Ringkasan
Tuntutan yang sangat mendesak dalam
upaya membantu pemecahan masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga adalah kemampuan untuk melindungi diri dari tindak kekerasan dalam
rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
secara kuantitatif mengalami peningkatan yang signifikan, dan disertai dengan
peningkatan intensitas dan kualitasnya.
Berkaitan dengan itu diperlukan
upaya-upaya konkrit untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam melindungi
diri terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk pengembangan
model perlindungan hak perempuan dari tindak kekerasan.
Realitas di lapangan pada umumnya
perempuan yang mengalami tindak kekerasan tidak ada keberanian untuk melapor.
Permasalahan yang banyak dialami oleh perempuan korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga banyak yang diam, disembunyikan, tidak mau diketahui oleh umum,
perempuan korban tindak kekerasan yang dialaminya berpendapat merupakan aib urusan
rumah tangga, sehingga lebih banyak diam tidak tertangani, bahkan merasa malu
apabila diketahui oleh tetangganya sendiri apalagi sampai melapor pada pihak
lain.
Dalam jangka pendek, penelitian ini akan
berupaya memberikan pemahaman tentang perlindungan hak-hak perempuan yang
mengalami tindak kekerasan, pengetahuan tentang cara memecahkan masalah yang
dialami oleh perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga
sesuai keadilan gender, mampu menghormati harkat dan martabat sebagai perempuan
dan tidak diperlakukan secara diskriminatif. Secara khusus, penelitian ini akan
menghasilkan model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga.
Tujuan penelitian ini adalah (1)
mendeskripsikan bentuk tindakan kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam
rumah tangga, (2) mendeskripsikan faktor penyebab perempuan mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangga, (3) mendeskripsikan bentuk hak-hak perempuan yang
mengalami tindak kekerasan, (4) mendeskripsikan bentuk perlindungan hak perempuan
yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (5) membuat model
perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian ini dirancang untuk jangka
waktu 2 tahun. Pada tahun pertama rancangan penelitian menggunakan deskriptif
kualitatif dan survey. Deskripsi
kualitatif bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk kekerasan yang terjadi pada
perempuan dalam rumah tangga; bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak
kekerasan serta bagaimana bentuk perlindungan hak perempuan korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Tahun kedua menggunakan rancangan penelitian research and development, bertujuan
untuk mengembangkan model perlindungan hak bagi perempuan yang mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangga.
Bab
I. Pendahuluan
1.1.
Latar belakang
Fenomena kekerasan
terhadap perempuan dewasa ini tidak semakin mereda bahkan kuantitatif mengalami
peningkatan signifikan dan disertai pula dengan meningkatkan intensitas dan
kualitas kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat. Sejumlah
kasus-kasus kekerasan berbasis gender ini telah bermunculan di sejumlah media
elektronik maupun cetak yang setiap saat selalu bermunculan. Kasus kekerasan
terhadap perempuan sulit untuk dihitung karena terus menerus bertambah. Data
yang ditemukan sangat parsial (terpisah-pisah) dan memiliki versi yang
berbeda-beda. Sebagai gambaran yang telah dilakukan salah satu Lembaga Mitra
Perempuan di Jakarta sebagi hasil pendampingan, setiap tahunnya kekerasan
terhadap perempuan mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2002 sebanyak 258
kasus, tahun 2003 sebanyak 226 kasus, tahun 2004 sebanyak 272 kasus, tahun 2005
sebanyak 329 kasus dan tahun 2006 sebanyak 455 kasus. Sedangkan relasi pelaku
korban dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Relasi
Pelaku – Korban Kekerasan terhadap Perempuan
No.
|
Pelaku
|
Korban KDRT
|
Kekerasan
Publik
|
1.
|
Suami
|
77,36%
|
|
2.
|
Mantan
Suami
|
3,08%
|
|
3.
|
Ortu/Saudara/Anak
|
6,15%
|
|
4.
|
Majikan
|
0,22%
|
|
5.
|
Pacar/teman
dekat
|
|
9,01%
|
6.
|
Tetangga
|
|
1,54%
|
7.
|
Lain-lain
|
|
2,64%
|
Jumlah
|
86,81%
|
13,19%
|
Sumber:
Mufidah, dkk, 2008 : 26
Berikut gambaran data kekerasan di Jawa
Timur dapat dijelaskan sebagai berikut:
- 249
kasus perkosaan yang terekam dalam media surat kabar sepanjang tahun 2006
(peningkatan 50,25% dari tahun 2005). Jumlah korban 417 dengan 350 pelaku.
Artinya rata-rata setiap bulan terjadi 35 kasus atau setiap 20 jam sekali jatuh
korban dan 55% korban adalah anak-anak perempuan (usia dibawah 18 tahun),
sebagian besar (88%) berstatus siswi, 13,71% merupakan hubungan darah (incest), 76,57% pelaku adalah orang
sangat dekat dan atau dikenal baik oleh korban. Modusnya dengan kekerasan
ancaman, penipuan, bujuk rayu atau dibuat mabuk terlebih dahulu.
Terjadi 76 kasus kekerasan terhadap
istri (meningkat 47% dari tahun 2006 jika dibandingkan kasus di tahun 2005).
(Sumber: Kompas, 26 Oktober 2009).
Sedangkan menurut data Komisi E
(Kesra) DPRD Jatim anak-anak perempuan terlibat kasus-kasus sosial selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Mulai kasus anak perempuan yang dipekerjakan
hingga trafficking atau penjualan
anak dibawah umur. Untuk kasus traffickingnya
300%. Data yang dirilis oleh Komisi E atas masukan Koalisi Perempuan Indonesia
(KPI) Jawa Timur dijelaskan bahwa pada tahun 2009 terdapat 415.577 kasus anak
perempuan dibawah umur untuk dipekerjakan. Selain itu ada 28.892 kasus trafficking dan 18.360 kasus anak-anak
perempuan yang dilacurkan dan anak-anak tersebut berusia dibawah 16 tahun
(sumber Jawa Pos, 24 Maret 2009, kolom 5 hal 7).
Kasus
trafficking dan pelacuran anak
disebabkan rendahnya perekonomian keluarga disamping karena rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat, keterbelakangan dan kemiskinan membuat perdagangan
manuasi di Indonesia makin marak. Praktik kejahatan dan pelanggaran HAM yang
banyak menimpa perempuan melahirkan bentuk perbudakan modern hingga eksploitasi
seksual komersial anak (ESKA).
Fakta
kekerasan terhadap perempuan terjadi pada semua tingkat ekonomi, pendidikan dan
status sosial lainnya. Kekerasan yang menimpa perempuan akan menimbulkan
bermacam persoalan psikologis, keadilan hukum dan pengabaian hak-hak
kemanusiaan. Mereka dilingkupi rasa takut, trauma yang berkepanjangan, bisu
dalam penderitaan yang ditanggung sendiri, sementara yang lain menyeruak penuh
eforia demokrasi. Ironisnya mereka juga luput dari pengamatan bahkan dianggap
ikhlas menerima tindak kekerasan tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, penelitian ini dirancang untuk jangka waktu 2 tahun.
Tahun pertama, masalah dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga.
2. Bagaimanakah
faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
3. Bagaimanakah
bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
4. Bagaimanakah
bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah
tangga.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan Tahun
Pertama
1. Mendeskripsikan bentuk tindak
kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga.
2. Mendeskripsikan
faktor penyebab perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
3. Mendeskripsikan
bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
4. Mendeskripsikan bentuk
perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Tujuan Tahun
Kedua:
Menyusun
model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
1.4.
Manfaat dan Urgensi
1. Pada realitas yang ada setiap
kasus kekerasan yang menimpa perempuan dalam rumah tangga belum pernah diselesaikan
secara tuntas.
2. Perempuan
korban tindak kekerasan belum banyak mengetahui bagaimana caranya memecahkan masalah yang dialaminya
karena perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah
tanggga lebih banyak diam, dan merasa malu apabila masalhnya diketahui oleh masyarakat sekitar (tetangganya).
3. Perempuan
korban tindak kekerasan belum banyak memahami tentang bagaimana perlindungan hak-haknya sebagai perempuan
yang mengalami tindak kekerasan.
4. Memberikan
terobosan baru model perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga.
5. Kegiatan
penelitian ini memberikan kontribusi didalam pemecahan masalah pembangunan
terutama dalam bentuk perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga. Sehingga masing-masing pihak yang terdapat dalam lingkup rumah
tangga dapat lebih efektif dalam menjalankan perannya dalam keluarga.
6. Manfaat
penelitian ini juga didasari pada temuan data peneliti (tahun 2008) tentang
kekerasan perempuan dalam rumha tangga bahwa banyak perempuan yang mengalami
tindak kekerasan. Pada umumnya perempuan korban kekerasan tidak ada keberanian
untuk melapor, perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak yang
diam, masalah yang dialaminya disembunyikan tidak mau diketahui oleh umum.
Sehinga perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga beranggapan apa yang
dialaminya itu hal biasa terjadi, dan itu merupakan aib urusan rumah tangganya
dan masalahnya tidak tertangani bahkan merasa malu apabila diketahui oleh
tetangganya apalagi sampai melapor pada pihak lain.
Pada
tahun kedua penelitian ini difokuskan pada penyusunan model perlindungan hak
perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
1.5.
Luaran
Luaran yang direncanakan dalam jangka
waktu 2 tahun sebagai berikut.
Tahun
Pertama
1. Deskripsi
bentuk tindak kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga.
2. Deskripsi
faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan.
3. Deskripsi
bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
4. Prototipe
bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
Tahun Kedua
Tahun Kedua
1. Menyusun
model perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan.
2. Artikel
ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal nasional dan internasional.
Bab.
II Tinjauan Pustaka
2.1. Kekerasan Terhadap Perempuan
Pada tahun 1993, Sidang
umum PBB mangadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap perempuan yang
dirumuskan pada tahun 1992 oleh komisi status wanita PBB. Pada pasal 1,
dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup: “Setiap perbuatan
kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan kerugian atau
penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual atau psikis, termasuk
ancaman perbuatan tersebut paksaan atau perampasan kemerdekaan sewenang-wenang,
baik yang terjadi dalam kehidupan publik maupun privat (Tjandraningsih, 1997:
253)”.
Selanjutnya dalam
konferensi ke IV tentang perempuan di Beijing 1995 ditegaskan bahwa kata
kekerasan terhadap perempuan berarti: “setiap tindakan kekerasan berdasarkan
gender menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik,
seksual dan psikologis terhadap wanita termasuk ancaman untuk melakukan
tindakan tersebut, pemaksaan dari perampasan kebebasan, baik yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat atau pribadi”.
Berdsarkan definisi
tersebut di atas secara tegas menunjukkan akar dari kekerasan pada hubungan
gender. Pendapat Faqih (1997:40) menyebutkan bahwa kekerasan yang disebabkan
oleh hubungan gender sebagai Gender –
Related Violence (kekerasan yang berhubungan dengan jenis kelamin) atau kekerasan yang disebabkan oleh
bias gender. Sedangkan menurut Undang-undang no 23 tahun 2004 yang disebut
kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan terhadap perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum.
Berbagai kebijakan
intervensi dari program aksi, baik itu secara global maupun nasional telah
banyak dilakukan guna perbaikan status dari martabat perempuan dari tidak
sejajar menjadi sejajar, namun hasilnya masih belum banyak merubah keadaan.
Secara global sebagaimana terungkap dalam World
Conference of Human Rights, Juni 1993 di Wina Austria, bahwa kondisi hak
asasi perempuan masih memprihatinkan bahkan tidak diakui keberadaannya, seperti
kekerasan seksual, pelecehan, perendahan, subordinasi, eksploitasi, tindakan
kekerasan, pemanfaatan tubuh fisik perempuan secara komersial bahkan perbudakan
seksual, disamping kehilangan hak-hak sosial, ekonomi dan politik.
Keadaan di Indonesia
banyak dijumpai hal serupa bahwa pelecehan terhadap perempuan dalam segala
bidang, baik pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan maupun pada
tingkat yang paling esensial yaitu kehilangan akses sosial ekonomi dan politik
(Yusron dalam Kompas, 4 Mei 2010). Mengapa “eksploitasi” ini bisa berlangsung
lama tanpa disadari bahkan seringkali diterima oleh sang korban dengan senang
hati? Meskipun persoalan ini sampai sekarang belum bisa terjawab dengan
memuaskan, tampaknya kita perlu mengkaji dari pendekatan kultural dan struktur yang
melingkupi hubungan sosial yang selama ini berlangsung.
Erat kaitannya dengan
hal tersebut ada argumen yang mucul dalam menjelaskan ini. Argumen yang
dikemukakan Amrita Chachi dan Gender in Carrabean Development (dalam Syafaat,
1998: 3), karena inherennya struktur hubungan gender yang bersifat asimetris
didalam diri perempuan, sebagai hasil bekerjanya sistem nilai yang patriarki,
yaitu sistem struktural (dari dominasi baik terhadap produksi biologis, kontrak
terhadap kerja, idiologi maupun pada hubungan sosial dari gender). Hubungan
asimetris ini “memendar” kedalam segala aspek kehidupan perempauan yang
menyebabkan ia tersubordinat sekaligus terlemahkan.
Dalam masyarakat
Indonesia yang saat ini sedang mengalami satu proses perubahan yang sangat
cepat menuju masyarakat industri telah banyak perubahan dalam struktur
masyarakatnya. Kecenderungan utama satu masyarakat industri adalah komoditasi
termasuk pengkomoditian manusia. Dengan bantuan teknologi yang maju pesat,
kekuatan dominan telah menjadikan mayoritas masyarakat sebagai komoditi yang
lemah dari konsumen yang pasif. Mayoritas perempuan karena kondisi dan
kapasitasnya yang cenderung lebih tertinggal dari laki-laki dalam banyak faktor
penting, telah menjadi pihak yang paling rentan dalam komoditi, sebagai
contohnya fenomena tenaga kerja wanita, buruh perempuan di sekitar industri, di
sektor domestik (pembantu rumah tangga) dan sebagainya termasuk juga para
pekerja seks di industri pariwisata.
Dalam situasi dimana
perempuan kurang mendapatkan bahkan tidak memperoleh manfaat, akses dan kontrol
dalam pembangunan di segala bidang, tampaknya masih banyak program intervensi
dan aksi serta kebijakan yang mestinya dikaji ulang guna meningkatkan strategi
kepedulian
terhadap perempuan. Ada beberapa agenda yang perlu dicanangkan yaitu gerakan
gender transformatif untuk mengembangkan proses perubahan yang mendasar dari
hubungan timbal balik antara perempuan dan laki-laki yang lebih baik.
Pertama, gerakan anti
hegemoni (counter hegemonic movemen)
bagi perempuan yang memfokuskan pada dekontruksi ideologi perempuan dan
hubungannya terhadap hegemoni pembangunan. Perempuan dalam pembangunan sebagai
konstruksi ideologi dari developmentalisme telah menciptakan nuansa menjadikan
perempuan “akrab” terhadap exploiter. Gerakan anti hegemoni ini bagi perempuan
akan menjadi media untuk tranformasi. Bentuk dan gerakan ini bisa berupa critical education
atau feminist participatory research
atau kegiatan apa saja yang akan membantu perempuan untuk memahami pengalaman
mereka dan menolak ideologi dan norma yang dipaksakan kepada mereka.
Adapun tujuan dari
upaya ini adalah membangkitkan gender critical
consiousness yaitu menyadari ideologi hegemoni dominan dan kaitannya dengan
penindasan gender. Oleh karena itu, tugas utama untuk visi dan pandangan yang
berakar pada sistem kepercayaan lelaki. Melalui pendidikan kritis dan feminist research gagasan dan nilai baru
akan lahir yang akan menjadi dasar bagi women
tranformation (Fakih, 1998: 56). Yang kedua adalah gerakan counter discourse. Dimana paradigma dominan perempuan dalam
pembangunan meletakkan perempuan sebagai object,
yakni diidentifikasi, diukur, diprogramkan, oleh kaum laki-laki dari kelas
dominan. Perempuan dalam pembangunan acapkali menempatkan perempuan semata-mata
sebagai objek untuk mengembangkan pengetahuan mereka. Perjuangan perempuan
melalui counter – discourse adalah
senantiasa mempertanyakan dominasi elit yang menggunakan pengetahuan dan discourse “under development” bagi
perempuan berdasar pada hegemoni kapitalis dari modernisasi yang seringkali
“bias laki-laki”.
Kekerasan terhadap
perempuan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja tanpa memandang dari
golongan mana ia berada. Selain itu masyarakat memiliki andil dalam
melanggengkan kekerasan sebab dalam masyarakat baik itu secara kelompok maupun
perorangan sering menempatkan laki-laki sebagai pihak yang superior. Sebagai konsekuensinya
terjadi deskriminasi yang diterima begitu saja sebagai suatu yang akhirnya
menjadi konsep diri kaum perempuan. Hal ini adanya pandangan bahwa perempuan
merupakan makhluk domestik, peran utamanya ada dalam keluarga sebagai pengurus
rumah tangga, pemelihara anak dan pemenuh kebutuhan seksual suami.
Kekerasan merupakan
salah satu bentuk kejahatan terhadap manusia. Karenanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Sebagai sutau bentuk kejahatan, kekerasan di atas tentang
rumusan-rumusan aturan perundangan tindak pidana sebagaimana yang telah diatur
dalam Buku II KUHAP. Kekerasan dilakukan terhadap konsep menurut KUHAP dapat
dikategorikan sebagai penganiayaan. Hal ini berarti suatu perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan timbulnya perasaan sakit, serta
mengganggu kesehatan jasmaniah/fisik dan sebagainya. Bentuk kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2004 dijelaskan
sebagai berikut:
Pasal 5 :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara: (a) kekerasan phisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; dan
(d) penelantaraan rumah tangga.
Pasal 6 :
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit,
jatuh sakit atau luka berat.
Pasal 7 :
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Pasal 8 : Kekerasan
seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau
tujuan tertentu.
Pasal 9 :
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Penelantaran yang dimaksud juga berlaku bagi setiap orang
tersebut.
Kekerasan terhadap
perempuan sering terjadi pada produk masyarakat patriarkhal, dimana kaum
laki-laki mendominasi perempuan. Didalam susunan masyarakat patriarkhal
laki-laki berhak mengatur institusi sosial dan tubuh dan menentukan segala
sesuatunya, sedangkan perempuan hanya berkedudukan dibawah mereka.
Patriarki adalah suatu
sistem yang berdasarkan
kekuasaan laki-laki, sistem yang mengejawentahkan melalui institusi-institusi
sosial, politik dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan merupakan wujud
ketimpangan historis hubungan-hubungan kekuasaan diantara laki-laki dan
perempuan yang mengakibatkan dominasi dan deskriminasi terhadap perempuan oleh
laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. Tindak kekerasan yang terjadi pada
perempuan secara tidak langsung didukung oleh sistem budaya, sistem hukum,
media pendidikan dan negara dengan menempatkan perempuan sebagai makhluk yang
haknya lebih rendah dari kaum laki-laki.
Selanjutnya apabila
dirujuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 23 tahun 2004 upaya
perlindungan perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga telah
ditetapkan sebagai berikut. Pada pasal 10 UU No 23 Tahun 2004 ditetapkan
Hak-Hak korban tindak kekerasan terhadap perempuan antara lain korban berhak
mandapat: (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (b) pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, (c) penanganan secara khusus
berkaitan dengan kerahasiaan korban, (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan dengan ketentuan perundang-undangan,
(e) pelayanan bimbingan rohani.
Selanjutnya tentang perlindungan yang
diberikan pada korban tindak kekerasan terhadap perempuan telah ditetapkan pada
pasal 17 sebagai berikut: “dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian
dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping
dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban”.
2.2. Perlindungan Hak Perempuan terhadap
Tindakan Kekerasan
Beberapa tuntutan yang
penting dihasilkan dari tribunal yang disampaikan dalam sidang pleno PBB
meliputi: pengakuan hak asasi konsep tentang HAM; pengakuan tindak kekerasan
domestik sebagai pelanggaran HAM; memperkokoh CEDAW (Convention of the Elimination of all forms of Descrimination Against
Women) melalui ratifikasi universal dan implementasi. Selain itu juga
mengembangkan pelaporan khusus tentang hak-hak perempuan; pembentukan
pengadilan internasional untuk melindungi perempuan dari pelanggaran seksual,
kehamilan terpaksa akibat perkosaan dan sebagainya.
Ketidakadilan yang dialami
kaum perempuan sebenarnya merupakan fenomena yang tidak kelihatan yang pada
gilirannya akan mendorong mereka untuk memproklamasikan serangkaian hak-hak
perempuan sebagai pelindung dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan
degradasi yang tidak kelihatan tersebut.
Dengan menyuarakan
aspirasi perempuan tentang HAM pada dasarnya kaum perempuan membawa ke garis
terdepan nilai-nilai dan dituntut akan keadilan yang bukan eksklusif perempuan, tetapi
demi kelangsungan hidup manusia keseluruhan. Dalam deklarasi posisi hak-hak
perempuan terkonsepsi dalam dikotomi antara lingkup kehidupan privat, dimana
pelanggaran HAM hanya diakui dan terjadi pada lingkup kehidupan publik saja dan
dimana pelanggaran yang diakui hanyalah yang dilakukan negara atas individu
saja. Padahal hak atas kebebasan pribadi adalah hak dasar untuk semua orang,
karena itu tidak boleh dilanggar, baik oleh negara, kelompok maupun individu.
Akibat hubungan yang dikotomi itu, kekerasan terhadap konsep seperti
bentuk-bentuk kekerasan seksual, perzinaan, perkosaan, perdagangan terhadap
perempuan dan lainnya masih dipersepsikan sebagai isu domestik, sebuah masalah
pribadi, bukan masalah HAM.
Secara ideal hak asasi tidak memiliki gender, akan tetapi secara
universal perempuan tidak menikmati dan mempraktikkan hak asasi dan kebebasan
dasar sepenuhnya, atas dasar yang sama seperti laki-laki, padahal semua HAM
menjamin non deskriminasi dan persamaan seks. Apabila dihubungkan dengan
deklarasi dari Universal Declaration of
Human Rights yang jauh lebih luas
dan ideal, maka penyempitan interpretasi yang terjadi menunjukkan adanya
indikasi manipulasi, kesengajaan atau tidak (oleh laki-laki) sehingga HAM yang
banyak menyangkut hak ekonomi dan sosial terabaikan. Meski hubungan gender
berada dalam ruang lingkup privat
(pribadi) dalam kenyataan negara semakin berperan mengatur kehidupan pribadi
melalui jaminan sosial, peraturan perundangan tentang perburuhan, perundangan
tenaga kerja yang non deskriminasi dan sebagainya. Dengan demikian jelas,
aspirasi dan kepentingan perempuan harus menjadi perspektif dalam
mendefinisikan kembali HAM yang tidak dapat dipungkiri masih bias gender.
Didalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal
27 (ayat 2) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan
yang layak. Hal ini merupakan perwujudan dari kewajiban pemerintah untuk
memberikan bentuk perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia baik laki-laki
maupun perempuan. Tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan mendapat
perlindungan yang sama seperti wakti kerja, waktu istirahat, upah,
syarat-syarat kerja, kesehatan dan keselamatan kerja. Khusus tenaga kerja
perempuan perlu diberi perhatian dan perlindungan sesuai dengan kodrat, harkat
dan martabatnya. Dengan lajunya persentase angkatan kerja perempuan yang dari
tahun ke tahun terus tinggi maka bagaimana mengupayakan potensi perempuan
Indonesia yang demikian besar secara kuantitatif dapat dibina, diarahkan
menjadi kualitatif dan ditransformasikan secara aktual sehingga peran sertanya
sebagai elemen pendukung dalam pembangunan nasional tanpa meninggalkan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai
perempuan.
Bagi perempuan untuk
menjamin agar dalam melakukan berbagai fungsi kodrati, tidak memberi dampak
yang merugikan dalam hubungannya dengan pekerjaan maka berbagai perlindungan telah
dikeluarkan. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa fungsi reproduksi pada
perempuan merupakan fungsi sosial yang akan memberi warna pada kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara. Norma perlindungan tenaga kerja perempuan yang
ada sampai saat ini secara subtantif mencakup lingkup yang cukup luas seperti
pembatasan kerja pada waktu-waktu tertentu, pada jenis pekerjaan tertentu,
berbagai cuti karena berperannya fungsi reproduksi, kemudahan dan fasilitas
bagi tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi tersebut dan sebagainya.
Apabila dikaji lebih
jauh dan seksama bahwa perlindungan ini mempunyai tujuan untuk menjaga agar
tenaga kerja perempuan dapat hidup layak sebagai manusia serta membuat kerja
lebih manusiawi. Perlindungan-perlindungan tersebut terutama telah ditetapkan
bagi tenaga kerja perempuan pada sektor formal. Salah satu kelemahan angkatan
kerja perempuan di Indonesia adalah pendidikan yang relatif masih rendah yaitu
83,3% berpendidikan SD ke bawah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan tersebut
sebagian besar angkatan kerja perempuan bekerja pada lapangan pekerjaan yang
bersifat padat karya dan produktivitasnya rendah, yang selanjutnya juga
berakibat tingkat pendapatan rendah. Kenyataan ini banyak kita jumpai di daerah
perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor informal seperti sektor industri
tradisional seperti usaha pembuatan kerajinan tenun, garmen dan sebagainya.
Biasanya kegiatan ini dilakukan di rumah atau sistem kerja rumah. Perempuan
pekerja di rumah baik yang bekerja mandiri, bekerja sebagai pembantu rumah
tangga, bekerja dengan sistem putting out
atau membawa pekerjaan dari pabrik ke rumah untuk dikerjakan di rumah,
kesemuanya itu perlu mendapat perlindungan. Kendatipun begitu bagi tenaga kerja
perempuan di sektor informal perlu mendapatkan perlindungan sosial, seperti
antara lain dalam bentuk: (a) partisipasi perempuan dalam segala segi
pembangunan sebagai pengambilan keputusan, pelaku dan pemanfaat, (b) persamaan
kesempatan memperoleh akses terhadap berbagai sumber, (c) persamaan kesempatan
menguasai sumber-sumber, dan (d) kemitrasejajaran perempuan dan pria dalam
pembangunan bangsa (Gender Internasional
Development) (Suwarno, 1998: 20).
Peraturan
perundang-undangan dalam ketenagakerjaan yang ada memang belum menjangkau
jenis-jenis pekerjaan yang bersifat informal. Akibatnya para pekerja perempuan
yang bekerja di sektor informal belum mendapat perlindungan seperti halnya yang
bekerja di sektor formal. Selanjutnya apabila dirujuk sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang no 23 tahun 2004 upaya perlindungan perempuan korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga telah ditetapkan sebagai berikut:
Pada pasal 10 UU No 23
Tahun 2004 ditetapkan hak-hak korban tindak kekerasan terhadap perempuan antara
lain korban berhak mendapat: (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (b) pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, (c) penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan koraban, (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan dengan ketentuan
perundang-undangan, (d) pelayanan bimbingan rohani. Selanjutnya tentang
perlindungan yang diberikan pada korban tindak kekerasan terhadap perempuan
telah ditetapkan pada pasal 17 sebagai berikut: “ Dalam memberikan perlindungan
sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan pekerja
sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban”.
Pada pasal 18
ditetapkan sebagai berikut: “Kepolisian wajib memberikan keterangan korban
tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan”. Dalam memberikan
pelayanan, pekerja sosial harus: (a) melakukan konseling untuk menguatkan dan
memberikan rasa aman bagi perempuan korban tindak kekerasan, (b) memberikan
informasi hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (c) mengantar korban ke rumah
yang aman atau tempat tinggal alternatif.
Sedangkan pada pasal 20
dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan terhadap
pembantu rumah tangga adalah merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan,
oleh sebab itu kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Pasal 27,
ditetapkan bahwa dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan
oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 29 metapkan
bahwa untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh (a) korban
atau keluarga korban, (b) teman korban, (c) kepolisian, (d) relawan pendamping,
dan (e) pembimbing rohani.
Ketentuan pidana pada
setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga termasuk di dalam lingkup rumah tangga adalah pembantu rumah tangga
telah diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 pada pasal 44; pasal 45; pasal 46; pasal
47; pasal 48; pasal 49; pasal 50; pasal 51; pasal 52 dan pasal 53.
Dalam semua bidang,
perempuan tidak otonom. Secara universal dalam hubungannya dengan negara,
perempuan dibedakan dengan laki-laki, yang pada saat yang sama mendapatkan
otoritas atas wanita dari negara atau komunitas politik tradisional (Ashworth,
1993: 24). Meskipun hubungan gender berada dalam ruang lingkup “pribadi” (private) dalam kenyataan bangsa semakin
berperan mengatur kehidupan pribadi melalui perpajakan jaminan sosial,
peraturan perburuhan disamping undang-undang perkawinan dan keluarga (Ashworth,
1993: 26). Dalam keluarga dan kebayakan masyarakat, perempuan tidak mempunyai
identitas yang legal dari suami (praktis memakai nama suami). Dengan demikian
perkawinan tidak merupakan kemitraan yang sejajar.
Pelanggaran terhadap kebebasan bergerak
(mobilitas) perempuan, hak bebas dari rasa takut, dan berbagai kejahatan serta
kekerasan pada perempuan terjadi pada skala yang lebih besar. Ada
ketidakcocokan yang nyata antara kerangka hukum dan kenyataan sehari-hari yang
menjadi kekersan terhadap perempuan sering dianggap sebagai suatu masalah
domestik, bersifat pribadi, jadi boleh diabaikan secara hukum. Padahal dari
dulu sampai sekarang diskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan masih
mengambil bentuk penganiayaan seksual dan pelecehan, pemukulan isteri,
penyanderaan anak perempuan, prostitusi paksaan, penjualan perempuan oleh
keluarga-keluarga miskin, perlakuan tidak adil terhadap perempuan dan
sebagainya. Belum lagi peran ganda perempuan, tidak ada perempuan yang dibayar
untuk melakukan pekerjaan domestik, padahal pekerjaan ini esensial demi
keberlangsungan hidup keluarga. Bagi perempuan miskin yang bekerja untuk upah
yang begitu rendah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah pula, ini jelas
merupakan baban yang bertumpang tindih.
Eksistensi pelanggaran
hak asasi perempuan sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas menuntut untuk
mengkaji kembali dan mengidentifikasi hukum yang ada, untuk mengetahui hukum
mana yang sesuai dengan rasa keadilan dan hak asasi perempuan dan hukum mana
yang tidak sesuai. Kebijakan hukum formal secara umum telah memuat suatu
dukungan yang kuat terhadap pengakuan mengenai non-diskriminasi terhadap
laki-laki dan perempuan dalam kedudukannya didepan hukum dan dalam pergaulannya
di masyarakat. Secara tegas telah ditetapkan perempuan dalam PBB yang telah diratifikasi oleh
negara dan telah menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Apabila memperhatikan
isi dan berbagai peraturan hukum formal seperti yang telah disebutkan tersebut
di atas, dapatlah diakui bahwa secara formal aturan-aturannya memang mendukung
prinsip emansipasi (non-diskriminasi). Akan tetapi bila kita memperhatikan
dunia persamaan tidaklah terwujud. Disamping lemahnya penegakan hukum (enforcement of law), hubungan-hubungan
sosial budaya, hubungan ekonomi dan hubungan lainnya masih banyak yang diatur
oleh kebiasaan-kebiasaan setempat, adat yang tradisional atau ditentukan oleh
mereka yang dalam hubungan tertentu yang lebih besar kekuasaannya. Oleh sebab
itulah pada tataran implementasinya sulit dibantah adanya banyak masalah, baik
ditingkat kelembagaan maupun individu. Permasalahannya terutama adalah lemahnya
kontrol atas pelaksanaan semua peraturan perundangan tersebut. Karena yang
dibutuhkan sebenarnya tidak sekedar perlindungan sosial dan hukum tetapi juga
perlindungan-perlindungan yang bersifat ekonomi.
Bab
III. Metode Penelitian
Sesuai dengan rumusan
masalah yang akan dipecahkan pada penelitian ini, maka desain penelitian
dirancang dilakukan secara deskriptif kualitatif dan survey untuk
mengidentifikasi kasus-kasus yang terjadi dan menimpa perempuan korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian deskriptif kualitatif dan survey
dilakukan untuk mengetahui: bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan
dalam rumah tangga, faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan
dalam rumah tangga, bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan,
bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Secara ringkas desain penelitian yang dilaksanakan digambarkan dalam gambar
2.
|
|
|
3.1
Penelitian
Tahun Pertama (Tahun 2014, Eksplorasi dan Pengembangan)
3.1.1
Tahap
Eksplorasi
Masalah yang akan
dicari jawabannya dalam penelitian pada tahun pertama adalah: (1) bagaimana
bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2)
bagaimana faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam
rumah tangga, (3) bagaimana bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak
kekerasan, (4) bagaimana bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Untuk menjawab masalah tersebut,
penelitian mengutamakan rancangan penelitian sebagai berikut:
(1) Rancangan
penelitian
Penelitian
pada tahap pertama ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif-kualitatif
dan survey. Rancangan deskriptif dipergunakan untuk mendeskripsikan peta kasus
yang muncul pada perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di
wilayah Jawa Timur. Rancangan kualitatif dan survey dipergunakan untuk
menjelaskan: bentuk tindak kekerasan yang terjadi pasa perempuan dalam rumah
tangga; faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan; bentuk
hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan; bentuk perlindungan hak
perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Para perempuan
korban tindak kekerasan akan diberikan daftar pertanyaan termasuk orang terdekatnya
(orang tuanya/Bapak atau ibunya) atau pihak tetangganya yang terdekat. Kemudian
ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam.
(2) Subyek
Penelitian
Subyak penelitian tahap pertama
adalah perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jawa Timur.
(3) Variabel
Penelitian
Variabel penelitian yang akan
diukur dalam tahap pertama penelitian ini adalah aspek yang akan diteliti
meliputi: (1) bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah
tangga, (2) faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam
rumah tangga, (3) hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk
perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
(4) Instrumen
Intrumen yang digunakan dalam
penelitian tahap pertama ini adalah kuisioner; lembar observasi; pedoman
wawancara. Kuisioner dipergunakan untuk mengetahui: (1) bentuk tindak kekerasan
yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) faktor-faktor penyebab
perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) bentuk hak-hak perempuan
yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk perlindungan hak perempuan yang
mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
(5) Analisis
Data
Data dianalisis dengan teknik
analisis statistik deskriptif. Teknik analisis deskriptif dipergunakan untuk
menganalisa data yang diperoleh dari kuisioner. Analisa somain untuk data yang
diperoleh dari analisis observasi dan wawancara.
3.1.2
Penelitian
Pengembangan
Masalah yang akan dicari jawabannya
pada tahap kedua adalah bagaimana mengembangkan model perlindungan hak perempuan
korban tindak kekerasan di wilayah Jawa Timur yang bisa berterima secara
teoritis maupun praktis. Bertolak dari masalah tersebut metode penelitian
dirancang sebagai berikut:
(1) Rancangan
Penelitian
Penelitian tahap kedua tahun
pertama dilakukan dengan rancangan penelitian pengembangan. Produknya berupa
desain (prototipe) model perlindungan
hak perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jawa Timur
yang bisa berterima secara teoritis maupun praktis, serta mampu meningkatkan
pemahamannya bagi perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga untuk
membela hak-haknya.
(2) Prosedur
Penelitian
Penelitian dimulai dengan memadukan
hasil penelitian tahap pertama dengan kajian teori untuk menghasilkan prototipe
model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan. Prototipe model
tersebut diuji oleh para ahli yang relevan, yaitu ahli hukum, ahli kebijakan
publik, sosiolog, psikologi dan peneliti melalui kegiatan FGD (Forum Group Discussing). Langkah
berikutnya adalah peneliti memperbaiki prototipe model perlindungan hak bagi
perempuan korban tindak kekerasan sesuai dengan FGD. Hasilnya berupa prototipe
model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan yang sudah
direvisi dan berikutnya dilakukan uji lapangan terbatas dengan menggunakan
metode eksperimen di salah satu kabupaten di Jawa Timur yang dijadikan sampel
penelitian. Hasil akhir dari penelitian tahap dua ini adalah model perlindungan
hak bagi perempuan korban tindak kekerasan yang sudah berterima secara teoritis
maupun praktis.
(3) Subyek
Subyek penelitian dalam tahap dua ini adalah subyek
ahli. Subyek ahli terdiri dari ahli hukum, ahli kebijakan publik, sosiolog,
psikologi dan peneliti. Subyek ahli ditetapkan berdasarkan pertimbangan tingkat
kepakarannya yang tercermin pada tingkat pendidikan paling rendah strata 2
(Magister) dengan pengalaman penelitian di bidang gender. Jumlah keseluruhan
subyek ahli adalah 20 orang (masing-masing keahlian 5 orang).
(4) Instrumen
Uji ahli dilakukan dengan instrumen
kuisioner. Data yang dikumpulkan dengan kuisioner ini menyangkut keberterimaan
model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan dari segi
teoritis, khususnya pada aspek kebenaran prinsip yang dijadikan asumsi,
konsistensi prosedur perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan
dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya, ketepatan model perlindungan dan
prediksi mengenai efek perlindungan hak-hak bagi korban tindak kekerasan.
Observasi dan wawancara dilakukan
pada saat pelaksanaan penelitian. Pada saat ini terjadi kolaborasi antara para
pakar dan peneliti dalam merefleksi model perlindungan hak bagi perempuan
korban tindak kekerasan di wilayah Jawa Timur.
(5) Variabel
Variabel penelitian pada tahap dua
ini adalah: (1) komponen model perlindungan hak perempuan korban tindak
kekerasan; (2) prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hak bagi perempuan
korban tindak kekerasan; (3) efek dari pengembangn model perlindungan hak bagi
perempuan dapat meningkatnya pengetahuan dan pemahaman bagi perempuan korban
tindak kekerasan untuk membela diri.
(6) Analisis
Data
Data
dianalisa dengan teknik analisis domain. Produk peneliltian yaitu model
perlindungan hak perempuan korban tindak kekerasan, yang dianalisis dengan
menggunakan komponen atau domain model perlindungan hak bagi perempuan korban
tindak kekerasan yang diakuki oleh para ahli hukum, kebijakan publik, sosiolog
dan psikolog. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik
deskriptif dan teknik analisis taksonomi. Teknik analisis statistik deskriptif
(rerata, mode dan persentase) untuk yangn diambil dengan kuisioner. Analisis
domain untuk data yang diambil dengan observasi dan wawancara.
(7) Luaran
Penelitian
Luaran penelitian ini dalam bentuk
model perlindungan hak bagi perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Model perlindungan hak bagi perempuan berisi: (1) prosedur
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh perempuan korban tindak kekerasan, (2)
prosedur melapor pada pihak lain (pihak kepolisian atau pihak berwajib); pada
RT atau aparat warga setempat, (3) cara-cara membela diri sebagai perempuan
yang memiliki hak yang harus dilindungi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar