Senin, 14 Maret 2016

Pelanggaran Hak terhadap Perempuan


Abstrak


            Isu HAM semakin terangkat ke permukaan karena dinilai hak-hak asasi manusia yang telah disepakati tanpa adanya pembedaan gender ternyata belum dinikmati oleh banyak perempuan dan dinilai hak-hak asasi perempuan masih belum terlindungi. Adanya berbagai macam gagasan-gagasan melalui konferensi internasional maupun melalui ratifikasi konvesi internasional kesetaraan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sudah kencang disuarakan dan menjadi komitmen bersama untuk melaksanakannya. Akan tetapi dalam kehidupan sosial pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat perempuan masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu HAM dan perempuan belum direspon secara serius oleh negara dan isu kekerasan sistematis berbasis gender, hak-hak politik dan hak atas pekerjaan kerap dilanggar. Trafficking perempuan dan anak masih belum menjadi agenda utama negara. Apabila tidak disikapi secara serius, dikhawatirkan Indonesia terancam sebagai negara tidak berkomitmen terhadap adanya transaksi manusia dalam pelanggaran HAM perempuan.
            Pada tataran lain banyak persoalan dan hak-hak perempuan atas pekerjaan masih banyak menghadapi berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsekuen maupun persepsi yang keliru mengenai peran perempuan di sektor publik, hal ini membawa implikasi di tingkat implementasi. Perempuan selalu termarginalisasi dan dihadapkan pada berbagai tindakan diskriminatif, kendatipun secara deyure hak-hak pekerja perempuan telah dilindungi oleh peraturan maupun undang-undang, tetapi hukum belum mampu menolong perempuan terbebas dari berbagai tindak pelanggaran.

Kata kunci: pelanggaran hak;perempuan

Pendahuluan
            Dengan ditetapkannya deklarasi universal mengenai hak asasi manusia (DUHAM) atau universal declaration of human right pada tahun 1948, didalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang secara tegas telah dijelaskan tentunya semua umat bangsa dan negara di muka bumi ini harusnya berkomitmen untuk mengimplementasikannya. Akan tetapi persoalannya dalam praktiknya isu ras, kelas, gender dan lain-lain telah memporak-porandakan hakikat HAM itu sendiri. Dalam deklarasi Hak Asasi Manusia pada pasal 1 dijelaskan:
“semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”.
Sedangkan pada pasal 2, dijelaskan:
“setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lainnya.
Ketidakadilan yang dialami kaum perempuan masih merupakan fenomena yang tidak kelihatan yang pada gilirannya mendorong mereka untuk memproklamasikan serangkaian hak-hak perempuan sebagai pelindung dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan degradasi yang tidak kelihatan tersebut. Denganmenyuarakan aspirasi mereka tentang HAM pada dasarnya kaum perempuan membawa ke garis terdepan nilai-nilai dan tuntutan akan keadilan yang bukan ekslusif perempuan, tetapi demi kelangsungan hidup manusia keseluruhan. Hak asasi perempuan sebagai HAM tampaknya masih menjadi pertanyaan dan perdebatan sampai sekarang. Mengapa perempuan sebagai bagian dari manusia harus membedakan diri dengan meminta hak-hak khusus? Ada beberapa argumen yang muncul dalam menjelaskan hal tersebut. Yaitu argumen terpenting adalah karena inherennya struktur hubungan “gender” yang bersifat asimetris di dalam diri perempuan, sebagai hasil bekerjanya sistem nilai yang patriarhki, yaitu sistem struktural dari dominasi laki-laki baik terhadap reproduksi biologis, kontrol terhadap kerja, idiologi maupun pola hubungan sosial dari gender (Safa’at, 2000: 109).
Pembagian kerja yang sangat dikotomis: perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik. Sehingga pada gilirannya menempatkan laki-laki memiliki akses yang lebih besar kearah ekonomi, politik dan informasi di bidang perempuan. Hubungan asimetris ini dapat memantul ke segala arah aspek kehidupan perempuan yang dapat menyebabkan perempuan tersubordinat sekaligus terlemahkan. Apakah pegaruhnya hal tersebut sampai kepada konsep HAM sendiri. Seagaimana tertulis dalam Deklarasi HAM yang dikeluarkan PBB, dimana dalam deklarasi itu posisi perempuan terkonsepsikan dalam dikotomi antara lingkup kehidupan privat, dimana pelanggaran terhadap HAM hanya diakui dan terjadi yang diakui hanyalah yang dilakukan negara atas individu saja. Padahal, hak atas kebebasan pribadi adalah hak dasar untuk semua orang, oleh karena itu, tidak boleh dilanggar oleh negara, kelompok maupun individu. Akibatnya kekerasan terhadap perempuan seperti bentuk-bentuk kekerasan seksual, perkosaan, perdagangan perempuan dan sebagainya tidak diakui sebagai pelanggaran HAM, sebab masih dipersepsikan sebagai isu domestik dan sebuah masalah pribadi.
Wacana pembagian secara dikotomis antara ruang publik dan ruang privat (domestik) memberikan sumbangan besar bagi munculnya sumber kesulitan mendasar mengapa kaum perempuan tidak terjangkau oleh standar  HAM. Selama ini salah satu asumsi yang mendasari standar HAM adalah bahwa HAM semata urusan negara atau pemerintah, karenanya perlu dibatasi yuridikasinya hanya pada domain publik saja (Zuhriah, 2008: 59).
Berdasar asumsi inilah selama ini menghambat sehingga tindak kejahatan didalam rumah tangga oleh anggota keluarganya sendiri dimungkinkan untuk instrumen HAM yang ada. Adanya dikotomi urusan publik dan privat tanpa disadari turut serta melanggengkan pelanggaran hak asasi perempuan. Keyakinan masyarakat terhadap peran gender kaum perempuan ternyata menjadikan penyebab bagi terjadinya diskriminasi dan kekerasan. Kendatipun tidaklah semua peran gender perempuan selalu berakibat diskriminasi, akan tetapi banyak peran gender yang secara langsung mengakibatkan subordinasi dan peminggiran atau marjinalisasi kaum perempuan.

Pembahasan
1.    HAM didalam Perspektif Perempuan
Pengertian HAM menurut Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hal yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap  harkat dan martabat manusia.
Pada pasal 3 Undang-Undang HAM tersebut secara tegas menyebutkan  sebagai berikut:
-       Setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
-       Setiap orang berhak atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
-       Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.
Lahirnya berbagai instrumen nasional maupun internasional mengenai HAM, menunjukkan adanya kemajuan dan upaya-upaya pencapaian penegakan dan perlindungan HAM, baik di tingkat dunia, maupun di negeri ini. Undang-undang HAM menganut prinsip-prinsip DUHAM yang pada dasarnya menjamin kehidupan harkat dan martabat seseorang baik perempuan maupun laki-laki, hak atas kebebasan pribadi, hak berkeluarga, hak atas pekerjaan, kesejahteraan, hak-hak politik,mencantumkan hak-hak perempuan berkenaan dengan hak reproduksi, hak berpartisipasi di bidang eksekutif, yudikatif dan legislatif, hak-hak atas pendidikan.
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat. Dengan demikian hak asasi manusia bukan berdasarkan hukum positip yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia. Dalam paham hak asasi termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara (Magnis Suseno, 1998: 121).
Sejak memasuki era reformasi isu mengenai HAM semakin kencang disuarakan ditandai dengan tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lampau dengan memberi sanksi hukum yang tegas. Untuk memaksimalkan penegakan HAM, langkah strategis telah diambil dalam upaya penguatan-penguatan dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan KOMNAS HAM Perempuan serta KOMNAS HAM Anak sebagai upaya-upaya penyelidikan dan pencarian fakta di lapangan, bagi penegakan HAM serta melindungi warga masyarakat dari kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Adakah hak manusia yang berperspektif gender? Secara ideal hak asasi manusia tidak memiliki gender, tetapi nyatanya, secara universal, perempuan tidak menikmati dan mempraktikkan hak asasi kebebasan  dasar sepenuhnya atas dasar yang sama seperti laki-laki.
Bukti keterbatasan hak asasi perempuan adalah obyektif dan dapat dihitung. Hal ini yang menjadi stimulus lahirnya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (konvensi mengenai eliminasi semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan) yang diangkat oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1970.
Memang ada persepsi umum bahwa hak asasi terbatas pada penahanan dan atau penyiksaan yang berkaitan dengan kegiatan politik publik, kebebasan berpendapat atau berasosiasi. Tetapi penting untuk diingat bahwa Universal Declaration of Human Rights (1948) jauh lebih luas dan ideal. Penyempitan interpretasi yang terjadi adalah indikasi adanya suatu “manipulasi”, sengaja atau tidak (oleh laki-laki) sehingga hak asasi perempuan yang banyak menyangkut hak ekonomi dan sosial terabaikan. Secara historis ada kecenderungan untuk memberikan penekanan pada hak-hak civic dan politik daripada hak ekonomi dan sosial. Hal ini mungkin bias Barat, tapi yang jelas bias laki-laki.
Subordinasi perempuan dianggap alami memberikan justifikasi untuk memberlakukan subordinasi ekonomi.  Akan tetapi dinamika kultural yang memungkinkan perempuan diganggu atau dikasari secara fisik, juga memungkinkan mereka dieksploitasi di pasar kerja. Peran negara dalam hal ini seringkali dapat memperparah keadaan, secara pasif dengan mengabaikan kenyataan ini, tetapi seringkali juga secara aktif yang dengan sengaja menjual tenaga kerja perempuan dengan murah seperti terjadi di Indonesia.
Dalam keluarga dan kebanyakan masyarakat perempuan tidak mempunyai identitas yang independen karena dimasukkan dalam identitas yang legal dari suami. Dengan demikian perkawinan tidak merupakan kemitraan yang sejajar. Penggunaan unit keluarga oleh ahli politik dan ekonomi serta sosial adalah salah satu sebab dari hambatan implisit bagi perempuan untuk berparsitisipasi dalam politik. Seringkali keluarga dianggap sebagai tempat pelembagaan “inferioritas perempuan” serta “superioritas laki-laki” karena secara tradisional yang dianggap pantas menjadi kepala keluarga adalah laki-laki. Struktur keluarga yang tradisional menciptakan pembagian hak, kewajiban, waktu dan nilai yang berbeda kepada setiap anggota keluarga (Ashwonth, 1998: 47) dimana kepala keluarga (laki-laki) menduduki posisi puncak.
Ada ketidakcocokan yang nyata antara kerangka hukum dan kenyataan sehari-hari yang menjadi kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai suatu masalah domestik, bersifat pribadi, jadi boleh diabaikan secara hukum. Padahal dari dahulu kala sampai sekarang deskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan masih mengambil bentuk yang sama, seperti berbagai bentuk penganiayaan, pelecehan, perkosaan, pemukulan istri, penjualan perempuan oleh keluarga-keluarga miskin, perlakuan tidak adil dan sebagainya.
Berbagai model akumulasi modal, orientasi ekspor dan pertumbuhan terjadi berdasarkan hak-hak ekonomi perempuan, malalui implementasi yang lemah dari hak-hak civic dan politik mereka, serta status kultural dan sosial yang rendah. Belum lagi peran ganda perempuan: tidak perempuan yang dibayar untuk melakukan pekerjaan domestik, padahal pekerjaan ini esensial demi keberlangsungan industri dan hidup. Bagi perempuan miskin yang bekerja untuk upah yang begitu rendah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah pula, hal ini jelas merupakan beban yang bertumpang tindih. Status kawin juga problematis, karena sering dipakai dasar untuk diskriminasi. Status kawin memungkinkan akumulasi tetapi diselubungi kebijakan sosial tanpa harus mempertahankan hubungan gender yang tidak seimbang.
Dalam sektor ekonomi, kerentanan perempuan terhadap eksploitasi berlaku universal. Secara individu maupun secara massa, perempuan dieksploitasi oleh perusahaan, biasanya ditunjang oleh negara. Lepas landas ekonomi Indonesia yang bergantung pada industrialisasi tengah berlangsung diatas pundak buruh perempuan yang hak-haknya paling dasarpun tidak terpenuhi (Syafaat, 2000: 112).
Pemiskinan perempuan secara besar-besaran jelas mempunyai implikasi sosial-ekonomi yang serius dan juga terhadap hak-hak asasi lainnya seperti hak pendidikan, hak memiliki property, kebebasan mengikuti kegiatan politik atau budaya. Hal ini menciptakan suatu lingkaran setan dimana perempuan tidak mempunyai peluang untuk memperbaiki nasib sehingga pelembagaan perempuan sebagai koloni terselubung berlangsung terus.
Eksistensi pelanggaran hak asasi perempuan tentunya menuntut kita untuk mengkaji dan mengidentifikasi hukum-hukum kita, hukum mana yang sesuai dengan rasa keadilan dan hak asasi perempuan dan hukum mana yang tidak sesuai. Hal ini penting sekali dalam rangka mengetahui sejauh mana kita telah mengantisispasi perkembangan hukum yang menjamin dan memberikan penghormatan serta penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi perempuan.
2.    Hak-hak perempuan dan bagaimanakah hubungannya dengan kesepakatan internasional
Isu HAM semakin terangkat ke permukaan karena dinilai hak-hak asasi mausia yang telah disepakati tanpa pembedaan gender ternyata belum dinikmati oleh banyak perempuan dan dinilai hak-hak asasi perempuan masih belum terlindungi. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang berbasis  gender masih merupakan bagian kehidupan sosial. Contoh kasus Bosnia misalnya belum lenyap dalam ingatan kita dimana telah jadi tindakan dehumanisasi  seperti cleansing ethnic  yang korban-korbannya diperlakukan sangat tidak manusiawi, tanpa pandang bulu. Akan tetapi korban yang paling teraniaya adalah perempuan karena mereka diperkosa dan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.
Sepanjang peradaban manusia perbedaan gender dan ketimpangan kekuasaan dan budaya patriarchi merupakan salah satu bentuk deskriminasi dan praktik kekuasaan yang menjadikan hak-hak perempuan yang paling fondamental sebagai manusia tercerabut dari akarnya (Sihite, 2007: 175).
       Isu hak asasi perempuan semakin menguat dikumandangkan mengingat pelanggaran HAM terhadap perempuan terjadi diranah publik maupun domestik di berbagai penjuru dunia. Menyikapi berbagai isu perempuan sebenarnya sudah lama dikedepankan melalui berbagai konferensi PBB tentang pentingnya kesetaraan dan keadilan gender. Deklarasi Juli 1975 telah disepakati melalui Konferensi Dunia Tahun Perempuan Internasional (World Conference of The International Women’s Year) sebagai pertanda dimulainya babak baru bagi perempuan.
Selanjutnya Majelis Umum dalam resolusi 3010 tanggal 18 Desember 1972 menetapkan tahun 1975 sebagai tahun perempuan internasional . Tahun tersebut diperuntukkan bagi peningkatan aksi dengan tujuan: (1) meningkatkan kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki, (2) menjamin pengintegrasian total kaum perempuan dalam upaya-upaya pembangunan, (3) meningkatkan sumbangan kaum perempuan pada penguatan perdamaian dunia.
Dalam semangat mengangkat isu perempuan, sejatinya konferensi perempuan internasional yang diselenggarakan antara tahun 1975 – 1985 bahwa isu politik seringkali muncul sebagai pusat pembahasan sementara apa yang disebut sebagai isu perempuan dipinggirkan. Pada konferensi di Mexico City dinstruksikan oleh pemerintahnya masing-masing negara hanya terlibat dengan pembahasan politik dan menghindari isu yang berhubungan dengan hak asasi perempuan (Rosemarie Tong, 1998: 335). Hal ini merupakan suatu bukti betapa pembahasan isu perempuan masih sulit diterima dan masih mendapat tekanan dan tarik menarik antara berbagai kepentingan.
Tahun perempuan internasional merupakan tonggak baru bagi perempuan di dunia, karena pada konferensi tersebut prinsip-prinsip mendasar dari kehidupan perempuan terakomodasi dan permasalahan perempuan mulai tertampung. Pencapaian egaliter antara perempuan dan laki-laki adalah awal dari penegakan HAM ( Sihite, 2007: 177).
Konferensi HAM di Wina (1993) secara tegas dideklarasikan bahwa hak asasi perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women’s Right is Human Rights). Konferensi Beijing (1995) dengan landasan aksi Beijing, bahwa kesehatan reproduksi bagian dari hak asasi manusia semuanya menuju satu titik pencapaian kesetaraan dan keadilan gender serta apresiasi terhadap HAM bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa kecuali. Dengan melalui gagasan-gagasan konferensi internasional maupun melalui ratifikasi konvensi internasional lainnya, kesetaraan dan penghapusan deskriminasi terhadap perempuan sudah kencang disuarakan dan menjadi komitmen bersama untuk melaksanakannya.
Akan tetapi di tengah kehidupan sosial pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat perempuan masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu HAM dan perempuan belum direspons secara serius oleh negara, dan isu kekerasan sistematik berbasis gender, hak-hak politik dan hak-hak atas pekerjaan kerap dilanggar. Trafficking perempuan dan anak masih menyisakan banyak persoalan dan wujud pelanggaran HAM masih belum menjadi agenda utama negara.
Di Indonesia selama berlangsungnya operasi militer di Aceh berbagai laporan menunjukkan bahawa telah terjadi perkosaan dan pelecehan secara seksual, teror dan intimidasi demi sebuah pengakuan, menyerah pada pihak lawan dan demoralisasi yang dilakukan secara sistematis sebagai bentuk pelanggaran HAM. Terjadi pembiaran oleh negara (by ommision) dan oknum aparat yang melakukan pelanggaran HAM dan kekerasan berbasis gender seperti terjadi di Aceh tidak dikenai sanksi hukum yang tegas.
Kasus kekerasan di wilayah konflik masih menyimpan banyak persoalan menyangkut pelaku-pelakunya yang sering menjastifiksi tindakan demi keamanan atau perintah atasan. Sementara itu, bukti-bukti semakin sulit didapat atau tidak cukup bukti karena saksi-saksi tidak bersedia bersaksi karena alasan intimidasi.
Kasus perdagangan perempuan dan anak serta pelacuran juga merupakan cerminan pelanggaran HAM. Kondisi ini benar-benar mengkhawatirkan karena praktik perdagangan perempuan dan anak menjurus pada eksploitasi seksual terjadi ditingkat lokal, nasional bahkan inetrnasional yang disinyalir sebagai bentuk kejahatan transnasional tidak  mengenal batas-batas wilayah. Untuk memerangi dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan keamanan bilateral, regional antar negara. Bila tidak disikapi secara serius dikhawatirkan Indonesia terancam sebagai negara tidak berkomitmen terhadap transaksi manusia dan pelanggaran HAM.
Persoalan lama yang sampai kini belum mendapat solusi yang memadai adalah perlakuan terhadap pekerja migran perempuan. Secara kasat mata, hak asasi mereka diinjak-injak, apalagi melalui jalur diplomasi pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus buruh migran yang bermasalah seolah menemui jalan buntu. Berhasil atau tidak melalui jalur diplomasi sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah Indonesia. Fenomena buruh migran perempuan tidak sebatas masalah ekonomi, pengangguran atau ketenagakerjaan, akan tetapi persoalan mendasar yang sering luput dari perhatian adalah menyangkut persoalan kemanusiaan.
Permasalahan perempuan telah berpartisipasi di sektor ketenagakerjaan dan ekonomi kontribusi perempuan dalam upaya menigkatkan pedapatan rumah tangga cukup berarti. Tetapi keterlibatan perempuan di sektor ketenagakerjaan ternyata belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam hal perbaikan status, kedudukan dan kesejahteraan sebagai pekerja. Isu ini perlu menjadi fokus perhatian mengingat CEDAW (Convention Against Women) tahun 1979 dan Indonesia meratifikasinya melalui UU RI No 7 tahun 1984, pada pasal 11 menyatakan bahwa hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia.
Hak-hak perempuan atas pekerjaan masih banyak menghadapi berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsekuen maupun persepsi yang keliru mengenai peran perempuan di sektor publik seperti anggapan pekerja perempuan bukan pencari nafkah utama. Hal ini membawa implikasi di tingkat implementasi, perempuan selalu termarginalisasi dan dihadapkan pada berbagai tindakan diskriminatif  kendatipun secara deyure hak-hak pekerja perempuan sebagian telah terlindungi oleh peraturan dan Undang-undang. Hukum belum mampu menolong perempuan terbebas dari berbagai tindak pelanggaran
Demikian juga perlakuan diskriminatif dalam hal upah masih terjadi meskipun konvensi ILO No. 100 persamaan upah antar perempuan dan laki-laki telah diratifikasi, mengklaim posisi dan jenis pekerjaan tertentu hanya pantas untuk laki-laki, di PHK dengan cara semena-mena dengan alasan-alasan berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan. Banyak pekerja perempuan dimarginalisasikan dan tersingkir pada feminisasi pekerjaan yang umumnya berupah rendah tanpa memiliki akses terhadap pengembangan keterampilan dan peningkatan karir.
Dengan dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berperspektif gender untuk melindungi perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan terbebas dari pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, negara berperan sebagai penjaga HAM bagi warganya harus menjamin perolehan hak-hak secara dejure tetapi terpenting secara defacto.
Kesimpulan
            Beberapa instrumen hukum tentang HAM dan berbagai perangkat yang telah dibentuk dalam rangka kepentingan penegakandan perlindungan HAM. Contohnya terbentuknya KOMNAS HAM, KOMNAS HAM Perempuan, KOMNAS Perlindungan Anak termasuk juga undang-undang peradilan HAM diharapkan perangkat dan institusi tersebut mampu menjawab berbagai persoalan berkenaan dengan pelanggaran dan perlindungan HAM di Indonesia.
Melalui gagasan-gagasan dan komitmen bersama di berbagai konferensi internasional di Wina, di Beijing maupun konferensi internasional yang telah diratifikasi, serta berbagai instrumen HAM nasional, kesetaraan dan penghapusan diskriminasi serta peningkatan harkat dan martabat perempuan secara dejure telah dijamin. Akan tetapi sayang di tataran empiris pencapaian akan hal tersebut belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Dalam rangka menghapus hambatan kultural pandangan andosentrisme dan hegomoni  kelompok-kelompok tertentu dalam kehidupan sosial merupakan suatu tantangan berat yang harus diupayakan. Meniadakan suatu kebijakan  dan insrumen hukum yang bias gender baik itu pada bidang ketenagakerjaan, ekonomi, dalam adat istiadat merupakan salah satu solusi yang tepat mengangkat dan menghormati harkat dan martabat perempuan.


Daftar Rujukan


Asworth, Georgina, 1999, Women and Human Rights, Brazil: Institut of Cultural Action (IDAC)
Elias, Robert, 1998, The Politics of Victimization. New York: Oxford University Press
Sihite, Romany, 2007, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Syafaat, Rahmad, 2000, Buruh Perempuan, Perlindungan Hukum dan Hak-Hak Azasi Manusia. Penerbit UM,Press Malang
Suseno, Franz Magnis, 1998, Etika Politik, PT. Gramedia, Jakarta
Soetrisno, Loekman, 1997, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta
Zuhriah, Erfaniah, 2008, Gender dalam Perspektif Hukum dan HAM di Indonesia (Seri Bunga Rampai), Penerbit UIN Mlang Press
Wibawa, Dhevy Setya, 2005, Dampak Pembakuan Peran Gender, LBH-APIK, Jakarta
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia

PELANGGARAN HAK TERHADAP PEREMPUAN (SEBUAH URAIAN SINGKAT)
 










 







Oleh:
Dra. Arbaiyah Prantiasih, M.Si.















JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar