik berbasis gender,
hak-hak politik dan hak-hak atas pekerjaan kerap dilanggar. Trafficking perempuan dan anak masih
menyisakan banyak persoalan dan wujud pelanggaran HAM masih belum menjadi
agenda utama negara.
Di Indonesia selama berlangsungnya
operasi militer di Aceh berbagai laporan menunjukkan bahawa telah terjadi
perkosaan dan pelecehan secara seksual, teror dan intimidasi demi sebuah
pengakuan, menyerah pada pihak lawan dan demoralisasi yang dilakukan secara
sistematis sebagai bentuk pelanggaran HAM. Terjadi pembiaran oleh negara (by ommision) dan oknum aparat yang
melakukan pelanggaran HAM dan kekerasan berbasis gender seperti terjadi di Aceh
tidak dikenai sanksi hukum yang tegas.
Kasus kekerasan di wilayah konflik masih
menyimpan banyak persoalan menyangkut pelaku-pelakunya yang sering
menjastifiksi tindakan demi keamanan atau perintah atasan. Sementara itu,
bukti-bukti semakin sulit didapat atau tidak cukup bukti karena saksi-saksi
tidak bersedia bersaksi karena alasan intimidasi.
Kasus perdagangan perempuan dan anak
serta pelacuran juga merupakan cerminan pelanggaran HAM. Kondisi ini benar-benar
mengkhawatirkan karena praktik perdagangan perempuan dan anak menjurus pada
eksploitasi seksual terjadi ditingkat lokal, nasional bahkan inetrnasional yang
disinyalir sebagai bentuk kejahatan transnasional tidak mengenal batas-batas wilayah. Untuk memerangi
dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan keamanan bilateral, regional antar negara.
Bila tidak disikapi secara serius dikhawatirkan Indonesia terancam sebagai
negara tidak berkomitmen terhadap transaksi manusia dan pelanggaran HAM.
Persoalan lama yang sampai kini belum
mendapat solusi yang memadai adalah perlakuan terhadap pekerja migran
perempuan. Secara kasat mata, hak asasi mereka diinjak-injak, apalagi melalui
jalur diplomasi pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus buruh migran yang
bermasalah seolah menemui jalan buntu. Berhasil atau tidak melalui jalur
diplomasi sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah Indonesia. Fenomena
buruh migran perempuan tidak sebatas masalah ekonomi, pengangguran atau
ketenagakerjaan, akan tetapi persoalan mendasar yang sering luput dari
perhatian adalah menyangkut persoalan kemanusiaan.
Permasalahan perempuan telah
berpartisipasi di sektor ketenagakerjaan dan ekonomi kontribusi perempuan dalam
upaya menigkatkan pedapatan rumah tangga cukup berarti. Tetapi keterlibatan
perempuan di sektor ketenagakerjaan ternyata belum menunjukkan perubahan yang
signifikan dalam hal perbaikan status, kedudukan dan kesejahteraan sebagai
pekerja. Isu ini perlu menjadi fokus perhatian mengingat CEDAW (Convention Against Women) tahun 1979 dan
Indonesia meratifikasinya melalui UU RI No 7 tahun 1984, pada pasal 11
menyatakan bahwa hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia.
Hak-hak perempuan atas pekerjaan masih
banyak menghadapi berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi
hukum yang tidak konsekuen maupun persepsi yang keliru mengenai peran perempuan
di sektor publik seperti anggapan pekerja perempuan bukan pencari nafkah utama.
Hal ini membawa implikasi di tingkat implementasi, perempuan selalu
termarginalisasi dan dihadapkan pada berbagai tindakan diskriminatif kendatipun secara deyure hak-hak pekerja perempuan sebagian telah terlindungi oleh
peraturan dan Undang-undang. Hukum belum mampu menolong perempuan terbebas dari
berbagai tindak pelanggaran
Demikian juga perlakuan diskriminatif
dalam hal upah masih terjadi meskipun konvensi ILO No. 100 persamaan upah antar
perempuan dan laki-laki telah diratifikasi, mengklaim posisi dan jenis
pekerjaan tertentu hanya pantas untuk laki-laki, di PHK dengan cara semena-mena
dengan alasan-alasan berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan. Banyak
pekerja perempuan dimarginalisasikan dan tersingkir pada feminisasi pekerjaan
yang umumnya berupah rendah tanpa memiliki akses terhadap pengembangan
keterampilan dan peningkatan karir.
Dengan dikeluarkannya berbagai konvensi
atau undang-undang berperspektif gender untuk melindungi perempuan dari
pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan terbebas dari
pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, negara berperan sebagai penjaga HAM bagi
warganya harus menjamin perolehan hak-hak secara dejure tetapi terpenting secara defacto.
Kesimpulan
Beberapa instrumen hukum tentang HAM
dan berbagai perangkat yang telah dibentuk dalam rangka kepentingan
penegakandan perlindungan HAM. Contohnya terbentuknya KOMNAS HAM, KOMNAS HAM
Perempuan, KOMNAS Perlindungan Anak termasuk juga undang-undang peradilan HAM
diharapkan perangkat dan institusi tersebut mampu menjawab berbagai persoalan
berkenaan dengan pelanggaran dan perlindungan HAM di Indonesia.
Melalui
gagasan-gagasan dan komitmen bersama di berbagai konferensi internasional di
Wina, di Beijing maupun konferensi internasional yang telah diratifikasi, serta
berbagai instrumen HAM nasional, kesetaraan dan penghapusan diskriminasi serta
peningkatan harkat dan martabat perempuan secara dejure telah dijamin. Akan tetapi sayang di tataran empiris
pencapaian akan hal tersebut belum
menunjukkan
kemajuan yang signifikan.
Dalam rangka menghapus hambatan kultural
pandangan andosentrisme dan hegomoni
kelompok-kelompok tertentu dalam kehidupan sosial merupakan suatu
tantangan berat yang harus diupayakan. Meniadakan suatu kebijakan dan insrumen hukum yang bias gender baik itu
pada bidang ketenagakerjaan, ekonomi, dalam adat istiadat merupakan salah satu
solusi yang tepat mengangkat dan menghormati harkat dan martabat perempuan.
Daftar
Rujukan
Asworth,
Georgina, 1999, Women and Human Rights,
Brazil: Institut of Cultural Action (IDAC)
Elias,
Robert, 1998, The Politics of
Victimization. New York: Oxford University Press
Sihite,
Romany, 2007, Perempuan, Kesetaraan,
Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Syafaat,
Rahmad, 2000, Buruh Perempuan,
Perlindungan Hukum dan Hak-Hak Azasi Manusia. Penerbit UM,Press Malang
Suseno,
Franz Magnis, 1998, Etika Politik, PT.
Gramedia, Jakarta
Soetrisno,
Loekman, 1997, Kemiskinan, Perempuan dan
Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta
Zuhriah,
Erfaniah, 2008, Gender dalam Perspektif
Hukum dan HAM di Indonesia (Seri Bunga Rampai), Penerbit UIN Mlang Press
Wibawa,
Dhevy Setya, 2005, Dampak Pembakuan Peran
Gender, LBH-APIK, Jakarta
Undang-Undang
No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
PELANGGARAN
HAK TERHADAP PEREMPUAN (SEBUAH URAIAN SINGKAT)
Oleh:
Dra. Arbaiyah Prantiasih, M.Si.
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar