PERAN
PEREMPUAN DALAM KETAHANAN MORAL KELUARGA
Oleh
: Dra. Arbaiyah Prantiasih, M.Si
Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan
Fakultas
Ilmu Sosial
Universitas
Negeri Malang
2011
Pendahuluan
Berbicara mengenai peran perempuan dalam ketahanan
keluarga, sebenarnya berbicara perempuan adalah merupakan bagian dari keluar
sebab keluarga adalah merupakan unit terkecil yang mempunyai peran strategis dan
penting dalam penanaman nilai-nilai budi pekerti atau nilai-nilai moral dalam
keluarga. Suatu lingkungan sosial betapapun kecilnya tetap memiliki nilai-nilai
luhur untuk dijalankan dalam interaksi sosialnya. Oleh karena itu lingkungan
harus menjadi perhatian setiap warganya.
Keluarga dapat dipandang sebagai
suatu organisasi sosial budaya yang senantiasa mewariskan dan sekaligus
mengembangkan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, sebagai suatu organisasi,
keluarga perlu juga menciptakan suasana yang berbudi luhur untuk membantu
anak-anaknya bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral yang diharapkan
dalam masyarakat.
Apalagi dengan masuknya nilai-nilai
asing di era globalisasi ini, di masyarakat kita dalam etika pergaulan yang
terjadi pada anak-anak semakin menurunnya rasa sosial yang kita kenal sangat
baik selama ini seperti telah berubah menjadi rasa a sosial. Merosotnya tata
nilai moralitas dalam pergaulan dimasyarakat, oleh sebab itulah bagaimana peran
keluarga dalam hal ini peran seorang ibu dapat mengoptimalkan bagaimana
membiasakan untuk hidup bersopan-santun, bertatakrama secara benar, baik dalam
perkataan maupun dalam perbuatan, berdisiplin dan memiliki rasa hormat yang
tinggi terhadap orang tua, terhadap guru, terhadap orang yang lebih tua,
dsbnya. Peran-peran inilah yang harus dibina dan dikembangkan oleh perempuan
sebagai seorang ibu dalam keluarga.
Pembahasan
Sebelum dijelaskan bagaimana peran
perempuan dalam ketahanan keluarga dalam hal ini upaya perempuan sebagai ibu
rumah tangga dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anak dalam keluarga,
untuk itu perlu digambarkan terlebih dahulu bagaimana kaitan nilai dengan
fakta, kaitan nilai dengan tindakan, nilai dan norma serta nilai dan moral,
nilai dan keyakinan dan kebutuhan.
- Nilai dan Fakta
Nilai sebagai hal yang abstrak, yang harganya
mensifati dan disifatkan pada sesuatu hal dan cirri-cirinya dapat dilihat dari
tingkah laku, memiliki kaitan dengan istilah fakta, tindakan, norma, moral,
moral dan istilah-istilah itu lebih mencerminkan sebagai proses yang menyatu
yang tak terpisahkan.
Nilai itu ada, tapi tidak mudah dipahami. Sifatnya
abstrak dan tersembunyi dibelakang fakta menjadi salah satu sebab sulitnya
nilai dipahami. Sebagai tema terkait dengan fakta, nilai lahir dari sebuah
konsekuensi penyikapan atau penilaian atas sesuatu yang aktual. Dengan kata
lain, ketika seseorang melihat suatu kejadian, merasakan suasana,
mempersepsikan suatu benda, atau merenungkan suatu peristiwa, maka disanalah
kira-kira nilai itu ada jarak antara nilai dan fakta sifatnya relatif
bergantung pada pengalaman dan pengetahuan seseorang atas sesuatu fakta yang
tengah dihadapi.
Salah satu cara yang digunakan untuk menjelaskan
nilai adalah dengan cara membandingkannya dengan fakta. Fakta adalah sesuatu
yang ada atau tengah berlangsung begitu saja. Fakta dapat ditemui dalam konteks
peristiwa yang unsur-unsurnya dapat diuraikan satu persatu secara rinci dan
keadaan fakta pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang.
Sementara itu, nilai menunjukkan pada suatu tema
yang memikat atau menghimbau kita, ketika kita berada pada posisi sedang
memaknai fakta itu. Nilai lahir dalam suasana apresiasi ) ketika setiap orang, dengan beragam pengalaman dan
pemahamannya, merujuk pada kadar nilai yang berbeda. Disini dapat dijelaskan
bawah nilai memiliki relativitas, sedang fakta memiliki obyektivitas.
Sebagai ilustrasi, perlakuan kekerasan terhadap anak
yang dilakukan oleh orang tua. Peristiwa kekerasan yang dialami anak secara
fisik terlihat bekas pukulan orang tua, yang terlihat dari memar-memar di tubuh
anak, peristiwa ini merupakan fakta dari bukti yang ada pada tubuh yang memar
ditangan dan dikaki anak. Sedangkan peristiwa perlakuan orang tua terhadap anak
adalah merupakan cara mendidik anak dengan hukuman adalah untuk mengubah
perilaku anak, dan ini bukan merupakan nilai yang baik menurut pendidikan.
Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut
ciri-ciri obyektifitasnya.
- Nilai dan Tindakan
Tidak jauh beda dengan perbedaan antara nilai dengan
fakta, posisi nilai dari tindakan tidak berdiri sendiri. Nilai merupakan
sesuatu yang diinginkan sehingga melahirkan tindakan pada diri seseorang.
Ketika seorang petani mencangkul lahan sawahnya, seorang guru merancang rencana
pengajarannya, seorang pedagang menata tempat dagangannya, seorang ibu rumah
tangga tengah menyiapkan makan untuk keluarganya, dsbnya. Semua itu merupakan
perwujudan dari tindakan yang dialasi oleh nilai-nilai yang berbeda. Dengan
kata lain, nilai yang sesungguhnya hanya dapat lahir kalau diwujudkan dalam
tindakan.
Berten, (1999) berpendapat “ a value can be, if it
is held to be more than a mere verbal formulation”, sebuah nilai dapat terwujud
andaikata nilai itu dilakukan daripada hanya sebagai bentuk ucapan saja.
Seseorang yang berkata bahwa segala perikehidupan
harus dilandasi oleh rasa keikhlasan, padahal dalam tindakannya justru banyak
menampilkan kaidah untung rugi secara material, hal itu berarti tengah terjadi
disorientasi nilai pada dirinya, apa yang ia katakan tidak sesuai dengan
tindakannya. Keadaan demikian sebenarnya akan semakin mengukuhkan dugaan orang
banyak bahwa nilai keikhlasan bukan miliknya. Dengan demikian nilai yang dianut
oleh adanya konsistensi tindakan.
Sifat nilai yang tersembunyi, sementara tindakan
yang dapat ditunjukkan oleh bukti faktual dapat melahirkan “pengumpatan” nilai
pada diri seseorang yang tidak konsisten. Nilai yang ia ucapkan sesungguhnya bukan
nilai miliknya, sedangkan nilai yang benar-benar miliknya adalah nilai yang
tercermin dalam intensitas dan frekuensi tindakannya.
- Nilai dan Norma
Pada penjelasan terdahulu, nilai lebih ditafsirkan
dalam posisinya sebagai nilai subyektif, artinya setiap orang sesuai dengan
kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan
tindakan yang berbeda. Namun dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk
pada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan tersebut menjadi aturan atau
menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai sesuatu, maka
itulah yang disebut norma. Nilai dan norma hanya memiliki harga jika diwujudkan
dalam perilaku atau tindakan. Untuk memperjelas perbedaan antara nilai dengan
norma setidaknya dapat diperjelas melalui ilustrasi sebagai berikut:
Dalam etiket sopan santun dimasyarakat malang ketika
anak muda melewati orang tua yang tengah duduk, maka ia harus berjalan setengah
membungkuk sambil memiringkan badan kekanan (meski yang duduk ada di sebelah
kiri), seraya berkata permisi, maaf numpang lewat. Jika dalam kejadian itu ia
melakukan hal demikian, maka ia dianggap sebagai orang yang tahu sopan-santun,
namun sebaliknya pengabaian terhadap etiket tersebut dapat mengakibatkan
dirinya dianggap aneh sombong, tidak tahu diri.
Anggapan orang tentang perilaku itu menandakan bahwa
di dalam tata cara orang lewat itu terdapat norma, yang disebut norma
kesopanan. Norma itu salah satunya diwujudkan dalam tatacara lewat yang
disepakati bersama sebagai aturan atau kaidah yang harus ditaati bersama. Tolak
ukurnya adalah perilaku sopan dalam melewati orang lain. Jadi dapat dikatakan
bahwa norma adalah standar-standar nilai kebajikan yang dibahukan, sedangkan
nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku sopan sesuai dengan aturan
yang disepakati.
Nilai kesopanan berlaku lebih universal daripada
norma kesopanan artinya, istilah kesopanan dapat muncul sejumlah aturan,
kaidah, atau standar perilaku yang ditetapkan dalam beragam jenis norma
kesopanan. Dari perbedaan itu dapat disimpulkan bahwa nilai pada tatanan norma
memiliki cakupan yang lebih universal dibanding dengan norma itu sendiri. Nilai
melukiskan sesuatu harga yang diyakini seseorang (termasuk di dalamnya
keyakinan normatif), sedangkan norma lebih merupakan suatu keharusan yang
datang dari konsekuensi sosial sebagai hasil kesepakatan bersama.
- Nilai dalam Etika
Etika sebagai suatu hal yang menjelaskan arti
baik-buruk, tindakan yang harus dilakukan manusia terhadap yang lain dan tujuan
yang harus dicapai. Ada 2 sumber nilai baik-buruk yang terdapat dalam etika
yaitu nilai normatif yang bersumber dari buah pikiran manusia dalam menata
kehidupan sosial dan nilai preskriptif yang bersumber dari wahyu. Pada nilai
pertama kualitas baik-buruk merupakan tema abstrak yang disifatkan pada
perintah dan larangan yang terdapat dalam wahyu serta pada perwujudan akhlak
seseorang.
Apabila kita urut lebih jauh, posisi nilai dalam
etika berlangsung sejak munculnya kehendak sampai pada lahirnya perbuatan yang
bernilai baik-buruk. Kehendak seseorang untuk melakukan perbuatan secara
terus-menerus sudah tentu didasarkan pada keyakinan dalam menentukan pilihan.
Demikian pula, wujud perbuatan sebagai buah dari kehendak dapat diberi kadar
nilai baik-buruk. Hal ini menegaskan bahwa nilai dalam etika dilibatkan saat
seseorang mulai berkehendak melakukan sesuatu sampai ia memiliki adat kebiasaan
yang dapat diamati. Kualitas kehendak dan adat kebiasaan yang diberi hukum
baik-buruk oleh etika ini menandakan bahwa nilai dilibatkan dalam proses
penilaian (valuing) yang berlangsung secara psikologis pada diri seseorang.
- Pendidikan Nilai dalam Keluarga
Dari gambaran yang teruraikan pada penjelasan
tersebut diatas bagaimana upaya perempuan sebagai ibu rumah tangga (keluarga)
dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anaknya akan sangat membantu. Perempuan
sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga, mengapa banyak perempuan untuk memilih
bentuk kerja apabila sebagai ibu rumah tangga banyak memilih bentuk kerja
apabila sebagai ibu rumah tangga. Banyak memilih bentuk bentuk kerja
putting-out system (bentuk pekerja borongan) yang dilakukan dirumah ? hal ini
dilakukan karena pembagian kerja secara gender yang masih melekat kuat di masyarakat
yakni peran domestic tetap harus dikelola perempuan seperti mengasuh anak,
memasak, dan lain-lain. Sehingga, peran-peran perempuan dalam keluarga adalah
berperan ganda.
Mengingat keluarga memegang peran penting dalam
penanaman nilai-nilai moral pada anak-anak hal itu juga tidak terlepas dari
peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga. Dalam masyarakat yang
multicultural seperti Indonesia, masing-masing kelompok atau lapisan perempuan
menyimpan persoalannya sendiri yang tidak hanya dipandang dari aspek kelas
sosial atau ekonomi dan pendidikan,
tetapi juga dari segi nilai-nilai budaya, adat istiadat dari berbagai etnis.
Demikian juga disektor kerja rumahan, khususnya bidang industry konveksi/garmen
telah terjadi feminisasi karena identik dengan kerja tradisional perempuan dan
juga tidak memisahkan perempuan dari peran domestic : ideolohi patriarki yang
terus dikembangkan dalam system produksi adalah perempuan hanyalah tenaga kerja
cadangan, diupah rendah karena perempuan bahkan pencari nafkah utama. Kerja
produktif bagi perempuan yang sudah menikah merupakan pekerjaan kedua karena
pekerjaan utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu rumah tangga. Peran ibu
dalam rumah tangga (keluarga) sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan
anak-anaknya termasuk didalamnya menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anak.
Sebagai ilustrasi baik anak kecil maupun anak yang
dibesarkan mengenal nilai-nilai setelah anak-anak didik oleh orang tuanya atau
orang lingkungan dekatnya. System nilai pada anak-anak dalam keluarga
seolah-olah ditanamkan oleh orang tua. Mungkin orang tua tidak dapat menerima
kesimpulan ini, karena sering terlihat nilai-nilai yang ada pada anak tidak
sesuai dengan nilai-nilai orang tua. Misalnya anak berperilaku nyentrik, apakah
orang tuanya juga menyenangi yang nyentrik. Anak yang suka berbohong, apakah
orang tuanya tidak menilai tinggi suatu kejujuran atau kebajikan lain ?
lebih-lebih anak yang sudah terlibat pelanggaran hukum dan pelaku kenakalan
criminal, system penilaiannya pasti tidak mencerminkan system nilai orang
tuanya.
Orang tua tidak bias menerima bila dikatakan bahwa
“crossboy”, adalah hasil daripada “crosspapa” atau “crossmama”. Bahkan sering
terdengar bahwa orang tua tidak mengenal anaknya sendiri, bahkan tidak mengerti
pandangan dan nilai anaknya yang sangat bertentangan. Kesemuanya ini tidak akan
terjadi apabila kita ikuti dengan seksama perkembangan anak yang memperoleh
pendidikan dari orang tuanya sendiri. Anak akan mengalami berbagai perubahan
juga perubahan nilai, akan tetapi orang tuanya tetap mengenal anaknya dengan
nilai-nilai sebagai hasil didikannya. Sejak masa dininya, anak mewarisi
beberapa sifat dan meniru cara-cara dan sikap orang tua. Cara pemberian nilai
dan prasangka, juga diperolehnya dari orang tuanya. Bila ibu menilai tangan
kanan sebagai tangan bagus. Makanan yang yang dinilai enak dan bergizi
diberikan pada anaknya, lama kelamaan anak akan menyenangi makanan tersebut,
dengan penilaian yang sama seperti orang tuanya.
Dengan meniru sikap orang tuanya dalam cara
penilaian terhadap beraneka makanan, keadaan, bahkan terhadap orang-orang yang
berbed, maka anak akan memiliki sikap dan penelitian yang sama seperti orang tuanya. Anka kecil
tidak hanya memperoleh penilaian dan system nilai orang tua melalui peniruan,
melainkan cara-cara beraksi, cara memperlihatkan emosi dan banyak hal
diperolehnya melalui peniruan.
- Pengalaman dalam Keluarga
Dengan bertambahnya umur terlihat bahwa anak tidak
hanya memperoleh sifat dan sikap yang mudah ditiru, akan tetapi juga belajar
secara tidak sengaja, secara tidak langsung dari peristiwa-peristiwa yang
dialami setiap hari. Seseorang anak melakukan suatu perbuatan yang dapat
dinilai tidak baik, ditegur oleh orang tuanya agar perbuatannya tersebut tidak
diperbuatnya lagi, lain kali anak tersebut melakukan perbuatan yang sama,
tetapi tidak ditegur.
Perbuatan yang sama tidak baiknya dengan pengaman
yang berbeda, kadang-kadang ditegur, tetapi seringkali tidak, menyebabkan anak
tidak mengetahui mana perbuatannya yang tidak baik dan tidak boleh dilakukan.
Bila anak sudah lebih besar, ia belajar dari pengalaman, permintaan dan
perbuatannya yang biasanya tidak dikabulkan orang tua, mungkin dikabulkan dan
dibiarkan saja ketika orang tuanya sedang sibuk. Bahkan seringkali sesuatu yang
mutlak tidak diperbolehkan dalam keadaan biasa, mungkin diperbolehkan bila orang
tuanya sedang menerima tamu.
Gangguan ini
merupakan hasil belajar anak dari pengalaman, bahkan anak akan ditegur bila ada
tamu. Seorang anak kecil minta uang jajan kepada ibunya, ibunya tidak
memberikan uang tersebut dengan alasan yang cukup kuat, tetapi tidak
dikemukakan kepada anaknya. Ibu tersebut hanya mengatakan bahwa tidak ada uang.
Tidak lama kemudian ibu berbelanja dan mengeluarkan untuk membayar sayuran.
Anak akan mengambil kesimpulan bahwa ucapan ibunya tidak selalu sesuai dengan
kenyataan.
Dengan kata lain perkataan, ibu kadang-kadang
berbohong. Sebaliknya bisa dikatakan bahwa orang tua yang ingin mendidik
anaknya supaya menjadi anak yang jujur dan tidak berbohong. Tentunya tidak ada
orang tua yang ingin mendidik anaknya
agar bersifat tidak jujur. Akan tetapi, dari pengalaman-pengalaman dengan
kejadian-kejadian yang tidak sengaja dipersiapkan orang tua, bahkan diluar
persangkaan orang tua, telah diamati dan “dipelajari” oleh anak sampai anak
memperoleh sifat-sifat yang tidak dikehendaki orang tua. Mungkin suatu nilai
tertentu sangat ditekankan dalam pendidikan, sehingga nilai lain agak terdesak
dan tidak mendapat perhatian orang tua.
Penutup
Keluarga merupakan unit terkecil mempunyai peran
yang strategis dan penting dalam penanaman nilai-nilai moral kepada anak.
Keluarga terdiri dari individu-individu yang dapat berfungsi sebagai barometer
kehidupan yang berbudi luhur, terutama peran ibu dalam keluarga tersebut sangat
besar terhadap perkembangan moral anak dalam keluarga, disamping peran bapak.
Apabila sikap dan perilaku anak dalam keluarga dapat
diwujudkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Maka anak akan
menjadi pribadi yang patut dibanggakan oleh keluarga, untuk itulah peran ibu
dalam keluarga sebagai pendidik, sebagai guru yang baik bagi anak-anaknya.
Daftar Pustaka
Berten.
K. 1999. Etika Seri Filafat Atma Jaya 15. PT. Gramedia
Djahini,
A.K. 1995. Menelusuri Dunia Afektif- Nilai Moral dan Pendidikan Nilai
Moral. Bandung. Alumni IKIP Bandung.
Mulyana,
R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung. Alfabeta.
Sihite,
R. 2007. Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender.
Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Wilujeng,
H.dkk. 2005. Dampak Pembakuan Peran Gender Terhadap Perempuan Kelas Bawah.
Jakarta. LBH.APIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar