BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Untuk
melakukan sebuah penelitian diperlukan landasan teori yang akan mendukung
penelitian tersebut. Pada bab ini akan dibahas teori – teori yang dapat
mendukung tujuan penelitian serta hipotesa yang akan dikemukakan.
2.1.1 Sejarah Perbankan.
1. Asal
Mula Kegiatan Perbankan.
Sejarah mencatat asal mula dikenalnya
kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di
daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini berkembang
ke Asia Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia,
Afrika dan Amerika, dibawa oleh bangsa
Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa
penukaran uang. Sehingga dalam sejarah perbankan, arti
bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah
kerajaan tempo dulu mungkin penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang
satu dnegan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan
nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan
berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini
kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan
peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan
dipinjamkan kembali kepada masyarakat yang
membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.
2. Sejarah Perbankan di
Indonesia.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan
Hindia Belanda. Pada masa
itu terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
Bank-bank yang ada itu antara lain:
a. De Javasce NV.
b. De Post Poar Bank.
c. De Algemenevolks Crediet
Bank.
d. Nederland Handles
Maatscappi (NHM).
e. Nationale Handles Bank
(NHB).
f. De Escompto Bank NV.
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik
orang Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut
antara lain:
1) Bank Nasional indonesia.
2) Bank Abuan Saudagar.
3) NV Bank Boemi.
4) The Chartered Bank of India.
5) The Yokohama Species
Bank.
6) The Matsui Bank.
7) The Bank of China.
8) Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia
bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh
pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
a) Bank Negara Indonesia,
yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI ’46.
b) Bank Rakyat Indonesia
yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dar De Algemenevolks
Crediet Bank atau Syomin Ginko.
c) Bank Surakarta Maskapai
Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
e) Bank Dagang Nasional
Indonesia tahun 1946 di Medan.
f) Indonesian Banking
Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian
menjadi Bank Amerta.
h) Bank Dagang Indonesia NV
di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
g) Bank
Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari.
Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi
Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih
merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam
negeri masih terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia
pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De
Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian
menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun kemudian,
seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas
bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa
bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde
baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan
berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan
dan pembinaan Bank Indonesia.
Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah,
dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta
nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena
jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang
sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga
menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit
Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah
ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan
ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah
menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah
dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983
merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan
suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk
membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan
selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban
perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin
pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan nasional
mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan
meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor properti.
Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak naik. Ketika krisis
moneter 1997 melanda, struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal
1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank
swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank
Indonesia turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai
tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
Sistem pembayaran di Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang
(UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang
kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang
mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah.
Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun
1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai
hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat
pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi
menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan
oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam
pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999).
Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan
perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu.
Sementara itu, dalam bidang
pembayaran non tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri
sebagai kantor perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank
sentral, sejak awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan
sistem pembayaran giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai
sistem pembayaran giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai
dengan 1990-an, pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi
pembayaran non tunai juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai
menggunakan sistem yang lebih efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi
pembayaran non tunai. Berbagai sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL)
dengan basis personal computer dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi
dan Terintegrasi (SAKTI) dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan
dan disempurnakan. Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem
elektronik seperti BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time
Gross Settlement (RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring
warkat antar wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities
Settlement System (S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non
tunai di Indonesia.
2.1.2 Tujuan Jasa Perbankan.
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan, yaitu :
a. Pertama,
sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. “Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling
penting dalam kehidupan ekonomi”6. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang
efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu.
6Subagyo, Sri Fatmawati, Rudy Badrudin,
Astuti Purnamawati, Algifari, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya,
STIE YKP, Yogyakarta, 2005, hal. 68.
7Ibid.
|
|
b. Kedua,
dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya
kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk
investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan
baik, ekonomi suatu negara akan menngkat. “Tanpa adanya arus dana
ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman
dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman”7.
2.1.3 Jenis Bank.
Secara umum bank adalah
suatu badan usaha yang memiliki wewenang dan fungsi untuk untuk menghimpun dana
masyarakat umum untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana tersebut. Berikut
di bawah ini adalah macam-macam dan jenis-jenis bank yang ada di Indonesia
beserta arti definisi / pengertian masing-masing bank. Jenis-Jenis Bank antara lain, yaitu :
1. Bank
Sentral
Bank sentral adalah
bank yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 1968 yang memiliki tugas untuk mengatur
peredaran uang, mengatur pengerahan dana-dana, mengatur perbankan, mengatur
perkreditan, menjaga stabilitas mata uang, mengajukan pencetakan / penambahan
mata uang rupiah dan lain sebagainya. Bank sentral hanya ada satu sebagai pusat
dari seluruh bank yang ada di Indonesia.
2. Bank
Umum
Bank umum adalah
lembaga keuangan yang menawarkan berbagai layanan produk dan jasa kepada
masyarakat dengan fungsi seperti menghimpun dana secara langsung dari
masyarakat dalam berbagai bentuk, memberi kredit pinjaman kepada masyarakat
yang membutuhkan, jual beli valuta asing / valas, menjual jasa asuransi, jasa
giro, jasa cek, menerima penitipan barang berharga, dan lain sebagainya.
3. Bank
Perkreditan Rakyat / BPR
Bank perkreditan
rakyat adalah bank penunjang yang memiliki keterbatasan wilayah operasional dan
dana yang dimiliki dengan layanan yang terbatas pula seperti memberikan kridit
pinjaman dengan jumlah yang terbatas, menerima simpanan masyarakat umum, menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil,
penempatan dana dalam SBI (Sertifikat Bank Indonesia), deposito berjangka, sertifikat / surat berharga,
tabungan, dan lain sebagainya.
2.1.4 Bentuk Dan Produk Bank.
Beberapa bentuk produk perbankan berupa
pemberian kredit, pemberian jasa pembayaran dan peredaran uang, serta bentuk
jasa perbankan lainnya. Untuk penjelasannya sebagai berikut:
1. Pemberian kredit dengan
berbagai macam bentuk jaminan atau tanggungan misalnya tanggungan efek.
2. Memberikan jasa-jasa
dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang yang terdiri:
a. Lalu lintas pembayaran dalam negeri seperti transfer, inkaso.
b. Lalu lintas pembayaran luar negeri seperti pembukaan L/C (Letter of Credit)
yaitu surat
jaminan bank untuk transaksi ekspor-impor.
3. Jasa-jasa perbankan
lainnya yang meliputi :
a. Jual-beli cek perjalanan (travellers cheque).
b. Jual-beli uang kertas (bank note).
c. Mengeluarkan kartu kredit (Credit Card).
d. Jual-beli valuta asing.
e. Pembayaran listrik, telepon, gaji, pajak.
f. Menyiapkan kotak pengaman simpanan (safe deposite box).
4. Bentuk-bentuk simpanan
di Bank.
a. Giro adalah simpanan pada bank yang dapat digunakan sebagai alat
pembayaran.
b. Deposito Berjangka adalah simpanan pada bank yang penarikannya hanya
dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
c. Sertifikat Deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat
diperdagangkan.
d. Tabungan adalah simpanan pada bank yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati.
2.1.5 Bank Syariah.
Dalam pandangan Islam, uang itu sendiri tidak
menghasilkan bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Perbankan
syariah didasarkan pada dua konsep utama yang digariskan dalam Islam, yaitu :
1. Larangan
atas penerapan bunga.
2. Sebagai
penggantinya dipakai sistem bagi hasil.
Kedudukan bank syariah dalam hubungannya dengan
para nasabah adalah sebagai mitra investor. Sedangkan dalam bank umum, hubungan
antara bank dan nasabah adalah sebagai kreditur dan debitur saja. Dalam menjalankan
pekerjaan yang sesungguhnya antara bank syariah dengan nasabah, digunakan
teknik dan metode investasi seperti kontrak mudharabah, yaitu seorang pemilik
modal memberikan modal dan mudharab (mitra tenaga kerja) memberikan kecakapan
teknik dan keterampilan. Laba dibagi antara keduanya menurut persentase yang
disetujui dengan mengcua pada prinsip keadilan (persentase ditentukan oleh
usaha).Selain hal di atas, bank syariah juga bisa melakukan aktivitas di pasar
devisa dan menjalankan jasa perbankan lainnya seperti surat kredit dan surat
jaminan. Bank Syariah juga memberikan jasa bukan perbankan seperti trust
business, real estate, dan jasa konsultan.
2.1.6 Manajemen Bank Syariah.
8Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga
Keuangan (Edisi Keempat), Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 2004, hal. 181.
|
|
Dalam bank syariah
secara konsep tidak jauh berbeda dengan manajemen bank konvensional. Baik itu
dari segi tujuan dan resiko yang akan dihadapi oleh bank syariah. Yang
membedakan hanyalah pada akad yang digunakan ketika melakukan kontrak. Selama
in alat untuk manajemen dalam bank syariah adalah “PUAS (pasar uang antar
bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank
syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah”8.
Semuanya ini adalah instrumen untuk menjaga bank. Apabila
suatu bank kekurangan, maka bank tersebut akan meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA,
sebaliknya bila kelebihan maka akan ditempatkannya pada bank lain (PUAS) atau
dengan membeli SWBI atau SIMA. Sedikitnya bank syariah, membuat
para praktisi memutar otak untuk mencari solusi yang dapat memperluas instrumen
bank syariah. Maka dari itu untuk mengakomodir permintaan akan instrumen yang
lain, dibuatlah instrument derivative future kontrak ini
dengan salah akad yang digunakan adalah murabahah yang akan menjadi fokus kajian kali
ini. Jadi pada prinsipnya manajemen bank baik konvensional maupun syariah
tidak jauh berbeda. Yang membedakan dan yang ditekankan adalah bagaimana cara
mendapatkan dana tersebut haruslah sesuai dengan syariah.
2.1.7 Pengertian Tentang BMT.
BMT singkatan
dari Baitul māl wattamwil. BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul māl
dan baitul tamwil. Apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti rumah uang dan rumah pembiayaan.
Baitul māl lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang
non profit, seperti zakat, infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan
peraturan dan amanahnya. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial. Pengertian baitul māl adalah lembaga keuangan
berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta
menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infak, shodaqoh (ZIS) berdasarkan
ketentuan yang telah ditetapkan Al Qur’an dan sunnah Rasul Nya, dan pengertian
dari baitul tamwil adalah “lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk
tabungan (simpanan) dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia
perbankan”9. Sedangkan pengertian baitul māl adalah “suatu badan
yang bertugas mengumpulkan, mengelola serta menyalurkan zakat, infak, dan
shodaqoh yang bersifat social oriented”10, dan “baitut tamwil adalah
suatu lembaga yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk
suatu tujuan profit oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah,
syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u bitsaman ajil/angsur, murabahah /tunda)
maupun sewa (al-al-ijarah)”11.
Dengan demikian BMT sesungguhnya
merupakan lembaga yang bersifat sosial keagamaan sekaligus komersial. BMT
menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan membagikan dana
masyarakat dalam bentuk zakat, infaq,
dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan. Di sisi lain ia mencari dan
memperoleh keuntungan melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam
bentuk penghimpunan, pembiayaan, maupun layanan-layanan pelengkapnya sebagai
suatu lembaga keuangan Islam. Dilihat dari bangunan suatu kelompok, maka BMT
tidak berbeda dari ormas Islam lainnya kecuali pada bidang geraknya secara
ekonomis dan bisnis keuangan. Mulai dari tujuan, asas dan landasan, visi dan
misi BMT, semuanya terlihat sebagai organisasi keuangan orang Islam pada
umumnya. Visi BMT adalah semakin meningkatnya kualitas ibadah anggota BMT sehingga
mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan
tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur
berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT.
Di sini BMT menempati fungsi lembaga usaha ekonomi
kerakyatan yang dapat dan mampu melayani nasabah usaha mikro dan kecil-bawah.
Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai lembaga yang
berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial. Akan tetapi ia bergerak juga
untuk penyaluran dan penggunaan zakat, infaq, dan sadaqoh ditumbuhkan dari
bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya, milik bersama
masyarakat kecil-bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik
seseorang atau orang dari luar masyarakat itu. Ciri khasnya meliputi etos kerja
bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota
dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang
bisnis. Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil (PINBUK). “PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang
lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil”12. Dalam prakteknya PINBUK menetaskan BMT dan pada gilirannya BMT
menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan
masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir
kepentingan ekonomi masyarakat. Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan
pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan
arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai
lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat
kecil yang serba kekurangan baik di bidang ilmu pengetahuan atau materi, maka
BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
2.1.8 Sejarah Berdirinya BMT.
12M. Dawan Rahardjo, Perspektif Deklarasi Mekkah
Menuju Ekonomi Islam, Mizan, Bandung,
1989, hal. 103.
|
|
Sesuatu yang
revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah pembentukan lembaga
penyimpanan yang disebut baitul māl. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah
tersebut merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan
pembelanjaan (expenditure) yang transparan dan bertujuan seperti apa yang
sekarang disebut dengan welfare oriented. Hal ini dirasakan asing pada masa
itu, karena pajak yang dikumpulkan oleh penguasa di kerajaan-kerajaan tetangga
di jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia, dikumpulkan oleh menteri dan
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan raja. Baitul māl yang
didirikan oleh Rasulullah SAW tidak
mempunyai bentuk yang formal sehingga memberikan fleksibilitas yang tinggi dan
nyaris tanpa birokrasi. Keadaan ini bertahan sampai pada masa pemerintahan khalifah
Abu Bakar ra, dimana dapat dikatakan tidak ada perubahan yang signifikan dalam
pengelolaan baitul māl. Baru pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra,
sejalan dengan bertambah luasnya wilayah pemerintahan Islam, volume dana yang
dikelola dan keragaman kegiatan baitul māl juga bertambah besar dan bertambah
kompleks. Keadaan ini mendorong khalifah untuk membuat sistem administrasi dan
pembukuan yang mampu menangani perkembangan ini.
Sejak jaman Rasulullah saw baitul māl
bukanlah sekedar lembaga sejenis BAZIS yang dikenal sekarang ini. Baitul māl
merupakan lembaga pengelola keuangan negara, maka baitul māl memainkan fungsi
kebijakan fiskal sebagaimana yang dikenal dalam ekonomi sekarang. Kebijakan
fiskal yang dilakukan oleh baitul māl sejak jaman rasulullah saw memberikan
dampak langsung pada tingkat investasi dan secara tidak langsung memberikan
dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal kebijakan
moneter, sampai dengan masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra, boleh dikatakan
pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan
moneter, karena pada masa itu belum ada dinar Islam yang dicetak oleh
pemerintah Islam. Ketika itu dinar Romawi dan dirham Persia yang digunakan sebagai alat
bayar. Barulah di masa pemerintahan Khalifah Ali ra, dicetak dinar Islam dalam bentuk yang
khas pemerintahan Islam. Namun karena keadaan politik saat itu mengakibatkan
peredarannya sangat terbatas. “Jadi dapat dikatakan bahwa baitul māl di jaman
Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin tidak menjalankan fungsi kebijakan moneter
dalam arti mengelola jumlah uang yang beredar”13. Para
ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam sendiri memiliki sedikit perbedaan
dalam menafsirkan baitul māl ini. Sebagian berpendapat, bahwa baitul maal itu
semacam bank sentral yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai
kesederhanaannya karena keterbatasan yang ada. Sebagian lagi berpendapat bahwa
baitul māl itu semacam menteri keuangan atau bendahara negara.
13Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam,
UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 57.
|
|
Hal ini mengingat fungsinya untuk
menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara. Kalaupun lembaga baitul māl yang menurut para
orientalis bukan sesuatu yang baru, maka proses siklus dana masyarakat
(zakat,infaq dan shodaqoh) yang dinamis dan berputar cepat merupakan preseden
yang sama sekali baru. Penjajahan yang terjadi di negara-negara Islam membawa
perubahan dalam sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun akhirnya
banyak negara Islam yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya, namun
kenyataannya mereka hanya merdeka secara politik, karena sisa-sisa penjajahan masih dirasakan terutama
dalam bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Sistem ekonomi pada umumnya
tidak bisa lepas dari sistim politik. Penjajahan telah membentuk watak negara
Islam menjadi individualis dan sekuler, yang secara tidak langsung mempengaruhi
pola pikir dan bahkan akidah dari para pemimpinnya. Warisan ekonomi penjajahan
membawa masalah seperti pengangguran, inflasi serta terpisahnya agama dan
ekonomi serta politik, yang mengakibatkan ketidakberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Hal ini
menimbulkan pemikiran di kalangan negara Islam, bahwa perlu dicari terobosan
baru sebagai solusi untuk mengatasi masalah ekonomi. Yang menarik adalah bahwa
solusi tersebut dikembalikan dan dikaitkan dengan ideologi. Konsep ini
berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam bahwa sistem ekonomi
penjajah tidak dapat mengatasi masalah. Dalam masalah keuangan, ditemukan
terminologi baru bahwa sistem bunga yang ribawi yang dikenalkan oleh penjajah
telah menghilangkan baitul māl dalam khasanah kenegaraan, maka kesadaran ini
telah mengarahkan pada sistem keuangan yang bebas riba.
Gerakan lembaga keuangan yang bebas
riba dengan sistem modern didirikan pada tahun 1969 oleh Abdul Hamid An Maghar
di desa Mith Gramer, tepi sungai Nil di Mesir. Meskipun akhirnya ditutup karena
masalah manajemen, akan tetapi kelahiran Bank ini telah mengilhami diadakannya
Konferensi Ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua tahun
kemudian lahirlah Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB).
Kelahiran IDB merupakan hasil serangkaian kajian yang mendalam dari pakar
ekonomi dan keuangan juga dari para ahli hukum Islam. Negara yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam menjadi motor penggerak berdirinya IDB.
Mesirlah yang pertama kali mengusulkan pendiriannya. Pada sidang Menteri Luar
Negeri negara anggota OKI di Karachi Pakistan tahun 1970, Mesir
mengusulkan perlunya pendirian Bank Islam Dunia. Usulan tersebut ditulis dalam
bentuk proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank Islam Internasional
untuk Perdagangan dan pembangunan serta pendirian Federasi Bank Islam.
Tujuan utama IDB adalah untuk memupuk
dan meningkatkan perkembangan ekonomi dan social negara-negara anggota dan
masyarakat muslim secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan
prinsip syariat Islam. “Fungsi utama bank ini berperan serta dalam modal usaha
dan bantuan cuma-cuma untuk proyek produksi dan perusahaan disamping memberikan
bantuan keuangan bagi negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk
perkembangan ekonomi dan sosial”14. Keberadaan IDB sangat
berpengaruh dalam memberikan inspirasi pada pendirian dan perkembangan bank
syariah di berbagai negara Islam.Komite ahli IDB kemudian menyusun berbagai
peraturan dan perangkat pengawasan, untuk mengakomodasi rencana pendirian bank
Syariah tersebut. Secara garis besar,
bank Syariah tersebut dibagi menjadi dua, yakni Bank Islam Komersial (Islamic
Commercial Bank ) dan Lembaga Investasi dalam bentuk International Holding
Companies. Pada periode tahun 1970-an negara Islam telah banyak yang mendirikan
lembaga keuangan syariah, seperti Mesir, Sudan, Dubai, Pakistan, Iran, Turki,
Bangladesh, Malaysia, dan termasuk Indonesia pada dekade 1990- an.
14M. Abdul Manan, Islamic Economy Theory
and Practice, Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta,
1993, hal. 191.
|
|
Di Indonesia pada
tahun 1990 mulai ada prakarsa mengenai bank syariah, diawali adanya Lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan pada tanggal 18-20 Agustus 1990
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasil lokakarya tersebut dilanjutkan dan
dibahas dalam Musyawarah Nasional IV (MUNAS IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990
di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Hasil Munas membentuk Tim Perbankan MUI yang
bertugas mensosialisasikan rencana pendirian bank syariah di Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 1 Nopember 1991, tim ini berhasil mendirikan Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai
beroperasi sejak September 1992. Pada awalnya kehadiran BMI belum mendapat
perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan. Namun dalam
perkembangannya, ketika BMI dapat tetap eksis ketika terjadi krisis ekonomi
tahun 1997, telah mengilhami pemerintah untuk memberikan perhatian dan mengatur
secara luas dalam undang-undang, serta memacu segera berdirinya bank-bank
syariah lain baik dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maupun
Windows Syariah untuk bank umum.
Kehadiran BMI pada awalnya diharapkan mampu untuk membangun kembali sistem
keuangan yang dapat menyentuh kalangan bawah (grass rooth). Akan tetapi pada
prakteknya terhambat, karena BMI sebagai bank umum terikat dengan prosedur
perbankan yang telah dibakukan oleh undang-undang. Sehingga akhirnya
dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan dapat
memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah. Namun dalam
realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya pada
segelintir orang, yakni para pemilik modal. Sehingga komitmen untuk membantu
derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala baik dari sisi hokum maupun
teknis. Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dan dengan BPRS sama,
begitu juga dari sisi teknis.
Dari persoalan di atas, mendorong munculnya
lembaga keuangan syariah alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja
berorientasi bisnis tetapi juga sosial. Juga lembaga yang tidak melakukan
pemusatan kekayaan pada sebagian kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan
penghisapan pada mayoritas orang, tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi
secara merata dan adil. Lembaga yang terlahir dari kesadaran umat dan
ditakdirkan untuk menolong kaum mayoritas, yakni pengusaha kecil/mikro. Lembaga
yang tidak terjebak pada permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi
membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama. Lembaga yang tidak
terjebak pada pikiran pragmatis tetapi memiliki konsep idealis yang istiqomah.
Lembaga tersebut adalah Baitul Māl Wa Tamwil (BMT).
BMT merupakan organisasi bisnis yang
juga berperan sosial. Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya
pada sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan,
yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya
pada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas
bagi BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sector
keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT
bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan. BMT telah mampu menarik
minat mereka yang berpendidikan. Dengan mengetahui fungsi baitul māl di jaman
awal Islam, maka sebenarnya mereka yang telah terlibat dalam BMT diharapkan
dapat memberikan kontribusi pada pengembangan lembaga baitul māl. Menempatkan
dominasi peran BMT sebagai lembaga keuangan syariah dan atau sebagai lembaga
ekonomi sektor riil, dapat menjadi suatu ijtihad ummat sebagai reaksi terhadap
berbagai persoalan ekonomi, terutama marjinalisasi peran ekonomi, terutama marjinalisasi
peran ekonomi ummat di Indonesia.
2.1.9
Azas Dan Dasar Hukum BMT.
BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
serta berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan /koperasi,
kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme. Tujuan dari BMT adalah untuk
menyediakan dana murah dan cepat guna pengembangan usaha kecil bagi anggotanya.
BMT juga bertujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pada awalnya BMT adalah
sebuah organisasi informal dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yaitu suatu lembaga yang melakukan
penghimpunan dana dari anggota dan diperuntukkan bagi anggota. Kegiatan
tersebut dilakukan dengan mencontoh proyek yang sering dilakukan pemerintah
dalam upaya pengembangan masyarakat.Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi
tetapi sistim operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga
produk-produk yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah.
Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus
tunduk pada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP
Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Juga
dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun
2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai
payung berdirinya BMT ( Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah). Meskipun sebenarnya
tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi
saja, sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada
anggota tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya
telah selesai. Peraturan operasional bank syari’ah berdasarkan undang-undang
Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dengan ketentuan pelaksanaannya seperti PP Nomor
71 tahun 1992 tentang BPR serta PP Nomor 72 tahun 1992 yang mengatur mengenai
bank dengan prinsip bagi hasil. Kemudian Undang-undang Nomor 7 tahun 1992
tersebut telah diganti dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. Gerakan BMT
dicanangkan sebagai gerakan nasional oleh presiden Soeharto pada pembukaan
silaknas ICMI di Jakarta pada tanggal 7 Desember 1995.
Dalam beberapa tahun kemudian BMT
dibina dan dikembangkan oleh PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) yang
merupakan badan pekerja dari YINBUK (Yayasan Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil).
YINBUK didirikan pada tanggal 13 Maret
1995 dengan tujuan untuk mengembangkan BMT secara meluas dan sehat.Upaya yang
dilakukan PINBUK dengan beberapa langkah kelembagaan antara lain, berupa kerjasama dengan BI sejak
1995 melalui Proyek Hubungan Kerjasama (PHBK) dengan Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM). Seiring dengan perkembangan keberadaan BMT, selanjutnya
PINBUK tidak lagi menjadi satu-satunya perintis dan pendukung pendiriannya.
Ormas Islam atau lembaga keislaman juga mengambil peran mereka dalam
memunculkan BMT-BMT baru. Ormas itu antara lain
ICMI, MUI, NU dan Muhammadiyah.
Bahkan sejak tahun 2005 pendirian BMT telah bergeser kepada perusahaan bisnis
yang disokong oleh seorang investor kuat atau kelompok bisnis. Tanda-tandanya
dapat dilihat dari kepemilikan dan kemunculan kantor kas-kantor kasnya dalam
jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Pada sisi legalitasnya terdapat
pergeseran pengakuan
kewenangan legalitasnya yang semula
diberikan oleh PINBUK dengan bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan PHBK BI
beralih menjadi kewenangan sepenuhnya Departemen Koperasi sehingga yang
bertanggungjawab membinanya secara legal tetaplah departemen koperasi.
2.2 Hipotesa
Ada pengaruh positif dan signifikan modal
bagi hasil terhadap minat masyarakat dalam memilih simpanan pada BMT
Ikatan Persaudaraan Migran Hongkong (IPMH) Halaqoh Kecamatan Paron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar