Jumat, 08 Desember 2017

Perlindungan Hak Perempuan




Ringkasan

Tuntutan yang sangat mendesak dalam upaya membantu pemecahan masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kemampuan untuk melindungi diri dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga secara kuantitatif mengalami peningkatan yang signifikan, dan disertai dengan peningkatan intensitas dan kualitasnya.
Berkaitan dengan itu diperlukan upaya-upaya konkrit untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam melindungi diri terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk pengembangan model perlindungan hak perempuan dari tindak kekerasan.
Realitas di lapangan pada umumnya perempuan yang mengalami tindak kekerasan tidak ada keberanian untuk melapor. Permasalahan yang banyak dialami oleh perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak yang diam, disembunyikan, tidak mau diketahui oleh umum, perempuan korban tindak kekerasan yang dialaminya berpendapat merupakan aib urusan rumah tangga, sehingga lebih banyak diam tidak tertangani, bahkan merasa malu apabila diketahui oleh tetangganya sendiri apalagi sampai melapor pada pihak lain.
Dalam jangka pendek, penelitian ini akan berupaya memberikan pemahaman tentang perlindungan hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, pengetahuan tentang cara memecahkan masalah yang dialami oleh perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga sesuai keadilan gender, mampu menghormati harkat dan martabat sebagai perempuan dan tidak diperlakukan secara diskriminatif. Secara khusus, penelitian ini akan menghasilkan model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk tindakan kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) mendeskripsikan faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) mendeskripsikan bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) mendeskripsikan bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (5) membuat model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian ini dirancang untuk jangka waktu 2 tahun. Pada tahun pertama rancangan penelitian menggunakan deskriptif kualitatif dan survey. Deskripsi kualitatif bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga; bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan serta bagaimana bentuk perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tahun kedua menggunakan rancangan penelitian research and development, bertujuan untuk mengembangkan model perlindungan hak bagi perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.




Bab I. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Fenomena kekerasan terhadap perempuan dewasa ini tidak semakin mereda bahkan kuantitatif mengalami peningkatan signifikan dan disertai pula dengan meningkatkan intensitas dan kualitas kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat. Sejumlah kasus-kasus kekerasan berbasis gender ini telah bermunculan di sejumlah media elektronik maupun cetak yang setiap saat selalu bermunculan. Kasus kekerasan terhadap perempuan sulit untuk dihitung karena terus menerus bertambah. Data yang ditemukan sangat parsial (terpisah-pisah) dan memiliki versi yang berbeda-beda. Sebagai gambaran yang telah dilakukan salah satu Lembaga Mitra Perempuan di Jakarta sebagi hasil pendampingan, setiap tahunnya kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2002 sebanyak 258 kasus, tahun 2003 sebanyak 226 kasus, tahun 2004 sebanyak 272 kasus, tahun 2005 sebanyak 329 kasus dan tahun 2006 sebanyak 455 kasus. Sedangkan relasi pelaku korban dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Relasi Pelaku – Korban Kekerasan terhadap Perempuan
No.
Pelaku
Korban KDRT
Kekerasan Publik
1.
Suami
77,36%

2.
Mantan Suami
3,08%

3.
Ortu/Saudara/Anak
6,15%

4.
Majikan
0,22%

5.
Pacar/teman dekat

9,01%
6.
Tetangga

1,54%
7.
Lain-lain

2,64%
Jumlah
86,81%
13,19%
Sumber: Mufidah, dkk, 2008 : 26

Berikut gambaran data kekerasan di Jawa Timur dapat dijelaskan sebagai berikut:
-  249 kasus perkosaan yang terekam dalam media surat kabar sepanjang tahun 2006 (peningkatan 50,25% dari tahun 2005). Jumlah korban 417 dengan 350 pelaku. Artinya rata-rata setiap bulan terjadi 35 kasus atau setiap 20 jam sekali jatuh korban dan 55% korban adalah anak-anak perempuan (usia dibawah 18 tahun), sebagian besar (88%) berstatus siswi, 13,71% merupakan hubungan darah (incest), 76,57% pelaku adalah orang sangat dekat dan atau dikenal baik oleh korban. Modusnya dengan kekerasan ancaman, penipuan, bujuk rayu atau dibuat mabuk terlebih dahulu.
Terjadi 76 kasus kekerasan terhadap istri (meningkat 47% dari tahun 2006 jika dibandingkan kasus di tahun 2005). (Sumber: Kompas, 26 Oktober 2009).
Sedangkan menurut data Komisi E (Kesra) DPRD Jatim anak-anak perempuan terlibat kasus-kasus sosial selalu meningkat dari tahun ke tahun. Mulai kasus anak perempuan yang dipekerjakan hingga trafficking atau penjualan anak dibawah umur. Untuk kasus traffickingnya 300%. Data yang dirilis oleh Komisi E atas masukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur dijelaskan bahwa pada tahun 2009 terdapat 415.577 kasus anak perempuan dibawah umur untuk dipekerjakan. Selain itu ada 28.892 kasus trafficking dan 18.360 kasus anak-anak perempuan yang dilacurkan dan anak-anak tersebut berusia dibawah 16 tahun (sumber Jawa Pos, 24 Maret 2009, kolom 5 hal 7).
Kasus trafficking dan pelacuran anak disebabkan rendahnya perekonomian keluarga disamping karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, keterbelakangan dan kemiskinan membuat perdagangan manuasi di Indonesia makin marak. Praktik kejahatan dan pelanggaran HAM yang banyak menimpa perempuan melahirkan bentuk perbudakan modern hingga eksploitasi seksual komersial anak (ESKA).
Fakta kekerasan terhadap perempuan terjadi pada semua tingkat ekonomi, pendidikan dan status sosial lainnya. Kekerasan yang menimpa perempuan akan menimbulkan bermacam persoalan psikologis, keadilan hukum dan pengabaian hak-hak kemanusiaan. Mereka dilingkupi rasa takut, trauma yang berkepanjangan, bisu dalam penderitaan yang ditanggung sendiri, sementara yang lain menyeruak penuh eforia demokrasi. Ironisnya mereka juga luput dari pengamatan bahkan dianggap ikhlas menerima tindak kekerasan tersebut.





1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini dirancang untuk jangka waktu 2 tahun.
Tahun pertama, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga.
2.      Bagaimanakah faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
3.      Bagaimanakah bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
4.      Bagaimanakah bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Tahun Pertama
1. Mendeskripsikan bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga.
2.  Mendeskripsikan faktor penyebab perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
3.  Mendeskripsikan bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
4. Mendeskripsikan bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Tujuan Tahun Kedua:
Menyusun model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
1.4. Manfaat dan Urgensi
1. Pada realitas yang ada setiap kasus kekerasan yang menimpa perempuan dalam rumah tangga belum pernah diselesaikan secara tuntas.
2.  Perempuan korban tindak kekerasan belum banyak mengetahui bagaimana caranya memecahkan masalah yang dialaminya karena perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tanggga lebih banyak diam, dan merasa malu apabila masalhnya diketahui oleh masyarakat sekitar (tetangganya).
3.  Perempuan korban tindak kekerasan belum banyak memahami tentang bagaimana perlindungan hak-haknya sebagai perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
4.    Memberikan terobosan baru model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
5.    Kegiatan penelitian ini memberikan kontribusi didalam pemecahan masalah pembangunan terutama dalam bentuk perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga masing-masing pihak yang terdapat dalam lingkup rumah tangga dapat lebih efektif dalam menjalankan perannya dalam keluarga.
6.    Manfaat penelitian ini juga didasari pada temuan data peneliti (tahun 2008) tentang kekerasan perempuan dalam rumha tangga bahwa banyak perempuan yang mengalami tindak kekerasan. Pada umumnya perempuan korban kekerasan tidak ada keberanian untuk melapor, perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak yang diam, masalah yang dialaminya disembunyikan tidak mau diketahui oleh umum. Sehinga perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga beranggapan apa yang dialaminya itu hal biasa terjadi, dan itu merupakan aib urusan rumah tangganya dan masalahnya tidak tertangani bahkan merasa malu apabila diketahui oleh tetangganya apalagi sampai melapor pada pihak lain.
Pada tahun kedua penelitian ini difokuskan pada penyusunan model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
1.5. Luaran
Luaran yang direncanakan dalam jangka waktu 2 tahun sebagai berikut.
Tahun Pertama
1.    Deskripsi bentuk tindak kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga.
2.    Deskripsi faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan.
3.    Deskripsi bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
4.    Prototipe bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
Tahun
Kedua
1.    Menyusun model perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
2.    Artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal nasional dan internasional.
Bab. II Tinjauan Pustaka
2.1.  Kekerasan Terhadap Perempuan
Pada tahun 1993, Sidang umum PBB mangadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap perempuan yang dirumuskan pada tahun 1992 oleh komisi status wanita PBB. Pada pasal 1, dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup: “Setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut paksaan atau perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan publik maupun privat (Tjandraningsih, 1997: 253)”.
Selanjutnya dalam konferensi ke IV tentang perempuan di Beijing 1995 ditegaskan bahwa kata kekerasan terhadap perempuan berarti: “setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual dan psikologis terhadap wanita termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan dari perampasan kebebasan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi”.
Berdsarkan definisi tersebut di atas secara tegas menunjukkan akar dari kekerasan pada hubungan gender. Pendapat Faqih (1997:40) menyebutkan bahwa kekerasan yang disebabkan oleh hubungan gender sebagai Gender – Related Violence (kekerasan yang berhubungan dengan jenis kelamin) atau kekerasan yang disebabkan oleh bias gender. Sedangkan menurut Undang-undang no 23 tahun 2004 yang disebut kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Berbagai kebijakan intervensi dari program aksi, baik itu secara global maupun nasional telah banyak dilakukan guna perbaikan status dari martabat perempuan dari tidak sejajar menjadi sejajar, namun hasilnya masih belum banyak merubah keadaan. Secara global sebagaimana terungkap dalam World Conference of Human Rights, Juni 1993 di Wina Austria, bahwa kondisi hak asasi perempuan masih memprihatinkan bahkan tidak diakui keberadaannya, seperti kekerasan seksual, pelecehan, perendahan, subordinasi, eksploitasi, tindakan kekerasan, pemanfaatan tubuh fisik perempuan secara komersial bahkan perbudakan seksual, disamping kehilangan hak-hak sosial, ekonomi dan politik.
Keadaan di Indonesia banyak dijumpai hal serupa bahwa pelecehan terhadap perempuan dalam segala bidang, baik pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan maupun pada tingkat yang paling esensial yaitu kehilangan akses sosial ekonomi dan politik (Yusron dalam Kompas, 4 Mei 2010). Mengapa “eksploitasi” ini bisa berlangsung lama tanpa disadari bahkan seringkali diterima oleh sang korban dengan senang hati? Meskipun persoalan ini sampai sekarang belum bisa terjawab dengan memuaskan, tampaknya kita perlu mengkaji dari pendekatan kultural dan struktur yang melingkupi hubungan sosial yang selama ini berlangsung.
Erat kaitannya dengan hal tersebut ada argumen yang mucul dalam menjelaskan ini. Argumen yang dikemukakan Amrita Chachi dan Gender in Carrabean Development (dalam Syafaat, 1998: 3), karena inherennya struktur hubungan gender yang bersifat asimetris didalam diri perempuan, sebagai hasil bekerjanya sistem nilai yang patriarki, yaitu sistem struktural (dari dominasi baik terhadap produksi biologis, kontrak terhadap kerja, idiologi maupun pada hubungan sosial dari gender). Hubungan asimetris ini “memendar” kedalam segala aspek kehidupan perempauan yang menyebabkan ia tersubordinat sekaligus terlemahkan.
Dalam masyarakat Indonesia yang saat ini sedang mengalami satu proses perubahan yang sangat cepat menuju masyarakat industri telah banyak perubahan dalam struktur masyarakatnya. Kecenderungan utama satu masyarakat industri adalah komoditasi termasuk pengkomoditian manusia. Dengan bantuan teknologi yang maju pesat, kekuatan dominan telah menjadikan mayoritas masyarakat sebagai komoditi yang lemah dari konsumen yang pasif. Mayoritas perempuan karena kondisi dan kapasitasnya yang cenderung lebih tertinggal dari laki-laki dalam banyak faktor penting, telah menjadi pihak yang paling rentan dalam komoditi, sebagai contohnya fenomena tenaga kerja wanita, buruh perempuan di sekitar industri, di sektor domestik (pembantu rumah tangga) dan sebagainya termasuk juga para pekerja seks di industri pariwisata.
Dalam situasi dimana perempuan kurang mendapatkan bahkan tidak memperoleh manfaat, akses dan kontrol dalam pembangunan di segala bidang, tampaknya masih banyak program intervensi dan aksi serta kebijakan yang mestinya dikaji ulang guna meningkatkan strategi kepedulian terhadap perempuan. Ada beberapa agenda yang perlu dicanangkan yaitu gerakan gender transformatif untuk mengembangkan proses perubahan yang mendasar dari hubungan timbal balik antara perempuan dan laki-laki yang lebih baik.
Pertama, gerakan anti hegemoni (counter hegemonic movemen) bagi perempuan yang memfokuskan pada dekontruksi ideologi perempuan dan hubungannya terhadap hegemoni pembangunan. Perempuan dalam pembangunan sebagai konstruksi ideologi dari developmentalisme telah menciptakan nuansa menjadikan perempuan “akrab” terhadap exploiter. Gerakan anti hegemoni ini bagi perempuan akan menjadi media untuk tranformasi. Bentuk dan gerakan ini bisa berupa critical education atau feminist participatory research atau kegiatan apa saja yang akan membantu perempuan untuk memahami pengalaman mereka dan menolak ideologi dan norma yang dipaksakan kepada mereka. 
Adapun tujuan dari upaya ini adalah membangkitkan gender critical consiousness yaitu menyadari ideologi hegemoni dominan dan kaitannya dengan penindasan gender. Oleh karena itu, tugas utama untuk visi dan pandangan yang berakar pada sistem kepercayaan lelaki. Melalui pendidikan kritis dan feminist research gagasan dan nilai baru akan lahir yang akan menjadi dasar bagi women tranformation (Fakih, 1998: 56). Yang kedua adalah gerakan counter discourse. Dimana paradigma dominan perempuan dalam pembangunan meletakkan perempuan sebagai object, yakni diidentifikasi, diukur, diprogramkan, oleh kaum laki-laki dari kelas dominan. Perempuan dalam pembangunan acapkali menempatkan perempuan semata-mata sebagai objek untuk mengembangkan pengetahuan mereka. Perjuangan perempuan melalui counter – discourse adalah senantiasa mempertanyakan dominasi elit yang menggunakan pengetahuan dan discourse “under development” bagi perempuan berdasar pada hegemoni kapitalis dari modernisasi yang seringkali “bias laki-laki”.
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja tanpa memandang dari golongan mana ia berada. Selain itu masyarakat memiliki andil dalam melanggengkan kekerasan sebab dalam masyarakat baik itu secara kelompok maupun perorangan sering menempatkan laki-laki sebagai pihak yang superior. Sebagai konsekuensinya terjadi deskriminasi yang diterima begitu saja sebagai suatu yang akhirnya menjadi konsep diri kaum perempuan. Hal ini adanya pandangan bahwa perempuan merupakan makhluk domestik, peran utamanya ada dalam keluarga sebagai pengurus rumah tangga, pemelihara anak dan pemenuh kebutuhan seksual suami.
Kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap manusia. Karenanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai sutau bentuk kejahatan, kekerasan di atas tentang rumusan-rumusan aturan perundangan tindak pidana sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II KUHAP. Kekerasan dilakukan terhadap konsep menurut KUHAP dapat dikategorikan sebagai penganiayaan. Hal ini berarti suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan timbulnya perasaan sakit, serta mengganggu kesehatan jasmaniah/fisik dan sebagainya. Bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2004 dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 5     : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: (a) kekerasan phisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; dan (d) penelantaraan rumah tangga.
Pasal 6     : Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Pasal 7     : Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8     :  Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Pasal 9     : Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran yang dimaksud juga berlaku bagi setiap orang tersebut.
Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi pada produk masyarakat patriarkhal, dimana kaum laki-laki mendominasi perempuan. Didalam susunan masyarakat patriarkhal laki-laki berhak mengatur institusi sosial dan tubuh dan menentukan segala sesuatunya, sedangkan perempuan hanya berkedudukan dibawah mereka.
Patriarki adalah suatu sistem yang berdasarkan kekuasaan laki-laki, sistem yang mengejawentahkan melalui institusi-institusi sosial, politik dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan merupakan wujud ketimpangan historis hubungan-hubungan kekuasaan diantara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan deskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. Tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan secara tidak langsung didukung oleh sistem budaya, sistem hukum, media pendidikan dan negara dengan menempatkan perempuan sebagai makhluk yang haknya lebih rendah dari kaum laki-laki.
Selanjutnya apabila dirujuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 23 tahun 2004 upaya perlindungan perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga telah ditetapkan sebagai berikut. Pada pasal 10 UU No 23 Tahun 2004 ditetapkan Hak-Hak korban tindak kekerasan terhadap perempuan antara lain korban berhak mandapat: (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan dengan ketentuan perundang-undangan, (e) pelayanan bimbingan rohani. 
Selanjutnya tentang perlindungan yang diberikan pada korban tindak kekerasan terhadap perempuan telah ditetapkan pada pasal 17 sebagai berikut: “dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban”.
2.2.  Perlindungan Hak Perempuan terhadap Tindakan Kekerasan
Beberapa tuntutan yang penting dihasilkan dari tribunal yang disampaikan dalam sidang pleno PBB meliputi: pengakuan hak asasi konsep tentang HAM; pengakuan tindak kekerasan domestik sebagai pelanggaran HAM; memperkokoh CEDAW (Convention of the Elimination of all forms of Descrimination Against Women) melalui ratifikasi universal dan implementasi. Selain itu juga mengembangkan pelaporan khusus tentang hak-hak perempuan; pembentukan pengadilan internasional untuk melindungi perempuan dari pelanggaran seksual, kehamilan terpaksa akibat perkosaan dan sebagainya.
Ketidakadilan yang dialami kaum perempuan sebenarnya merupakan fenomena yang tidak kelihatan yang pada gilirannya akan mendorong mereka untuk memproklamasikan serangkaian hak-hak perempuan sebagai pelindung dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan degradasi yang tidak kelihatan tersebut.
Dengan menyuarakan aspirasi perempuan tentang HAM pada dasarnya kaum perempuan membawa ke garis terdepan nilai-nilai dan dituntut akan keadilan yang bukan eksklusif perempuan, tetapi demi kelangsungan hidup manusia keseluruhan. Dalam deklarasi posisi hak-hak perempuan terkonsepsi dalam dikotomi antara lingkup kehidupan privat, dimana pelanggaran HAM hanya diakui dan terjadi pada lingkup kehidupan publik saja dan dimana pelanggaran yang diakui hanyalah yang dilakukan negara atas individu saja. Padahal hak atas kebebasan pribadi adalah hak dasar untuk semua orang, karena itu tidak boleh dilanggar, baik oleh negara, kelompok maupun individu. Akibat hubungan yang dikotomi itu, kekerasan terhadap konsep seperti bentuk-bentuk kekerasan seksual, perzinaan, perkosaan, perdagangan terhadap perempuan dan lainnya masih dipersepsikan sebagai isu domestik, sebuah masalah pribadi, bukan masalah HAM.
Secara ideal hak asasi tidak memiliki gender, akan tetapi secara universal perempuan tidak menikmati dan mempraktikkan hak asasi dan kebebasan dasar sepenuhnya, atas dasar yang sama seperti laki-laki, padahal semua HAM menjamin non deskriminasi dan persamaan seks. Apabila dihubungkan dengan deklarasi dari Universal Declaration of Human Rights yang jauh lebih luas dan ideal, maka penyempitan interpretasi yang terjadi menunjukkan adanya indikasi manipulasi, kesengajaan atau tidak (oleh laki-laki) sehingga HAM yang banyak menyangkut hak ekonomi dan sosial terabaikan. Meski hubungan gender berada dalam ruang lingkup privat (pribadi) dalam kenyataan negara semakin berperan mengatur kehidupan pribadi melalui jaminan sosial, peraturan perundangan tentang perburuhan, perundangan tenaga kerja yang non deskriminasi dan sebagainya. Dengan demikian jelas, aspirasi dan kepentingan perempuan harus menjadi perspektif dalam mendefinisikan kembali HAM yang tidak dapat dipungkiri masih bias gender.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 (ayat 2) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan yang layak. Hal ini merupakan perwujudan dari kewajiban pemerintah untuk memberikan bentuk perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan mendapat perlindungan yang sama seperti wakti kerja, waktu istirahat, upah, syarat-syarat kerja, kesehatan dan keselamatan kerja. Khusus tenaga kerja perempuan perlu diberi perhatian dan perlindungan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Dengan lajunya persentase angkatan kerja perempuan yang dari tahun ke tahun terus tinggi maka bagaimana mengupayakan potensi perempuan Indonesia yang demikian besar secara kuantitatif dapat dibina, diarahkan menjadi kualitatif dan ditransformasikan secara aktual sehingga peran sertanya sebagai elemen pendukung dalam pembangunan nasional tanpa meninggalkan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai perempuan.
Bagi perempuan untuk menjamin agar dalam melakukan berbagai fungsi kodrati, tidak memberi dampak yang merugikan dalam hubungannya dengan pekerjaan maka berbagai perlindungan telah dikeluarkan. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa fungsi reproduksi pada perempuan merupakan fungsi sosial yang akan memberi warna pada kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Norma perlindungan tenaga kerja perempuan yang ada sampai saat ini secara subtantif mencakup lingkup yang cukup luas seperti pembatasan kerja pada waktu-waktu tertentu, pada jenis pekerjaan tertentu, berbagai cuti karena berperannya fungsi reproduksi, kemudahan dan fasilitas bagi tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi tersebut dan sebagainya.
Apabila dikaji lebih jauh dan seksama bahwa perlindungan ini mempunyai tujuan untuk menjaga agar tenaga kerja perempuan dapat hidup layak sebagai manusia serta membuat kerja lebih manusiawi. Perlindungan-perlindungan tersebut terutama telah ditetapkan bagi tenaga kerja perempuan pada sektor formal. Salah satu kelemahan angkatan kerja perempuan di Indonesia adalah pendidikan yang relatif masih rendah yaitu 83,3% berpendidikan SD ke bawah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan tersebut sebagian besar angkatan kerja perempuan bekerja pada lapangan pekerjaan yang bersifat padat karya dan produktivitasnya rendah, yang selanjutnya juga berakibat tingkat pendapatan rendah. Kenyataan ini banyak kita jumpai di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor informal seperti sektor industri tradisional seperti usaha pembuatan kerajinan tenun, garmen dan sebagainya. Biasanya kegiatan ini dilakukan di rumah atau sistem kerja rumah. Perempuan pekerja di rumah baik yang bekerja mandiri, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bekerja dengan sistem putting out atau membawa pekerjaan dari pabrik ke rumah untuk dikerjakan di rumah, kesemuanya itu perlu mendapat perlindungan. Kendatipun begitu bagi tenaga kerja perempuan di sektor informal perlu mendapatkan perlindungan sosial, seperti antara lain dalam bentuk: (a) partisipasi perempuan dalam segala segi pembangunan sebagai pengambilan keputusan, pelaku dan pemanfaat, (b) persamaan kesempatan memperoleh akses terhadap berbagai sumber, (c) persamaan kesempatan menguasai sumber-sumber, dan (d) kemitrasejajaran perempuan dan pria dalam pembangunan bangsa (Gender Internasional Development) (Suwarno, 1998: 20).
            Peraturan perundang-undangan dalam ketenagakerjaan yang ada memang belum menjangkau jenis-jenis pekerjaan yang bersifat informal. Akibatnya para pekerja perempuan yang bekerja di sektor informal belum mendapat perlindungan seperti halnya yang bekerja di sektor formal. Selanjutnya apabila dirujuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang no 23 tahun 2004 upaya perlindungan perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga telah ditetapkan sebagai berikut:
Pada pasal 10 UU No 23 Tahun 2004 ditetapkan hak-hak korban tindak kekerasan terhadap perempuan antara lain korban berhak mendapat: (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan koraban, (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan dengan ketentuan perundang-undangan, (d) pelayanan bimbingan rohani. Selanjutnya tentang perlindungan yang diberikan pada korban tindak kekerasan terhadap perempuan telah ditetapkan pada pasal 17 sebagai berikut: “ Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban”.
Pada pasal 18 ditetapkan sebagai berikut: “Kepolisian wajib memberikan keterangan korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan”. Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus: (a) melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi perempuan korban tindak kekerasan, (b) memberikan informasi hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (c) mengantar korban ke rumah yang aman atau tempat tinggal alternatif.
Sedangkan pada pasal 20 dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan terhadap pembantu rumah tangga adalah merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, oleh sebab itu kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Pasal 27, ditetapkan bahwa dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 29 metapkan bahwa untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh (a) korban atau keluarga korban, (b) teman korban, (c) kepolisian, (d) relawan pendamping, dan (e) pembimbing rohani.
Ketentuan pidana pada setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga termasuk di dalam lingkup rumah tangga adalah pembantu rumah tangga telah diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 pada pasal 44; pasal 45; pasal 46; pasal 47; pasal 48; pasal 49; pasal 50; pasal 51; pasal 52 dan pasal 53.
Dalam semua bidang, perempuan tidak otonom. Secara universal dalam hubungannya dengan negara, perempuan dibedakan dengan laki-laki, yang pada saat yang sama mendapatkan otoritas atas wanita dari negara atau komunitas politik tradisional (Ashworth, 1993: 24). Meskipun hubungan gender berada dalam ruang lingkup “pribadi” (private) dalam kenyataan bangsa semakin berperan mengatur kehidupan pribadi melalui perpajakan jaminan sosial, peraturan perburuhan disamping undang-undang perkawinan dan keluarga (Ashworth, 1993: 26). Dalam keluarga dan kebayakan masyarakat, perempuan tidak mempunyai identitas yang legal dari suami (praktis memakai nama suami). Dengan demikian perkawinan tidak merupakan kemitraan yang sejajar.
Pelanggaran terhadap kebebasan bergerak (mobilitas) perempuan, hak bebas dari rasa takut, dan berbagai kejahatan serta kekerasan pada perempuan terjadi pada skala yang lebih besar. Ada ketidakcocokan yang nyata antara kerangka hukum dan kenyataan sehari-hari yang menjadi kekersan terhadap perempuan sering dianggap sebagai suatu masalah domestik, bersifat pribadi, jadi boleh diabaikan secara hukum. Padahal dari dulu sampai sekarang diskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan masih mengambil bentuk penganiayaan seksual dan pelecehan, pemukulan isteri, penyanderaan anak perempuan, prostitusi paksaan, penjualan perempuan oleh keluarga-keluarga miskin, perlakuan tidak adil terhadap perempuan dan sebagainya. Belum lagi peran ganda perempuan, tidak ada perempuan yang dibayar untuk melakukan pekerjaan domestik, padahal pekerjaan ini esensial demi keberlangsungan hidup keluarga. Bagi perempuan miskin yang bekerja untuk upah yang begitu rendah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah pula, ini jelas merupakan baban yang bertumpang tindih.
Eksistensi pelanggaran hak asasi perempuan sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas menuntut untuk mengkaji kembali dan mengidentifikasi hukum yang ada, untuk mengetahui hukum mana yang sesuai dengan rasa keadilan dan hak asasi perempuan dan hukum mana yang tidak sesuai. Kebijakan hukum formal secara umum telah memuat suatu dukungan yang kuat terhadap pengakuan mengenai non-diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan dalam kedudukannya didepan hukum dan dalam pergaulannya di masyarakat. Secara tegas telah ditetapkan perempuan dalam PBB yang telah diratifikasi oleh negara dan telah menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Apabila memperhatikan isi dan berbagai peraturan hukum formal seperti yang telah disebutkan tersebut di atas, dapatlah diakui bahwa secara formal aturan-aturannya memang mendukung prinsip emansipasi (non-diskriminasi). Akan tetapi bila kita memperhatikan dunia persamaan tidaklah terwujud. Disamping lemahnya penegakan hukum (enforcement of law), hubungan-hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi dan hubungan lainnya masih banyak yang diatur oleh kebiasaan-kebiasaan setempat, adat yang tradisional atau ditentukan oleh mereka yang dalam hubungan tertentu yang lebih besar kekuasaannya. Oleh sebab itulah pada tataran implementasinya sulit dibantah adanya banyak masalah, baik ditingkat kelembagaan maupun individu. Permasalahannya terutama adalah lemahnya kontrol atas pelaksanaan semua peraturan perundangan tersebut. Karena yang dibutuhkan sebenarnya tidak sekedar perlindungan sosial dan hukum tetapi juga perlindungan-perlindungan yang bersifat ekonomi.







Bab III. Metode Penelitian
        Sesuai dengan rumusan masalah yang akan dipecahkan pada penelitian ini, maka desain penelitian dirancang dilakukan secara deskriptif kualitatif dan survey untuk mengidentifikasi kasus-kasus yang terjadi dan menimpa perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian deskriptif kualitatif dan survey dilakukan untuk mengetahui: bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Secara ringkas desain penelitian yang dilaksanakan digambarkan dalam gambar 2.






















·      Bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga
·      Faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga
·      Bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan
·      Bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
 
 


Tahap I
Penelitian Eksplorasi
 
           
      
          
      

Gambar 1: Keseluruhan Tahapan Penelitian
 
 























3.1     Penelitian Tahun Pertama (Tahun 2014, Eksplorasi dan Pengembangan)
3.1.1     Tahap Eksplorasi
Masalah yang akan dicari jawabannya dalam penelitian pada tahun pertama adalah: (1) bagaimana bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) bagaimana faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) bagaimana bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bagaimana bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Untuk menjawab masalah tersebut, penelitian mengutamakan rancangan penelitian sebagai berikut:
(1)     Rancangan penelitian
Penelitian pada tahap pertama ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif-kualitatif dan survey. Rancangan deskriptif dipergunakan untuk mendeskripsikan peta kasus yang muncul pada perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jawa Timur. Rancangan kualitatif dan survey dipergunakan untuk menjelaskan: bentuk tindak kekerasan yang terjadi pasa perempuan dalam rumah tangga; faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan; bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan; bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Para perempuan korban tindak kekerasan akan diberikan daftar pertanyaan termasuk orang terdekatnya (orang tuanya/Bapak atau ibunya) atau pihak tetangganya yang terdekat. Kemudian ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam.
(2)     Subyek Penelitian
Subyak penelitian tahap pertama adalah perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jawa Timur.
(3)     Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang akan diukur dalam tahap pertama penelitian ini adalah aspek yang akan diteliti meliputi: (1) bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
(4)     Instrumen
Intrumen yang digunakan dalam penelitian tahap pertama ini adalah kuisioner; lembar observasi; pedoman wawancara. Kuisioner dipergunakan untuk mengetahui: (1) bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
(5)     Analisis Data
Data dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif. Teknik analisis deskriptif dipergunakan untuk menganalisa data yang diperoleh dari kuisioner. Analisa somain untuk data yang diperoleh dari analisis observasi dan wawancara.

3.1.2     Penelitian Pengembangan
Masalah yang akan dicari jawabannya pada tahap kedua adalah bagaimana mengembangkan model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan di wilayah Jawa Timur yang bisa berterima secara teoritis maupun praktis. Bertolak dari masalah tersebut metode penelitian dirancang sebagai berikut:
(1)     Rancangan Penelitian
Penelitian tahap kedua tahun pertama dilakukan dengan rancangan penelitian pengembangan. Produknya berupa desain (prototipe) model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jawa Timur yang bisa berterima secara teoritis maupun praktis, serta mampu meningkatkan pemahamannya bagi perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga untuk membela hak-haknya.
(2)     Prosedur Penelitian
Penelitian dimulai dengan memadukan hasil penelitian tahap pertama dengan kajian teori untuk menghasilkan prototipe model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan. Prototipe model tersebut diuji oleh para ahli yang relevan, yaitu ahli hukum, ahli kebijakan publik, sosiolog, psikologi dan peneliti melalui kegiatan FGD (Forum Group Discussing). Langkah berikutnya adalah peneliti memperbaiki prototipe model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan sesuai dengan FGD. Hasilnya berupa prototipe model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan yang sudah direvisi dan berikutnya dilakukan uji lapangan terbatas dengan menggunakan metode eksperimen di salah satu kabupaten di Jawa Timur yang dijadikan sampel penelitian. Hasil akhir dari penelitian tahap dua ini adalah model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan yang sudah berterima secara teoritis maupun praktis. 
(3)     Subyek
Subyek  penelitian dalam tahap dua ini adalah subyek ahli. Subyek ahli terdiri dari ahli hukum, ahli kebijakan publik, sosiolog, psikologi dan peneliti. Subyek ahli ditetapkan berdasarkan pertimbangan tingkat kepakarannya yang tercermin pada tingkat pendidikan paling rendah strata 2 (Magister) dengan pengalaman penelitian di bidang gender. Jumlah keseluruhan subyek ahli adalah 20 orang (masing-masing keahlian 5 orang).
(4)     Instrumen
Uji ahli dilakukan dengan instrumen kuisioner. Data yang dikumpulkan dengan kuisioner ini menyangkut keberterimaan model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan dari segi teoritis, khususnya pada aspek kebenaran prinsip yang dijadikan asumsi, konsistensi prosedur perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya, ketepatan model perlindungan dan prediksi mengenai efek perlindungan hak-hak bagi korban tindak kekerasan.
Observasi dan wawancara dilakukan pada saat pelaksanaan penelitian. Pada saat ini terjadi kolaborasi antara para pakar dan peneliti dalam merefleksi model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan di wilayah Jawa Timur.
(5)     Variabel
Variabel penelitian pada tahap dua ini adalah: (1) komponen model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan; (2) prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan; (3) efek dari pengembangn model perlindungan hak bagi perempuan dapat meningkatnya pengetahuan dan pemahaman bagi perempuan korban tindak kekerasan untuk membela diri.
(6)     Analisis Data
Data dianalisa dengan teknik analisis domain. Produk peneliltian yaitu model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan, yang dianalisis dengan menggunakan komponen atau domain model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan yang diakuki oleh para ahli hukum, kebijakan publik, sosiolog dan psikolog. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan teknik analisis taksonomi. Teknik analisis statistik deskriptif (rerata, mode dan persentase) untuk yangn diambil dengan kuisioner. Analisis domain untuk data yang diambil dengan observasi dan wawancara.
(7)     Luaran Penelitian
Luaran penelitian ini dalam bentuk model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Model perlindungan hak bagi perempuan berisi: (1) prosedur menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh perempuan korban tindak kekerasan, (2) prosedur melapor pada pihak lain (pihak kepolisian atau pihak berwajib); pada RT atau aparat warga setempat, (3) cara-cara membela diri sebagai perempuan yang memiliki hak yang harus dilindungi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar