Minggu, 14 Februari 2016

Berkata Baik atau Diam



Berkata Baik atau Diam
Puji dan syukur hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Menatap, memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadi insan-insan yang terpelihara dalam setiap ucapan kita. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah Saw. Sang penutup para nabi yang tiada lagi nabi setelahnya.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab [33] : 70-71).
Tidak ada satu katapun yang terlontar dari lisan kita kecuali Allah Swt. mendengarnya. Dan, tidak ada satu kata pun yang kita ucapkan kecuali pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Oleh karena itu, beruntunglah orang yang senantiasa memelihara lisannya untuk tidak berkata kecuali yang benar dan baik saja. Sungguh beruntunglah orang yang memelihara lisannya untuk jauh dari perkataan yang sia-sia dan tiada berguna. Karena, menghindari ucapan yang sia-sia dan tiada berguna adalah ciri dari keimanan kepada Allah Swt.
Saudaraku, sesungguhnya ucapan kita bisa menunjukkan bagaimana kualitas diri kita. Ucapan kita menunjukkan bagaimana isi kita. Seperti moncong teko, ia hanya mengeluarkan apa yang ada di dalam teko. Maka, ketika kita banyak berkata kotor, kasar, tidak berguna, maka kita sebenarnya sedang menjatuhkan kehormatan diri kita sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap ucapan bani Adam itu membahayakan dirinya sendiri, kecuali kata-kata berupa amar ma’ruf dan nahyi munkar serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Tirmidzi).
Kata-kata itu jika sudah terlontar dari lisan kita, maka ia bagaikan anak panah yang sudah melesat dari busurnya. Ia tak bisa ditarik lagi. Apalagi jika sudah tertancap, maka jika dicabut pun ia akan meninggalkan bekas. Kata-kata yang tidak terjaga, bisa melukai perasaan orang. Dan, jika itu sudah terjadi, meminta maaf pun tidak bisa menghilangkan bekas lukanya. Bagaikan paku yang tertancap di tembok, ketika paku itu dicabut maka bekasnya tetap akan tertinggal di sana.
Oleh sebab itu, hati-hatilah dengan ucapan kita. Hindari celetak-celetuk tak karuan. Kurangi berbicara yang tidak perlu. Karena terlalu banyak berbicara yang tidak perlu akan membuat kita melantur, melebih-lebihkan cerita hingga akhirnya terjebak dalam kubangan dusta.
Lebih mengerikan lagi jika kita terseret pada ghibah. Obrolan-obrolan yang tak terjaga, dibumbui kebohongan yang didramatisir, membicarakan keburukan orang, sungguh bukan semakin kotorlah hati kita dengan noda-noda dosa.
Lisan kita sangat ringan. Tidak perlu tenaga yang besar untuk menggerakkannya. Juga tidak perlu biaya mahal untuk menggunakannya. Namun, dari lisan ini bisa timbul perkara yang luar biasa. Bisa ada orang yang sakit hati karenanya. Permusuhan bisa terpicu disebabkannya.
Bicaralah hanya yang benar dan baik saja. Jika tidak bisa, maka lebih baik diam. Ada sebuah ungkapan,“Diam itu emas”. Benar, ketika dibandingkan dengan berbicara yang berisi keburukan atau kesia-siaan. Sehingga yang terbaik adalah berbicara yang mengandung kebaikan dan kebenaran. Perkataan yang seperti ini menjadi bagian dari kerangka dzikir kepada Allah Swt.
Untuk bisa berkata baik dan benar, kita perlu juga memperhatikan situasi dan tempat. Karena, “Likulli maqaam maqaal, wa likulli maqaal maqaam”, setiap perkataan itu ada tempatnya yang terbaik, dan setiap tempat ada perkataannya yang terbaik.
Artinya, setiap kata yang kita ucapkan perlulah disesuaikan dengan tempat, situasi dan siapa yang kita hadapi. Karena cara berbicara dengan anak-anak tentu berbeda dengan cara berbicara dengan orang dewasa. Berbicara dengan teman kita tentu berbeda dengan berbicara dengan orang tua kita. Jika kita tidak terampil dalam hal ini, maka niat yang benar bisa-bisa memberikan hasil yang tidak efektif.
Subhannallah. Sedemikian agungnya agama kita. Bahkan kepada orang kafir sekalipun, Rasulullah Saw. melarang kita berkata-kata buruk kepada mereka. Setelah perang Badar, Rasulullah Saw. sempat bersabda,“Janganlah kamu memaki mereka dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran hati itu tercela.” (HR. Nasai).
Mari kita bersungguh-sungguh menjaga lisan kita dari perkataan yang kotor dan tiada berguna. Jauhkan diri kita dari celetukan-celetukan. Tahan lisan kita dari komentar-komentar yang tidak perlu, ungkapan yang mengutuki keadaan.
Berkata baik dan benar adalah ciri dari orang beriman, semoga kita termasuk di dalamnya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamin.[]
 












Ikhtiar Perlu Serius – AaGym

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Kaya mengkaruniakan kepada kita kesungguhan untuk memberikan yang terbaik dalam setiap ibadah kita. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah Saw.
Allah Swt. berfirman, “Dan, orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut [29] : 69).
Saudaraku, banyak sekali urusan dunia ini yang seolah nampak berat untuk dilakukan sehingga manusia enggan menyanggupinya. Padahal yang sebenarnya terjadi hanyalah tentang mau bersungguh-sungguh atau tidak. Karena banyak sekali yang nampak berat tercapai, rupanya bisa tercapai karena kesungguhan.
Contohnya shalat Tahajud. Mengapa shalat ini seolah hal yang berat sekal untuk dilakukan? Bangun di malam hari saat orang lain tidur nyenyak, mengambil air wudlu lalu mendirikan shalat. Membayangkannya sudah terasa berat. Yang terjadi sebenarnya bukan Tahajudnya yang berat, melainkan karena tidak adanya kesungguhan untuk menunaikannya.
Jika kita sungguh-sungguh, maka Tahajud akan terasa ringan saja dilakukan. Tahajud akan berat dilakukan jika hanya rencana yang diucapkan saja. Namun, dengan izin Allah kita akan mudah terbangun di malam hari dan Tahajud akan mudah dilakukan jika rencana itu tidak hanya diucapkan, tapi juga diniatkan dalam hati dengan penuh keseriusan.
Allah Swt. berfirman, “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At Thaghabun [64] : 4).
Orang yang memiliki kesungguhan niat untuk menunaikan Tahajud, ia pasti akan mudah terbangun di malam hari dengan sebab apa saja. Dan, itu terjadi atas izin Allah, karena Allah mengetahui isi hatinya, Allah mengetahui kesungguhan niatnya. Allah memudahkan jalan untuknya.
Saudaraku, mari kita perhatikan, orang-orang yang melakukan kejahatan korupsi saja misalnya. Mereka menyusun rencana dengan sangat rapi. Kemudian, melakukan setahap demi setahap rencana itu demi tercapainya maksud mereka. Jika orang-orang yang bermaksud jahat saja sedemikian serius melakukannya, maka seharusnya kita pun seserius itu melakukan kebaikan.
Ada sebuah ungkapan yang sangat terkenal, “Man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh dia pasti bisa meraihnya. Demikian juga kita dalam menjemput rezeki kita. Semakin sungguh-sungguh kita menjemputnya, maka semakin dekat kita untuk bisa meraihnya.
Seekor burung saja yang terbang keluar dari sarangnya bisa kembali dalam keadaan perut yang kenyang. Maka, apalagi kita yang oleh Allah Swt. dilengkapi dengan akal pikiran.
Sesungguhnya rezeki adalah jaminan Allah. Artinya, rezeki untuk kita itu sudah ada dan tersebar di berbagai penjuru bumi. Tinggal kita mau bersungguh-sungguh menjemputnya. Ada perbedaan yang sangat jelas antara “mencari” dengan “menjemput”. Jika “mencari”, maka apa yang kita cari itu masih kemungkinan ada dan tidak. Sedangkan “menjemput” itu artinya sudah jelas ada, tinggal kita mendatanginya dan meraihnya.
Oleh sebab itu, dalam urusan rezeki kita tidak bisa berpangku tangan pasrah begitu saja menantikan rezeki datang dengan sendirinya. Tidak bisa juga kita menyerah pada harta haram dan syubhat karena mengira sulit menjemput yang halal.
Mari singsingkan lengan baju. Bekerja dengan serius, penuh kejujuran dan tanggungjawab. Inilah yang diajarkan oleh para nabi dan rasul Allah Swt. Nabi Muhammad Saw. sudah bekerja sejak belia sebagai penggembala lalu berniaga. Nabi Daud as. adalah seorang pandai besi. Nabi Yusuf as. adalah bendahara negara. Nabi Zakaria as. adalah seorang tukang kayu. Nabi Adam as. adalah seorang petani.
Saudaraku, bekerja adalah sebentuk ibadah kepada Allah Swt. jikalau dilakukan dengan kesungguhan dan kejujuran. Bahkan Rasulullah Saw. menerangkan bahwa bekerja itu derajatnya sejajar dengan jihad.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beberapa sahabat Rasulullah Saw. melihat seorang pemuda yang giat bekerja. Kemudian mereka berkata, “Andai saja ini (giat bekerja) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.”Lalu, Rasulullah Saw. segera berkata kepada para sahabatnya, “Janganlah kamu sekalian berkata begitu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah.
Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orangtuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan, jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun, jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan syaitan.” (HR. Thabrani)
Semoga kita senantiasa ada dalam bimbingan Allah Swt. Sehingga setiap keringat dan rasa lelah kita akibat berikhtiar menjadi bernilai ibadah di hadapan-Nya. Aamiin yaa Allah yaa Rabbal ‘aalamiin.[]
















aagym-yusufmansur
Ujian Menaikkan Level – AaGym
Semoga Alloh Swt. Yang Maha Menatap, senantiasa melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita sehingga menjadi orang-orang yang selamat dalam perjalanan di dunia menuju akhirat. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rosululloh Saw.
Saudaraku, hidup di dunia ini adalah rangkaian permasalahan, rangkaian ujian. Setiap hari selalu saja kita temui persoalan yang boleh jadi membuat kita pusing, stres, galau, resah, gelisah, hingga putus asa. Dunia itu memang begitu. Namun, jikalau kita tidak tahu ilmunya, maka kita akan berhenti pada keadaan galau, resah dan gelisah tadi.
Alloh Swt. berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabuut [29] : 2-3)
Jelas sekali bahwa ujian adalah konsekuensi dari pernyataan keimanan kita. Alloh pasti akan menguji kesungguhan hamba-Nya yang menyatakan iman, yakin, percaya kepada-Nya. Mungkin kemudian ada orang yang berkata, “Ah kalau begitu saya tidak akan beriman supaya tidak dapat ujian.” Nah, orang seperti ini malah lebih tragis lagi.
Padahal Alloh Swt. menghadirkan ujian kepada kita tiada lain adalah untuk menaikkan derajat kita. Jika sebelumnya hanya manusia yang biasa-biasa saja, maka kemudian menjadi manusia yang sholeh dan ahli ibadah, kemudian naik lagi menjadi hamba yang muhsin, yang senantiasa merasakan kehadiran Alloh di mana saja dan kapan saja. Kemudian naik lagi menjadi hamba yang mencintai Alloh dan dicintai oleh-Nya. Dan seterusnya. Maa syaa Alloh.
Seperti seorang anak yang belajar di Sekolah Dasar (SD), makanala ia ingin naik levelnya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), maka pasti ada ujiannya. Seorang anak di level SMP yang ingin naik ke Sekolah Menengah Atas (SMA), maka tentu juga ada ujiannya. Demikian seterusnya. Begitulah gambaran hidup ini. Ujian dari Alloh Swt. datang untuk menguji keimanan kita agar keimanan kita semakin bertambah tinggi levelnya, semakin indah derajatnya.
Mengapa Siti Hajar harus berlari-lari dahulu untuk mencari air di antara bukit Shafa dan Marwa, padahal bukanlah jika Alloh mau memberikan air kepadanya begitu sangat mudah. Mengapa tidak langsung saja oleh Alloh air itu dihadirkan? Tiada lain adalah agar menjadi amal ibadah bagi Siti Hajar. Mengapa kita harus hiruk pikuk bekerja? Padahal bagi Alloh begitu sangat mudah jika mau memberikan rezeki-Nya kepada kita. Tiada lain adalah agar hirup pikuk itu menjadi amal sholeh bagi kita. Tidakkah kita ingat bahwa hidup kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Alloh Swt.
Saudaraku, lihatlah betapa Rosululloh Saw. yang derajatnya sangat mulia di hadapan Alloh Swt., mendapatkan ujian yang begitu berat. Dicaci, dihina, dibenci, disakiti, diboikot, diperangi. Jika mau jujur, ujian yang menimpa kita saat ini belumlah seberapa. Memang begitulah hidup ini. Semakin kita sungguh-sungguh beriman kepada Alloh, semakin ujian itu akan datang. Tapi, sungguh ujian-ujian itu tidaklah berbahaya, karena yang berbahaya adalah cara kita mensikapi ujian tersebut.
Rosululloh Saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan, gundah gulana (kerisauan), bahkan duri yang menusuknya, melainkan Alloh akan hapuskan dengannya (musibah itu) kesalahan-kesalahannya“. (HR. Bukhari)
Subhaanalloh. Semoga kita tergolong hamba-hamba Alloh Swt. yang senantiasa mensikapi berbagai bentuk ujian dengan sikap ridho, sabar dan tawakal sembari menyempurnakan ikhtiar. Sehingga sepahit apapun ujian itu, tetap menjadi ladang amal sholeh bagi kita, dan menjadi sarana menaikkan derajat kita di hadapan Alloh Swt. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar